Dalam setiap organisasi – perusahaan, ormas, gereja bahkan keluarga – konflik adalah hal yang bisa terjadi dan tidak dapat dihindarkan pasti akan terjadi. Seringkali konflik diawali dengan hal-hal kecil yang tidak signifikan, seperti perbedaan pendapat, miskomunikasi, salah paham dll. Ketika hal-hal kecil itu tidak di-manage dengan baik, maka akan bereskalasi dan menjadi suatu konflik yang sangat buruk. Karena itu kita harus belajar dapat me-manage konflik sedini mungkin.
Bagaimana me-manage konflik?
#1. SELALU TEMPATKAN MASALAH SUMBER KONFLIK SEBAGAI OBYEK; DAN JANGAN MENYERANG ORANGNYA.
Ketika seseorang terlibat dalam konflik, dengan mudah hal-hal kecil yang sepele lalu tiba-tiba menjadi sesuatu yang sangat pribadi, seolah lawan sedang menyerang anda. Sekarang sudah tidak lagi tentang perbedaan pendapat atau tentang masalah komunikasi, tetapi tentang gengsi dan sakit hati. Jangan ijinkan hal ini terjadi, dan kemudian menyebabkan hal-hal kecil menjadi masalah pribadi. Karena itu, kita harus selalu menempatkan sumber konflik — perbedaan pendapat, mis-komunikasi, atau salah paham — sebagai OBYEK yang “diluar kita” yang harus kita selesaikan bersama. Jadi sekarang dua belah pihak tidak saling berhadapan, tetapi bersama-sama menghadapi “sumber masalah” yang harus secara obyektif dihadapi dan diselesaikan bersama.
#2. BELAJAR MELIHAT DENGAN SUDUT PANDANG BESAR.
Seringkali konflik membuat sudut pandang kita menjadi sempit dan sepihak. Karena itu penting untuk kita selalu berusaha untuk mengerti sudut pandang orang yang sedang berkonflik dengan kita; dan bahkan berusaha melihat dari “bird eye” sehingga kita dapat melihat gambar besarnya. Seringkali kalau kita bisa “keluar” dari medan pertempuran, lalu melihat dari sudut pandang yang luas, kita akan melihat konflik yang sedang dihadapi dengan cara yang berbeda. Tiba-tiba apa yang tadinya menjadi “masalah besar” — seolah hidup kita dan masa depan kita dipertaruhkan di sana — kemudian kita sadar bahwa itu sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Apa yang sepertinya “jalan buntu” tapi kemudian kita bisa melihat banyak option yang bisa membuat semua orang mengalami win-win solution.
#3. SELALU MENGUTAMAKAN KEBENARAN
Saya belajar bahwa hal terbaik dalam konflik adalah kebenaran, yaitu dengan jujur membuka semua data dan fakta. Ini tidak mudah, karena budaya kita cenderung untuk “menghindari konflik” dengan menutup-tutupi masalah, menghindari untuk mempermalukan seseorang dll. Tapi seringkali perilaku seperti ini tidak menyelesaikan masalah, hanya menurunkan ketegangan dan menunda masalah. Saya belajar bahwa dalam konflik paling baik adalah kejujuran dan kebenaran.
#4. KETERBUKAAN PIKIRAN
Konflik akan mudah diselesaikan ketika kita belajar memiliki pikiran yag terbuka, sehingga lebih mudah menerima pilihan-pilihan secara obyektif, dan tidak hanya terpaku pada pikiran kita sendiri.
#5. KERENDAHAN HATI
Konflik paling sulit diselesaikan ketika sudah melibatkan “gengsi.” Artinya bukan lalgi mencari penyelesaian tetapi lebih kepada tidak mau mengalah, mempertahankan harga diri dan mau menang sendiri. Belajar untuk memiliki kerendahan diri menerima pendapat orang, mau mengakui kesalahan kita dan terbuka untuk peyelesaian walaupun tidak selalu seperti yang kita inginkan.