Tujuan Pembelajaran:
- Mahasiswa memahami bahwa kesetiaan adalah karakter inti kepemimpinan Yesus yang berakar pada ketaatan-Nya kepada kehendak Bapa sampai mati (Flp. 2:8).
- Mahasiswa mampu membedakan antara keberhasilan eksternal dan kesetiaan internal sebagai ukuran sejati kepemimpinan rohani.
- Mahasiswa dapat menafsirkan perumpamaan tentang hamba yang baik dan setia (Mat. 25:19–27) sebagai model kepemimpinan yang bertanggung jawab dan berbuah.
- Mahasiswa mampu menerapkan prinsip kesetiaan dalam konteks kepemimpinan dan pelayanan masa kini sebagai ekspresi iman dan karakter Kristus.
I. Pendahuluan:
Definisi Kesetiaan dalam Kepemimpinan
Dalam konteks kepemimpinan Kristen, kesetiaan (faithfulness) dapat didefinisikan sebagai:
“Konsistensi moral dan spiritual untuk tetap taat dan dapat dipercaya dalam menjalankan tanggung jawab yang dipercayakan Allah, sampai tugas itu diselesaikan dengan integritas dan ketekunan, demi kemuliaan-Nya.”
Kesetiaan adalah karakter inti dari seorang pemimpin rohani — bukan hanya kemampuan untuk memimpin orang lain, melainkan keandalan untuk memelihara kehendak Allah dengan tekun. Pemimpin yang setia tidak mencari hasil instan, melainkan berkomitmen untuk menyelesaikan panggilan Allah dengan hati yang benar.
Dalam Alkitab, kesetiaan bukan sekadar nilai moral; ia adalah refleksi karakter Allah sendiri. Allah dikenal sebagai Pribadi yang setia (Ul. 7:9; Rat. 3:23), dan Yesus Kristus adalah manifestasi sempurna dari kesetiaan itu dalam bentuk manusia.
“Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” — Filipi 2:8
Kesetiaan Yesus kepada kehendak Bapa merupakan fondasi moral dan spiritual dari seluruh kepemimpinan-Nya. Ia tidak hanya mengajarkan kesetiaan sebagai sebuah prinsip, tetapi meneladankannya secara sempurna melalui kehidupan dan kematian-Nya. Dalam kesetiaan-Nya sampai mati, Yesus menyingkapkan bahwa kepemimpinan sejati tidak dibangun atas ambisi, kekuasaan, atau pencapaian, melainkan atas ketaatan dan keteguhan hati untuk melakukan kehendak Allah hingga tuntas.
Ketaatan Yesus bukanlah kepasrahan pasif, melainkan respons aktif terhadap kehendak ilahi. Ia mendengar, memahami, dan melaksanakan setiap perintah Bapa dengan penuh kesadaran. Dalam hal ini, ketaatan adalah akar dari kesetiaan, sedangkan kesetiaan adalah buah dari ketaatan yang dijaga dengan tekun.
Yesus menunjukkan bahwa pemimpin yang sejati adalah mereka yang menundukkan kehendak pribadi demi kehendak Allah, mengelola tanggung jawab yang dipercayakan (stewardship) dengan setia, dan menyelesaikannya hingga tuntas.
II. Kesetiaan dalam Perjanjian Lama
Amsal 20:6 “Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya?”
Ayat ini menyoroti kelangkaan kesetiaan sejati dalam relasi manusia. Banyak orang dapat menampilkan kebaikan lahiriah (ḥesed), tetapi tidak semua memiliki ’emunah — keteguhan hati yang dapat diandalkan, terutama ketika keadaan tidak menguntungkan. Di sini, Amsal membedakan antara kebaikan yang bersifat sosial dan kesetiaan yang bersifat moral dan spiritual.
Makna Leksikal dan Teologis
Kata setia dalam bahasa Ibrani, ’emunah (אֱמוּנָה), berasal dari akar kata ’aman (אָמַן) yang berarti “teguh, kokoh, dapat dipercaya.”
