Kepemimpinan yang Tegas, Berprinsip, Namun Tidak Kaku


Banyak volunteers dan pemimpin di gereja mengeluhkan bahwa pemimpin mereka kaku—sulit diajak bicara, kurang hangat, dan tidak terbuka terhadap ide baru. Mereka merasa pemimpinnya cepat menegur tapi lambat mendengar, kuat dalam menuntut tapi lemah dalam membangun relasi. Akibatnya, suasana pelayanan menjadi kering, komunikasi tidak sehat, dan potensi banyak orang terhambat karena takut salah atau takut ditolak.

Kekakuan sering kali muncul bukan karena niat jahat, melainkan karena ketakutan kehilangan kendali, keinginan mempertahankan wibawa, atau ketidakmampuan berkomunikasi dengan empati. Namun, kepemimpinan seperti ini perlahan mematikan semangat, bukan menumbuhkannya. Pemimpin yang kaku mungkin menjaga ketertiban, tetapi gagal menumbuhkan kedewasaan rohani dan rasa memiliki dalam tim.

Berikut beberapa ciri umum dari pemimpin yang “kaku” dalam pelayanan gereja:


  1. Tidak bisa membedakan prinsip dan preferensi – Semua hal dianggap mutlak, bahkan metode dan kebiasaan teknis yang seharusnya bisa berubah.
  2. Sulit menerima masukan dan usulan perubahan – Menganggap ide baru sebagai ancaman, bukan kesempatan untuk bertumbuh.
  3. Sulit melihat perspektif orang lain – Menganggap pandangannya selalu benar dan tidak mencoba memahami kondisi atau sudut pandang tim..
  4. Mengandalkan posisi, bukan relasi – Lebih ingin ditaati daripada dipahami, lebih mengandalkan jabatan daripada keteladanan.
  5. Kurang empati dan kehangatan – Tidak hadir secara emosional, hanya menilai dari kinerja dan bukan kondisi hati.
  6. Ingin mengontrol segalanya – Enggan mendelegasikan, takut kehilangan pengaruh, dan tidak memberi ruang bagi inisiatif tim.
  7. Menghindari percakapan sulit – Tidak berani menyelesaikan konflik secara terbuka, memilih diam atau menjauh.

Pemimpin yang kaku mungkin tampak kuat dalam disiplin, tetapi lemah dalam hubungan. Ia menegakkan kebenaran, tetapi kehilangan kasih; menjaga struktur, tetapi mematikan pertumbuhan. Kepemimpinan yang menyerupai Kristus bukanlah kepemimpinan yang memaksa, melainkan yang membentuk; bukan sekadar mengatur, tetapi memulihkan. Pemimpin yang tegas tanpa kaku tahu kapan harus berbicara dengan ketegasan, dan kapan harus mendengar dengan kelembutan—sebab tujuan akhirnya bukan hanya keteraturan pelayanan, tetapi transformasi hati.

Kepemimpinan yang berprinsip tetapi tidak kaku adalah gaya kepemimpinan yang memegang teguh nilai-nilai kerajaan Allah, namun tetap peka terhadap manusia yang dilayani.

Kunci utamanya: kuat dalam inti (core), lentur dalam cara (method), dan hangat dalam hati (heart).


1. Dapat Membedakan Prinsip dan Preferensi

“Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya.” — 1 Korintus 9:22

Dalam pelayanan, tidak semua hal memiliki bobot yang sama. Ada hal yang mutlak (prinsip) — seperti integritas, kasih, dan kesetiaan terhadap Firman Tuhan — dan ada hal yang fleksibel (preferensi) — seperti cara ibadah, struktur program, atau metode pelayanan.

Pemimpin yang kaku sering menyamakan keduanya. Akibatnya, hal teknis dianggap sakral, dan ide baru dianggap ancaman. Namun pemimpin yang matang tahu mana yang perlu dijaga dan mana yang bisa berubah demi menjangkau lebih banyak orang, tetapi metode boleh berubah agar tetap menjangkau generasi baru.

