I. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa akan mampu:
- Menjelaskan makna teologis ketundukan (submissiveness) sebagai penempatan diri di bawah otoritas Allah dan pemimpin yang ditetapkan-Nya.
- Membedakan antara ketundukan rohani (spiritual submission) dan kepasifan buta.
- Mengidentifikasi prinsip-prinsip kepemimpinan yang tunduk dalam contoh Alkitab (Yesus, Daud, dan para pahlawannya).
- Menerapkan sikap tunduk terhadap visi, proses pembentukan, dan keberhasilan pemimpin di atasnya dalam konteks pelayanan dan organisasi gereja.
Berikut versi revisi dan penajaman Pendahuluan dengan definisi teologis yang eksplisit tentang submissive seperti yang Anda arahkan — disusun dalam gaya akademik untuk kelas S2 Teologia – Kepemimpinan Yesus (Session 6).
II. Pendahuluan
Kepemimpinan dunia sering dikaitkan dengan posisi tertinggi dan hak untuk memerintah. Paradigma sekuler menilai keberhasilan pemimpin dari seberapa besar kekuasaan yang ia kendalikan atau berapa banyak orang yang tunduk padanya. Namun dalam Kerajaan Allah, prinsipnya justru berlawanan:
Otoritas sejati dimulai dari ketundukan sejati.
Ketundukan (submissiveness) bukan kelemahan, melainkan disiplin rohani seorang pemimpin yang sadar dirinya bagian dari rencana Allah yang lebih besar daripada ambisinya sendiri. Dalam tatanan ilahi, ketundukan bukan tanda inferioritas, tetapi bukti kedewasaan rohani. Ia adalah bentuk kepercayaan aktif terhadap kedaulatan Allah yang bekerja melalui struktur otoritas yang ditetapkan-Nya.
“Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakimanku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku.”
— Yohanes 5:30
Ayat ini menjadi dasar bagi teologi ketundukan Yesus:
Yesus memiliki kuasa penuh, namun Ia memilih untuk tunduk sepenuhnya kepada kehendak Bapa. Otoritas-Nya justru lahir dari ketaatan-Nya. Dalam Trinitas, ketundukan Anak kepada Bapa bukan subordinasi ontologis, melainkan ketundukan fungsional — kesediaan untuk menempatkan diri di bawah otoritas demi terlaksananya rencana keselamatan Allah.
Definisi Submissive
Submissive adalah penundukan diri kepada Tuhan melalui otoritas yang didelegasikan kepada pemimpin di atas kita.
Artinya, seorang pemimpin yang tunduk memahami bahwa ketaatan kepada pemimpin yang ditetapkan Allah merupakan wujud nyata dari ketaatan kepada Allah sendiri, selama otoritas tersebut sejalan dengan kebenaran firman.
Catatan: perbedaan antara Faithfulness dan Submissiveness
Untuk memahami konteksnya secara lebih tajam, penting membedakan antara dua nilai yang berdekatan: faithfulness (kesetiaan) dan submissiveness (ketundukan).
Keduanya sama-sama esensial dalam karakter kepemimpinan Yesus, namun memiliki fokus spiritual yang berbeda.
| Aspek | Faithfulness | Submissive |
|---|---|---|
| Akar kata (Yunani/Ibrani) | pistis / emunah — setia, dapat dipercaya | hypotassō — menempatkan diri di bawah otoritas |
| Fokus relasional | Konsistensi terhadap komitmen dan panggilan | Ketundukan terhadap kehendak dan otoritas ilahi |
| Dimensi spiritual | Keteguhan dan keandalan dalam waktu panjang | Ketaatan yang bersumber dari kerendahan hati |
| Arah tindakan | Melanjutkan apa yang telah dipercayakan | Menyerahkan hak dan kehendak pribadi |
| Teladan Yesus | Tetap setia dalam penderitaan (Ibr. 3:2; Luk. 9:51) | Menundukkan diri di Getsemani (Luk. 22:42) |
| Bahaya jika hilang | Ketidaksetiaan, ketidakkonsistenan | Pemberontakan, ambisi, dan kemandirian rohani |
| Implikasi kepemimpinan | Keandalan, stabilitas, integritas | Kerendahan hati, ketaatan, kepekaan terhadap pimpinan Roh |
Dari tabel di atas, faithfulness berfokus pada menjalankan tanggung jawab dengan konsisten, sedangkan submissiveness menekankan kerendahan hati untuk menempatkan diri di bawah otoritas yang ditetapkan Allah.