Dari akar yang sama lahir kata “amen”, yang secara harfiah berarti “biarlah demikian,” yaitu sebuah deklarasi iman dan kepastian terhadap kebenaran dan keandalan Allah.
Dalam konteks Perjanjian Lama, ’emunah bukan hanya kualitas etis manusia, melainkan refleksi dari karakter Allah sendiri.
Kesetiaan adalah bagian dari natur ilahi yang menopang seluruh tatanan ciptaan dan relasi perjanjian. Allah disebut El Ne’eman — “Allah yang setia” — karena Ia selalu konsisten terhadap firman, janji, dan kasih setia-Nya (ḥesed).
Ulangan 7:9 menegaskan:
“Sebab itu haruslah kauketahui, bahwa TUHAN, Allahmu, Dialah Allah, Allah yang setia (ha’el ha’ne’eman), yang memegang perjanjian dan kasih setia-Nya terhadap orang yang kasih kepada-Nya.”
Ratapan 3:22–23 menambahkan:
“Tak berkesudahan kasih setia TUHAN… besar kesetiaan-Mu.”
Kesetiaan Allah di sini bukan sekadar konsistensi moral, melainkan komitmen relasional dalam konteks perjanjian (covenant faithfulness). Ia tidak hanya bertahan dalam kebenaran, tetapi memelihara relasi kasih dan tanggung jawab-Nya terhadap umat pilihan.
Dimensi Relasional: Kesetiaan dalam Perjanjian
Dalam teologi Perjanjian Lama, kesetiaan tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu terkait erat dengan kasih setia (ḥesed) dan kebenaran (’emet) — dua konsep yang sering muncul bersama (lih. Mazmur 85:11; 89:2; 100:5).
Gabungan ini menunjukkan bahwa kesetiaan Allah bukan hanya sikap pasif untuk “tidak berubah,” tetapi komitmen aktif untuk menepati janji dan memelihara umat-Nya.
Sebagai contoh:
- Mazmur 89:2–3 menyatakan, “Untuk selama-lamanya aku hendak menyanyikan kasih setia TUHAN, untuk selamanya kupermaklumkan kesetiaan-Mu dengan mulutku.”
- Mazmur 100:5 menegaskan, “Sebab TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun.”
Kesetiaan dalam konteks ini berarti keandalan Allah yang tidak berubah di tengah ketidaksetiaan manusia. Itulah sebabnya para nabi sering menegur Israel bukan hanya karena pelanggaran moral, tetapi karena pengkhianatan terhadap perjanjian — ketidaksetiaan terhadap relasi yang kudus (Hos. 2:18–22).
Dimensi Antropologis: Panggilan Manusia untuk Meneladani Kesetiaan Allah
Karena Allah adalah Allah yang setia, maka umat-Nya pun dipanggil untuk hidup dalam kesetiaan.
“Orang yang dapat dipercaya (’emunim) akan diberkati berlimpah-limpah.” — Amsal 28:20
Dalam konteks kepemimpinan, kesetiaan menjadi tolok ukur moral dan spiritual dari seorang pemimpin yang hidup di bawah perjanjian dengan Allah.
Pemimpin yang setia tidak hanya menjaga kejujuran terhadap sesama, tetapi memelihara kesetiaan vertikal terhadap Allah — melakukan kehendak-Nya dengan stabilitas dan integritas.
Kesetiaan dalam Perjanjian Lama selalu menuntut dua arah:
- Vertikal — kesetiaan kepada Allah sebagai respons terhadap kesetiaan-Nya (Ul. 7:9; Mazm. 37:3).
- Horizontal — keandalan dalam relasi sosial, pekerjaan, dan tanggung jawab komunitas (Ams. 12:22; Mikha 6:8).
Dengan demikian, kesetiaan adalah gambaran keutuhan karakter, yang menghubungkan iman dengan tindakan, keyakinan dengan perilaku, dan kasih dengan tanggung jawab.