“Kalau kita mempertahankan apa yang harus berubah, kita menjadi tidak relevan. Tapi kalau kita mengubah apa yang harus dijaga, kita kehilangan identitas.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Aplikasi Strategis di Gereja:

  1. Dalam Perencanaan Ibadah dan Liturgi.
    • Prinsip: Tuhan harus disembah dalam roh dan kebenaran (Yohanes 4:24).
    • Preferensi: Format ibadah dapat berbeda — gereja tradisional mungkin memakai liturgi formal, sedangkan gereja generasi muda dapat memakai format kreatif dengan multimedia, drama, atau visual storytelling.
    • Langkah strategis: Bentuk worship design team lintas generasi untuk mengevaluasi format ibadah agar tetap alkitabiah namun relevan bagi generasi sekarang.
  2. Dalam Strategi Penginjilan dan Pertumbuhan Gereja.
    • Prinsip: Amanat Agung untuk menjadikan semua bangsa murid Kristus tidak pernah berubah (Matius 28:19–20).
    • Preferensi: Cara melaksanakannya dapat berbeda — melalui iCare groups, media digital, community outreach, atau marketplace ministry.
    • Langkah strategis: Setiap tahun, lakukan review strategi misi dan penginjilan; pertahankan arah rohani, tetapi izinkan inovasi baru untuk konteks budaya yang berubah.
  3. Dalam Pengelolaan Organisasi dan Struktur Pelayanan.
    • Prinsip: Kepemimpinan gereja harus mencerminkan tubuh Kristus yang saling melayani, bukan hierarki kekuasaan (Efesus 4:11–12).
    • Preferensi: Bentuk struktur — apakah berbasis departemen, tim proyek, atau network model — bisa disesuaikan dengan fase pertumbuhan gereja.
    • Langkah strategis: Tinjau struktur pelayanan setiap 2–3 tahun untuk memastikan kesesuaiannya dengan kapasitas tim, visi, dan arah pertumbuhan.
  4. Dalam Pendekatan Discipleship dan Pengajaran.
    • Prinsip: Firman Tuhan harus diajarkan dengan setia dan membawa perubahan hidup.
    • Preferensi: Metode pengajaran bisa berupa khotbah, kelas, small group discussiononline devotionals, atau podcast teaching.
    • Langkah strategis: Lakukan analisa efektivitas — bukan sekadar “berapa banyak hadir,” tetapi “berapa banyak bertumbuh.”
  5. Dalam Pembangunan Budaya Organisasi Gereja.
    • Prinsip: Nilai-nilai kerajaan Allah seperti kasih, integritas, dan excellence tidak boleh diganti.
    • Preferensi: Cara mengekspresikan nilai-nilai tersebut bisa disesuaikan dengan konteks generasi, misalnya menggunakan visual brandingleadership awards, atau team culture nights.
    • Langkah strategis: Tetapkan core values yang tidak berubah, lalu beri ruang bagi kreativitas untuk mengekspresikannya dengan cara yang segar dan kontekstual.

2. Terbuka Menerima Masukan dan Usulan Perubahan

“Orang yang bijak mau mendengar dan menambah ilmu.” — Amsal 1:5

Pemimpin yang sehat menyadari bahwa kebijaksanaan tidak pernah berhenti bertumbuh. Ia tidak menganggap dirinya sebagai sumber kebenaran terakhir, melainkan seorang pembelajar yang terus disempurnakan oleh Tuhan melalui orang-orang di sekitarnya. Sikap terbuka terhadap masukan bukanlah tanda kelemahan, tetapi bukti kerendahan hati dan kehausan akan pertumbuhan rohani serta kedewasaan karakter.

Tuhan sering kali berbicara bukan hanya melalui suara-Nya secara langsung, tetapi juga melalui tim, rekan pelayanan, bahkan orang yang secara posisi mungkin berada di bawah kita. Karena itu, pemimpin yang bijak tidak cepat defensif, tidak alergi terhadap kritik, dan tidak takut terhadap perubahan. Ia menimbang setiap masukan dengan doa dan hikmat, memisahkan antara yang membangun dan yang melemahkan, lalu dengan rendah hati menyesuaikan langkah jika memang diperlukan.

Menolak masukan berarti menutup pintu bagi pertumbuhan — baik bagi diri sendiri maupun organisasi yang dipimpinnya. Namun ketika pemimpin membuka telinga dan hatinya, ia menciptakan budaya yang aman dan sehat, di mana setiap orang merasa didengar dan berani berkontribusi. Dari situlah Tuhan menumbuhkan hikmat kolektif dan memperluas kapasitas pelayanan.

“Plans fail for lack of counsel, but with many advisers they succeed.” — Proverbs 15:22
(Rencana gagal tanpa nasihat, tetapi dengan banyak penasihat rencana menjadi berhasil.)

“Kepemimpinan bukan tentang siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling mau belajar.” — Ps. Jose Carol

Aplikasi di Gereja :

  1. Evaluasi Strategi Pelayanan Mingguan dan Tahunan.
    Setelah setiap siklus pelayanan besar (misalnya Natal, Paskah, atau event Youth), ajak tim lintas departemen untuk memberikan evaluasi menyeluruh: apa yang berjalan efektif, apa yang perlu diperbaiki, dan apa yang bisa dilakukan dengan cara baru. Contoh: Tim multimedia mungkin mengusulkan sistem manajemen konten baru; tim volunteer mungkin menyarankan pergeseran jam pelayanan agar tidak bentrok dengan jadwal kuliah jemaat muda.
  2. Forum Masukan Terbuka dari Tim Lapangan.
    Buat sesi khusus di mana koordinator dan volunteer boleh memberi usulan langsung kepada tim pastoral atau pimpinan inti. Hal ini menumbuhkan rasa kepemilikan (ownership) dan mendorong inovasi dari bawah ke atas (bottom-up innovation). Contoh: Usulan dari tim anak tentang kebutuhan ruang kelas interaktif dapat menjadi dasar keputusan strategis untuk pengembangan fasilitas gereja.
  3. Keterlibatan dalam Perencanaan Visi dan Program Tahunan.
    Sebelum menetapkan rencana kerja tahunan, mintalah masukan dari tiap divisi mengenai tantangan dan peluang pelayanan mereka. Ini bukan sekadar formalitas, tetapi cara membangun keselarasan antara visi pusat dan realitas lapangan. Contoh: Masukan dari tim follow-up jemaat bisa mengungkap kebutuhan akan sistem discipleship yang lebih personal, lalu dimasukkan ke dalam rencana strategis gereja tahun berikutnya.
  4. Dengar Jemaat dengan Hati Pastor.
    Jadwalkan waktu bagi para gembala dan pemimpin untuk turun langsung berbincang dengan jemaat, mendengarkan kesan mereka tentang ibadah, pengajaran, dan kebutuhan rohani yang belum terjawab. Contoh: Masukan dari keluarga muda tentang perlunya kelas parenting dapat memunculkan program keluarga baru yang relevan.
  5. Budayakan Respons yang Membangun.
    Setiap kali menerima masukan, biasakan menjawab dengan penuh penghargaan:“Terima kasih atas masukannya, kami akan pertimbangkan dalam rapat tim.” Kalimat sederhana ini menanamkan budaya dialog, rasa aman, dan kepercayaan bahwa setiap suara bernilai.

“Leaders who never listen will eventually be surrounded by people who have nothing to say.” – John Maxwell


3. Mampu Melihat Perspektif Orang Lain

Amsal 18:13 (AYT) “Jika seseorang menjawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kehinaan baginya.”

Salah satu penyebab pemimpin menjadi kaku adalah karena ia hanya mampu melihat sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Ia menilai, memutuskan, dan bertindak berdasarkan persepsinya tanpa mencoba memahami konteks, motivasi, atau pergumulan orang lain. Akibatnya, keputusan sering terasa dingin dan hubungan menjadi jauh.

Dalam gereja, setiap orang datang dari latar belakang, kepribadian, generasi, dan kapasitas iman yang berbeda. Seorang pemimpin yang sehat memahami bahwa keragaman bukan ancaman, melainkan kekayaan tubuh Kristus. Ia tidak cepat menghakimi perilaku luar, tetapi berusaha mengerti apa yang terjadi di baliknya.