Kesimpulan: Kesetiaan dalam Perjanjian Lama adalah keteguhan yang lahir dari perjanjian kasih antara Allah dan umat-Nya.
Ia bersumber dari ’emunah Allah — keandalan dan stabilitas-Nya — dan menjadi panggilan bagi setiap pemimpin untuk mencerminkan karakter yang sama.
III. Kesetiaan dalam Perjanjian Baru
Konsep kesetiaan yang dalam Perjanjian Lama berakar pada ’emunah — keteguhan dan keandalan Allah dalam memegang perjanjian — menemukan penggenapan dan personifikasinya dalam Yesus Kristus pada Perjanjian Baru.
Jika dalam PL Allah dikenal sebagai Pribadi yang setia, maka dalam PB kesetiaan itu diperlihatkan secara konkret dalam pribadi dan karya Kristus.
1. Terminologi Yunani: Pistis dan Pistos
Dalam bahasa Yunani, kesetiaan diterjemahkan dari kata πίστις (pistis) dan πιστός (pistos), yang memiliki dua makna pokok:
(1) iman / kepercayaan (faith) dan
(2) kesetiaan / dapat dipercaya (faithfulness).
Makna ganda ini sangat signifikan secara teologis: dalam PB, iman yang sejati tidak dapat dipisahkan dari kesetiaan.
Percaya kepada Allah berarti hidup dalam kesetiaan kepada-Nya.
Roma 1:17 — “Orang benar akan hidup oleh iman (pistis).”
Dalam konteks PB, ini juga dapat dimaknai: “Orang benar akan hidup oleh kesetiaannya kepada Allah.”
(Bandingkan dengan Habakuk 2:4 dalam PL — sumber kutipan Paulus — di mana kata “iman” berasal dari ’emunah, yang juga berarti “kesetiaan.”)
Dengan demikian, Perjanjian Baru menegaskan kontinuitas teologis antara ’emunah dan pistis — kesetiaan bukan hanya kualitas moral, melainkan ekspresi iman yang hidup.
2. Yesus Kristus sebagai Inkarnasi Kesetiaan Allah
“Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” — Filipi 2:8
“Ia setia kepada Dia yang telah menetapkan-Nya.” — Ibrani 3:2
Dalam pribadi Yesus, kesetiaan Allah menjadi nyata dalam sejarah manusia.
Yesus bukan hanya mengajarkan iman, tetapi menjadi teladan kesetiaan yang sempurna: Ia setia kepada Bapa dalam misi-Nya (Yoh. 5:30), setia kepada murid-murid yang gagal, dan setia kepada umat manusia bahkan ketika mereka tidak setia (2 Tim. 2:13).
Kesetiaan Kristus tidak bersifat pasif, melainkan aktif dan redemptif.
Dalam ketaatan-Nya yang sempurna, Ia menanggung penderitaan dan kematian sebagai wujud dari kasih dan ketaatan yang total. Karena itu, salib adalah puncak kesetiaan Yesus — bukti bahwa kasih sejati selalu setia.
Ibrani 12:2 — “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan.”
Di sini, Yesus disebut archegos kai teleiotes tēs pisteōs — “pemula dan penyempurna iman (kesetiaan).” Dengan kata lain, Yesus adalah sumber dan teladan utama bagi kesetiaan orang percaya.
3. Kesetiaan sebagai Buah Roh dan Ciri Pemimpin Kristiani
Dalam kehidupan orang percaya, kesetiaan bukan hanya imitasi moral terhadap Yesus, tetapi hasil dari pekerjaan Roh Kudus dalam diri manusia baru.
Galatia 5:22–23 — “Tetapi buah Roh ialah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan (pistis), kelemahlembutan, dan penguasaan diri.”
Kata pistis di sini menunjukkan bahwa kesetiaan bukanlah hasil usaha manusia, tetapi buah dari hubungan yang hidup dengan Roh Allah.
Roh Kudus memampukan pemimpin rohani untuk tetap dapat dipercaya, tekun, dan konsisten di tengah tantangan dan ketidakpastian.