Melihat dari perspektif orang lain bukan berarti kehilangan pendirian, tetapi memperluas cara pandang agar keputusan yang diambil lebih bijak dan membangun. Pemimpin yang demikian belajar bertanya sebelum menilai, mendengar sebelum menegur, dan memahami sebelum memutuskan.

“Empati membuat kita berhenti bereaksi, dan mulai memahami.
Itu saat di mana kita berhenti jadi hakim dan mulai jadi gembala.”

— Ps. Sidney Mohede

Aplikasi Strategis di Gereja:

  1. Dalam Pembinaan Tim Pelayanan.
    • Saat seorang volunteer tidak hadir atau performanya menurun, jangan langsung menegur atau memberi label “tidak komit.”
    • Tindakan strategis: Tanyakan terlebih dahulu latar belakangnya — mungkin sedang mengalami masalah keluarga, tekanan pekerjaan, atau pergumulan iman. Dari percakapan itu, pemimpin dapat memutuskan langkah pembinaan yang tepat: memberi waktu rehat, dukungan doa, atau mentoring khusus.
  2. Dalam Pengambilan Keputusan dan Diskusi Tim.
    • Saat ide atau pandangan berbeda muncul, jangan buru-buru menolak karena “tidak sesuai cara lama.”
    • Tindakan strategis: Minta setiap pihak menjelaskan alasannya: “Boleh jelaskan dari sudut pandangmu?” Kadang ide baru membawa perspektif generasi atau konteks pelayanan yang berbeda, yang justru memperkaya arah strategis gereja.
  3. Dalam Menangani Konflik Antaranggota.
    • Konflik sering kali bukan karena perbedaan prinsip, tetapi perbedaan persepsi.
    • Tindakan strategis: Sebelum membuat keputusan atau menegur, dengarkan versi cerita dari kedua belah pihak. Latih para pemimpin untuk menggunakan pendekatan rekonsiliasi yang fokus pada pemahaman, bukan pembenaran.
  4. Dalam Melayani Lintas Generasi dan Budaya.
    • Generasi muda sering mengekspresikan iman dengan cara yang berbeda dari generasi sebelumnya.
    • Tindakan strategis: Bentuk forum intergenerational dialogue yang memungkinkan generasi senior dan muda saling mendengar visi dan kebutuhan satu sama lain. Ini membangun jembatan, bukan dinding.
  5. Dalam Komunikasi dan Visi Gereja.
    • Tidak semua orang memahami visi gereja dengan cara yang sama.
    • Tindakan strategis: Saat menyampaikan arah atau perubahan strategis, gunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh berbagai kelompok jemaat — dari pelayan baru hingga pemimpin lama. Pemahaman yang inklusif menciptakan kesatuan arah dan rasa memiliki.

4. Mengandalkan Relasi, Bukan Posisi

“Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” — Markus 10:43

Kepemimpinan rohani tidak dibangun di atas jabatan, tetapi di atas pengaruh yang lahir dari keteladanan dan kasih. Dalam kerajaan Allah, otoritas sejati tidak berasal dari posisi, tetapi dari kehidupan yang layak diikuti. Yesus tidak memimpin dengan gelar, tetapi dengan kehadiran, kedekatan, dan ketulusan hati. Ia membasuh kaki murid-murid-Nya untuk menunjukkan bahwa kuasa terbesar ada dalam kerendahan hati.

Pemimpin yang berprinsip tetapi tidak kaku memahami bahwa relasi mendahului instruksi. Ia sadar bahwa tim tidak akan mengikuti seseorang karena struktur, melainkan karena rasa hormat dan kepercayaan. Ketika hati pemimpin terhubung dengan hati tim, arahan menjadi lebih mudah diterima, bahkan koreksi bisa diterima dengan sukacita.

“Kepemimpinan bukan soal posisi, tapi soal pengaruh. Dan pengaruh terbesar datang dari kasih.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Aplikasi Strategis di Gereja:

  1. Dalam Pembangunan Tim Pelayanan.
    • Jangan hanya memberi tugas, tetapi bangun hubungan personal dengan para pelayan.
    • Contoh strategis: Sebelum rapat atau pelayanan besar, adakan waktu santai seperti team dinner atau coffee talk. Momen non-formal ini membuka kepercayaan dan membuat tim lebih terbuka terhadap arahan pemimpin.
  2. Dalam Pembinaan dan Delegasi Kepemimpinan.
    • Pemimpin yang berorientasi relasi tidak takut mendelegasikan, karena ia percaya kepada orang yang ia kenal dengan baik.
    • Contoh strategis: Kenali kekuatan dan kepribadian anggota tim sebelum memberi tanggung jawab baru. Pendekatan personal ini memastikan delegasi bukan sekadar distribusi tugas, tetapi juga pengembangan potensi.
  3. Dalam Mengelola Perbedaan dan Ketegangan.
    • Saat terjadi konflik atau perbedaan visi di dalam tim, jangan berlindung di balik posisi atau otoritas.
    • Contoh strategis: Duduk bersama, dengarkan dari hati ke hati, dan bicarakan solusi dengan rendah hati. Banyak masalah yang tampak besar dapat diselesaikan melalui percakapan yang tulus di meja kopi, bukan di ruang rapat.
  4. Dalam Komunikasi Visi dan Arah Gereja.
    • Visi tidak hanya disampaikan lewat pidato atau rapat formal, tetapi lewat relasi yang berkelanjutan.
    • Contoh strategis: Jadwalkan leaders gathering atau mentoring circle di mana visi dibagikan secara dialogis, bukan instruktif. Orang akan lebih mudah percaya pada visi yang datang dari hati pemimpin yang mereka kenal dan kagumi.
  5. Dalam Pembentukan Budaya Gereja.
    • Budaya tidak dibangun oleh aturan, tetapi oleh relasi yang konsisten.
    • Contoh strategis: Jadilah teladan lebih dulu dalam sikap, etika kerja, dan cara melayani. Pastikan tim melihat bahwa pemimpin tidak hanya menuntut, tetapi juga melakukan. Keteladanan melahirkan kepercayaan, dan kepercayaan melahirkan pengaruh.

Kepemimpinan yang kuat tidak bergantung pada gelar, melainkan pada hubungan. Posisi memberi kewenangan sementara, tetapi relasi memberi pengaruh yang bertahan lama. Gereja akan bertumbuh ketika para pemimpin memilih untuk memimpin dengan hati sebelum dengan tangan, dan membangun kedekatan sebelum menuntut ketaatan.


5. Bangun Empati dan Kehangatan

“Menangislah dengan orang yang menangis, dan bersukacitalah dengan orang yang bersukacita.” — Roma 12:15

Pelayanan sejati bukan hanya tentang menyelesaikan tugas, tetapi tentang menyentuh jiwa. Pemimpin rohani tidak melihat orang semata sebagai “tenaga pelayanan,” melainkan sebagai pribadi yang dikasihi Tuhan. Karena itu, pemimpin yang sehat tidak hanya fokus pada hasil kerja, tetapi juga pada kondisi hati orang yang melayani. Ia memahami bahwa keberhasilan pelayanan sejati diukur bukan hanya dari efektivitas program, tetapi dari pertumbuhan rohani dan kesehatan batiniah setiap pelayan.

Empati bukan kelemahan; itu adalah kekuatan Kristus yang menyembuhkan hati orang lain. Yesus sendiri memimpin dengan hati yang penuh belas kasihan — Ia menangis bersama Marta dan Maria, mendengarkan orang berdosa tanpa menghakimi, dan menyentuh orang yang dijauhi masyarakat. Pemimpin yang berempati meniru gaya kepemimpinan Kristus: hadir, mendengar, dan memahami sebelum berbicara atau menuntut.

“People don’t care how much you know until they know how much you care.” — Theodore Roosevelt
(Orang tidak peduli seberapa banyak yang kamu tahu sampai mereka tahu seberapa besar kamu peduli.)