Dalam konteks kepemimpinan, hal ini berarti:
- Pemimpin yang dipenuhi Roh bukan hanya karismatik tetapi konsisten.
- Karakter yang setia menjadi bukti kedewasaan rohani yang sesungguhnya.
- Kesetiaan adalah otoritas moral yang membuat seorang pemimpin layak dipercaya (1 Kor. 4:2).
4. Unsur-Unsur Utama dari Kesetiaan di perjanjian Baru
- Mengandalkan Allah, bukan kekuatan diri sendiri – “Yang dipanggil kamu adalah setia; Ia juga akan menggenapinya.” (1 Tes. 5:24)
- Taat kepada kehendak Allah – Kesetiaan dimulai dari ketaatan, bukan perasaan atau peluang. (Yoh. 5:19; Flp. 2:8)
- Dapat dipercaya dalam perkara kecil – “Barangsiapa setia dalam perkara kecil, ia setia juga dalam perkara besar.” (Luk. 16:10)
- Bertahan di tengah ujian dan waktu yang panjang – “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena pada waktu yang ditentukan kita akan menuai.” (Gal. 6:9)
5. Implikasi Bagi Kepemimpinan Kristen
Kesetiaan dalam Perjanjian Baru bukan sekadar sikap bertahan, tetapi komitmen aktif untuk menyelesaikan kehendak Allah hingga tuntas.
Pemimpin yang meneladani Yesus akan:
- Taat dalam hal kecil dan besar — karena kesetiaan selalu dimulai dari ketaatan (Luk. 16:10).
- Mengelola tanggung jawab dengan integritas — karena setiap amanat adalah stewardship ilahi (Mat. 25:21).
- Bertahan dalam ujian dan penderitaan — karena kesetiaan diuji bukan saat nyaman, melainkan saat sulit (1 Ptr. 5:10).
- Menjadi refleksi kesetiaan Kristus — agar orang lain melihat bahwa Allah yang setia masih bekerja melalui umat-Nya.
“Demikianlah hendaknya orang memandang kami: sebagai pelayan Kristus dan pengurus rahasia Allah. Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah bahwa mereka ternyata dapat dipercaya.” — 1 Korintus 4:1–2
Kesimpulan: Kesetiaan dalam Perjanjian Baru adalah kelanjutan dan puncak dari kesetiaan Perjanjian Lama. Jika dalam PL Allah menyatakan diri sebagai Allah yang setia, maka dalam PB Yesus Kristus adalah perwujudan dari kesetiaan itu — taat, dapat dipercaya, dan tekun sampai akhir.
Kesetiaan menjadi pola dasar bagi kepemimpinan Kristiani: berakar pada ketaatan, dihidupi melalui stewardship yang bertanggung jawab, dan dibuktikan dalam ketekunan sampai akhir.
“Ketaatan memulai kepemimpinan, stewardship memeliharanya, dan kesetiaan menyempurnakannya — seperti Kristus yang setia sampai akhir.”
IV. Eksposisi Alkitab: Matius 25:19–27
a. Latar Kontekstual
Perumpamaan tentang talenta menggambarkan tanggung jawab seorang hamba terhadap kepercayaan yang diberikan oleh tuannya. Dalam konteks kerajaan Allah, ini berbicara tentang stewardship — pengelolaan yang setia terhadap waktu, kemampuan, dan kesempatan yang dipercayakan Allah.
b. Analisis Eksegetis
- Ay. 19–21: Dua hamba pertama menunjukkan kesetiaan aktif — mereka bekerja, menggandakan talenta, dan menghasilkan buah. Respons tuan mereka:“Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia.”
Istilah “baik dan setia” (Yunani: agathos kai pistos) menekankan integritas moral (agathos) dan konsistensi kepercayaan (pistos). - Ay. 24–25: Hamba ketiga menunjukkan ketakutan pasif — ia tidak berbuat jahat secara eksplisit, tetapi juga tidak melakukan kebaikan.