Aplikasi Strategis di Gereja:

  1. Dalam Pembinaan Tim Pelayanan.
    • Ketika ada pelayan yang mulai lemah semangatnya atau absen beberapa kali, jangan langsung menuntut komitmen, tetapi cari tahu kondisinya terlebih dahulu.
    • Contoh strategis: Undang untuk berbicara secara pribadi, tanyakan kabar keluarganya, pekerjaannya, atau pergumulan pribadinya. Kadang doa dan kehadiran pemimpin jauh lebih menyembuhkan daripada teguran.
  2. Dalam Kepemimpinan dan Supervisi Pelayanan.
    • Ubah pola command-and-control menjadi care-and-connect.
    • Contoh strategis: Sebelum memberikan tugas baru atau evaluasi kerja, tanyakan terlebih dahulu: “Bagaimana keadaanmu akhir-akhir ini?” Pertanyaan sederhana ini menunjukkan bahwa gereja peduli pada orangnya, bukan hanya kinerjanya.
  3. Dalam Komunikasi Sehari-hari.
    • Gunakan kata-kata yang membangun, bukan menghakimi.
    • Contoh strategis: Daripada berkata, “Kamu selalu terlambat,” ubahlah menjadi, “Saya tahu minggu ini kamu banyak urusan, tapi kita butuh kamu di tim. Apa yang bisa kami bantu supaya kamu lebih siap?” Nada empatik seperti ini menumbuhkan loyalitas dan keterbukaan.
  4. Dalam Membangun Budaya Pelayanan.
    • Bentuk suasana tim yang saling mendoakan dan mendukung, bukan saling menekan.
    • Contoh strategis: Adakan momen doa tim sebelum dan sesudah pelayanan, bukan hanya untuk program, tapi juga untuk kehidupan pribadi para pelayan. Ini memperkuat rasa kebersamaan dan kasih Kristus di tengah tim.
  5. Dalam Menangani Jemaat yang Terluka atau Lelah Pelayanan.
    • Kadang pelayan yang paling aktif adalah yang paling lelah secara emosional.
    • Contoh strategis: Jika ada pelayan yang menunjukkan tanda-tanda kelelahan atau jarak rohani, tawarkan waktu rehat sementara tanpa rasa bersalah, disertai mentoring atau konseling pastoral.

Pemimpin pelayanan yang berempati tidak hanya membangun tim yang efektif, tetapi juga komunitas yang menyembuhkan. Ia tahu bahwa pelayanan yang sejati lahir dari hati yang diisi kasih Kristus, bukan dari tekanan kinerja. Ketika gereja menjadi tempat yang aman, penuh pengertian, dan berbelas kasih, maka setiap pelayan akan melayani bukan karena kewajiban, melainkan karena kasih yang telah mereka alami sendiri

“Kita tidak akan pernah salah ketika kita memilih untuk mengasihi.”
— Ps. Sidney Mohede


6. Jangan Ingin Mengontrol Segalanya

“Perkataan yang diucapkan Yitro itu didengarkan Musa; ia melakukan segala yang dikatakannya.” — Keluaran 18:24

Pemimpin yang dewasa tahu bahwa kepemimpinan bukan tentang menunjukkan kemampuan diri, tetapi tentang menyiapkan orang lain untuk dipakai Tuhan. Kepemimpinan yang berpusat pada kontrol hanya melahirkan ketergantungan; tetapi kepemimpinan yang berpusat pada kepercayaan melahirkan pemimpin-pemimpin baru.

Terlalu banyak pemimpin pelayanan yang akhirnya kelelahan, bukan karena kurangnya orang, tetapi karena ketakutan untuk melepaskan kendali. Mereka ingin semua berjalan “sempurna” menurut standar pribadi, tanpa menyadari bahwa perfectionism seringkali menghambat multiplication. Tuhan tidak memanggil kita untuk melakukan semua hal, melainkan untuk memperlengkapi orang lain agar mereka juga dapat melakukan pekerjaan pelayanan (Efesus 4:11–12).

Musa adalah contoh pemimpin besar yang belajar melepaskan kontrol. Ketika Yitro menegurnya karena memikul semua tanggung jawab sendiri, Musa tidak tersinggung—ia mendengarkan, dan mulai mendelegasikan. Musa belajar dari Yitro untuk mendelegasikan tanggung jawab (Keluaran 18:17–23). Hasilnya, bangsa Israel dapat dipimpin dengan tertib, dan Musa dapat berfokus pada perkara yang lebih besar: mendengarkan Tuhan dan memimpin arah rohani umat.

Aplikasi Strategis di Gereja:

  1. Dalam Pembagian Tanggung Jawab Pelayanan.
    • Jangan kerjakan semuanya sendiri. Delegasikan peran kepada tim sesuai karunia dan kapasitas mereka.
    • Contoh strategis: Jika pemimpin ibadah merangkap koordinator, MC, dan sound engineer, itu tanda bahaya. Bangun tim pelayan yang spesifik — dan percayakan setiap peran tanpa terus-menerus mengintervensi.
  2. Dalam Pemberdayaan Generasi Baru.
    • Lepaskan panggung bagi generasi berikutnya, bahkan jika hasilnya belum sempurna.
    • Contoh strategis: Biarkan pemimpin muda memimpin doa, menyampaikan renungan, atau memimpin rapat kecil. Awalnya mungkin belum seefektif pemimpin senior, tetapi melalui pengalaman itu, mereka akan tumbuh.
  3. Dalam Pengambilan Keputusan.
    • Libatkan tim dalam menentukan arah pelayanan, bukan hanya memberi keputusan sepihak.
    • Contoh strategis: Gunakan sesi brainstorming atau leadership retreat di mana semua tim inti dapat memberi masukan sebelum menetapkan rencana strategis tahunan. Ini menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama.
  4. Dalam Pengawasan dan Evaluasi.
    • Delegasi bukan berarti lepas tangan, tetapi mempercayai sambil membimbing.
    • Contoh strategis: Setelah mendelegasikan proyek, lakukan evaluasi bersama: apa yang berjalan baik, apa yang bisa diperbaiki. Hindari gaya “micromanagement” yang membuat tim takut mencoba hal baru.
  5. Dalam Pengembangan Kepemimpinan.
    • Ukuran keberhasilan pemimpin bukan seberapa banyak yang ia kerjakan, tetapi seberapa banyak yang ia hasilkan.
    • Contoh strategis: Rancang sistem mentoring dua arah: setiap pemimpin senior melatih minimal satu calon pemimpin baru. Fokusnya bukan hanya kinerja, tapi juga pembentukan karakter dan hikmat.

Pemimpin yang ingin mengontrol segalanya mungkin terlihat efisien di awal, tetapi cepat kehilangan tenaga dan kepercayaan tim. Sebaliknya, pemimpin yang mempercayakan tanggung jawab sedang membangun warisan. Kepemimpinan rohani bukan tentang mempertahankan posisi, tetapi tentang memperbanyak pemimpin.

“If you delegate tasks, you create followers. If you delegate authority, you create leaders.” – Craig Groeschel


7. Bangun Budaya Percakapan yang Sehat

“Berkatalah kebenaran dalam kasih supaya kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus.” — Efesus 4:15

Kepemimpinan gereja sering kali goyah bukan karena dosa besar, tetapi karena komunikasi yang rusak. Ketika percakapan berhenti, hubungan mulai retak; ketika gosip menggantikan dialog, kepercayaan pun hilang. Gereja bukan hanya tempat beribadah, tetapi juga komunitas rohani yang dibangun melalui komunikasi yang jujur, terbuka, dan penuh kasih.

Pemimpin yang berprinsip namun tidak kaku berani bicara benar dengan cara yang benar. Ia tidak menunda konfrontasi, tetapi juga tidak menyerang. Ia menyadari bahwa komunikasi sehat bukan sekadar berbagi informasi, melainkan membangun relasi yang dilandasi kasih Kristus. “Speaking the truth in love” bukan hanya prinsip etika berbicara, tetapi sikap hati seorang gembala — yang berani menegur tanpa melukai, dan mampu menenangkan tanpa mengabaikan kebenaran.