Dalam paradigma kerajaan, tidak berbuah sama dengan ketidaksetiaan. - Ay. 26–27: Tuan menegur: “Hai kamu, hamba yang jahat dan malas.”
Kata malas (Yunani: oknēros) mengandung konotasi “enggan berinisiatif” atau “menunda tanggung jawab.” Dalam konteks kepemimpinan, kemalasan spiritual sama berbahayanya dengan pemberontakan aktif.
c. Prinsip-Prinsip Kepemimpinan dari Hamba yang Baik dan Setia
| Prinsip | Deskripsi Akademik & Teologis | Aplikasi Kepemimpinan |
|---|---|---|
| 1. Melakukan sesuai dengan apa yang diperintahkan | Kesetiaan dimulai dari ketaatan terhadap instruksi Tuhan, bukan interpretasi pribadi. Yesus sendiri berkata, “Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri” (Yoh. 5:19). | Pemimpin rohani menempatkan kehendak Tuhan di atas strategi manusia. |
| 2. Sampai tuntas | Kesetiaan bukan sekadar memulai dengan semangat, tetapi menyelesaikan dengan ketekunan. Paulus berkata, “Aku telah mengakhiri pertandingan” (2 Tim. 4:7). | Kepemimpinan Kristen menuntut endurance — menyelesaikan pelayanan meski tanpa pujian. |
| 3. Menyelesaikan dalam keadaan lebih baik | Setiap mandat harus dikembalikan dalam kondisi lebih baik. Dalam teologi stewardship, ini disebut transformational stewardship: mengubah kepercayaan menjadi berkat. | Pemimpin memperbaiki sistem, membangun orang, dan meninggalkan warisan yang lebih kuat. |
| 4. Berbuah dan menjadi berkat | Buah adalah bukti kesetiaan (Yoh. 15:8). Pemimpin setia menghasilkan dampak bagi orang lain. | Kesetiaan tidak statis; ia menular dan memperluas pengaruh kerajaan Allah. |
| 5. Tuhan dipermuliakan | Akhir dari kesetiaan bukan pujian manusia, tetapi kemuliaan Allah. | Setiap keberhasilan dikembalikan kepada sumbernya: Tuhan sendiri. |
V. Ringkasan
| Aspek | Penjelasan |
| Sumber Kesetiaan | Allah sendiri adalah Allah yang setia (Ul. 7:9; Rat. 3:23). |
| Teladan Tertinggi | Yesus Kristus, yang setia sampai mati (Flp. 2:8). |
| Bukti Kesetiaan | Ketaatan yang konsisten dalam hal kecil maupun besar (Mat. 25:21). |
| Buah Kesetiaan | Kemuliaan Allah dan kepercayaan yang lebih besar (Mat. 25:23). |
VI. Aplikasi Praktis bagi Pemimpin Kristen
Dalam konteks kepemimpinan Yesus:
- Kesetiaan melahirkan kepercayaan.
Kepercayaan dari Allah dan manusia dibangun bukan oleh kecepatan, tetapi oleh konsistensi yang terbukti. - Kesetiaan adalah fondasi karakter sebelum kapasitas.
Tuhan lebih menghargai pemimpin yang dapat diandalkan daripada yang luar biasa berbakat. - Kesetiaan diuji dalam hal-hal yang tersembunyi.
Bukan pada panggung pelayanan, melainkan dalam tanggung jawab pribadi, kejujuran, dan ketekunan.
VII. Diskusi dan Refleksi Kelas
Pertanyaan Diskusi:
- Bagaimana kesetiaan diuji dalam konteks kepemimpinan modern (gereja, marketplace, akademik)?
- Apa perbedaan antara “loyalitas” dan “kesetiaan rohani”?
- Bagaimana pemimpin dapat menjaga semangat setia di tengah kekecewaan atau hasil yang belum tampak?
Tugas Reflektif:
Tuliskan satu area tanggung jawab pribadi di mana Anda merasa perlu memperbarui kesetiaan Anda kepada Tuhan.
Renungkan: Apakah saya sedang mengubur talenta, atau menggandakannya?