“Kebenaran tanpa kasih melukai, kasih tanpa kebenaran menyesatkan.”
— Ps. Jose Carol

Aplikasi Strategis di Gereja:

  1. Dalam Penanganan Konflik Tim Pelayanan.
    • Hadapi konflik segera; jangan biarkan luka rohani membusuk karena dibiarkan terlalu lama.
    • Contoh strategis: Jika ada ketegangan antaranggota tim, jadwalkan pertemuan pribadi atau bersama dalam waktu dekat. Semakin cepat dibicarakan, semakin kecil peluang akar kepahitan tumbuh.
  2. Dalam Pembicaraan Pemulihan Relasi.
    • Pilih waktu dan tempat yang tenang untuk berbicara empat mata, bukan di tengah emosi atau di depan orang lain.
    • Contoh strategis: Pemimpin bisa berkata, “Boleh kita bicara pribadi setelah ibadah? Saya ingin mendengar langsung dari kamu.” Pendekatan ini menghindarkan rasa malu dan membuka jalan untuk dialog yang jujur.
  3. Dalam Gaya Komunikasi Kepemimpinan.
    • Gunakan bahasa yang membangun dan fokus pada solusi, bukan pada kesalahan.
    • Contoh strategis: Daripada berkata, “Kamu selalu salah dalam hal ini,” ubahlah menjadi, “Apa yang bisa kita ubah bersama supaya hasilnya lebih baik?” Nada empatik menumbuhkan tanggung jawab tanpa menimbulkan defensif.
  4. Dalam Membangun Budaya Tim Gereja.
    • Jadikan percakapan terbuka sebagai gaya hidup pelayanan, bukan hanya reaksi terhadap masalah.
    • Contoh strategis: Adakan check-in meeting bulanan di mana setiap tim boleh menyampaikan hal yang membangun maupun yang perlu diperbaiki — dalam suasana aman dan penuh rasa hormat. Ini mencegah masalah kecil berkembang menjadi besar.
  5. Dalam Menghadapi Gosip dan Salah Paham.
    • Jangan biarkan gosip menggantikan komunikasi langsung.
    • Contoh strategis: Terapkan prinsip “talk to the person, not about the person.” Jika seseorang menyampaikan keluhan tentang orang lain, arahkan dengan lembut: “Sudahkah kamu berbicara langsung dengannya?” Ini membentuk integritas dan keberanian komunikasi.
  6. Dalam Pertumbuhan Rohani dan Kedewasaan Gereja.
    • Ajarkan bahwa komunikasi yang jujur dan penuh kasih adalah bagian dari kedewasaan rohani.
    • Contoh strategis: Dalam pelatihan pemimpin, sertakan sesi khusus tentang healthy communication — mendengar aktif, berbicara dengan kasih, dan mengelola perbedaan.

Budaya percakapan yang sehat adalah tanda gereja yang matang. Di dalamnya, kejujuran tidak menimbulkan luka, dan kebenaran disampaikan dengan kasih. Pemimpin yang berani berdialog terbuka, menyelesaikan konflik dengan kasih, dan menolak gosip sedang membangun fondasi kuat bagi kesatuan tubuh Kristus.

“Healthy leaders create safe spaces where people can speak truth and find grace.” – Andy Stanley


Penutup

Kepemimpinan yang berprinsip tetapi tidak kaku adalah kepemimpinan yang mencerminkan Kristus:
Tegas terhadap kebenaran, namun lembut terhadap manusia.

Pemimpin seperti ini memelihara arah pelayanan tanpa kehilangan hati orang-orang yang ia pimpin.
Ia bukan hanya memimpin tim untuk “melayani dengan benar,” tetapi juga membantu mereka “bertumbuh menjadi serupa Kristus.”

“Tegas dalam prinsip, lembut dalam pendekatan, hangat dalam relasi.”
Itulah kepemimpinan yang memuliakan Tuhan dan menghidupkan gereja-Nya.


Tinggalkan komentar