Faithfulness menjaga what we do; submissiveness menentukan how we relate.
Kepemimpinan yang tunduk (submissive leadership) adalah kepemimpinan yang mengakui otoritas ilahi di atasnya. Ia bersedia dibentuk, diarahkan, bahkan dikoreksi oleh otoritas yang sah — karena percaya bahwa Allah bekerja melalui tatanan otoritas untuk menyempurnakan karakternya.
Dalam dunia yang menjunjung otonomi dan independensi, submissive leadership menjadi kontra-budaya yang mencerminkan nilai Kerajaan Allah:Penundukan diri lebih besar daripada ambisi, dan kerendahan hati lebih kuat daripada dominasi.
III. Dasar Teologis: Ketundukan Yesus kepada Otoritas Bapa
A. Exegesis Yohanes 5:30 — Otoritas yang Bersumber dari Ketundukan
“Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakimanku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku.”
— Yohanes 5:30
1. Latar Konteks
Perkataan ini muncul di tengah perdebatan Yesus dengan para pemimpin Yahudi yang menuduh-Nya melanggar hari Sabat (Yoh. 5:16–18).
Yesus menegaskan bahwa karya-Nya tidak independen dari Bapa. Ia menolak tuduhan bahwa Ia bertindak dengan otoritas diri sendiri. Sebaliknya, Ia menjelaskan bahwa seluruh otoritas dan tindakan-Nya berasal dari relasi ketaatan yang sempurna kepada Bapa.
Ayat ini menjadi salah satu fondasi kristologis penting dalam Injil Yohanes:
Yesus adalah Anak yang diutus (ὁ πέμψας με — ho pempsas me), yang hidup dan bekerja dalam kesatuan kehendak dengan Bapa.
2. Analisis Bahasa Yunani
Frasa kunci dalam teks ini menyingkap kedalaman makna teologis ketundukan:
- οὐ δύναμαι ποιεῖν ἀπ’ ἐμαυτοῦ οὐδέν (ou dynamai poiein ap’ emautou ouden)
→ secara harfiah: “Aku tidak dapat melakukan apa pun dari diriku sendiri.”
Kata dynamai berarti “mampu” atau “berkuasa”, dan ap’ emautou berarti “dari diriku sendiri”.
Ini bukan pernyataan kelemahan, melainkan penegasan kesatuan kehendak dan ketaatan fungsional.
Yesus tidak tidak mampu, tetapi tidak mungkin bertindak terpisah dari Bapa, karena kehendak dan natur-Nya selaras sempurna. - ἀλλὰ τὸ θέλημα τοῦ πέμψαντός με (alla to thelēma tou pempsantos me)
→ “melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku.”
Kata thelēma (kehendak) di sini menandakan intensi aktif. Yesus menempatkan seluruh kehendak-Nya di bawah kehendak Bapa sebagai ekspresi kasih dan kesatuan ilahi.
Makna teologis:
Yesus tidak hanya tunduk pada perintah Bapa, tetapi menjadikan kehendak Bapa sebagai dasar eksistensial seluruh tindakan-Nya.
Ketaatan ini bersifat ontologis (berakar dalam keberadaan-Nya sebagai Anak) sekaligus etis (terwujud dalam keputusan dan tindakan).
3. Implikasi Teologis
- Ketundukan adalah dasar otoritas rohani.
Yesus berotoritas bukan karena independensi, tetapi karena ketaatan.
Dalam Kerajaan Allah, kuasa selalu mengikuti ketundukan.“Only the one under authority has true authority.” — Watchman Nee, Spiritual Authority. - Ketundukan adalah ekspresi kasih.
Relasi antara Bapa dan Anak bukan relasi subordinasi kuasa, tetapi relasi kasih dan kehendak yang menyatu.
Kasih mendorong ketaatan, bukan paksaan. - Ketundukan melatih kepekaan terhadap kehendak Allah.
Yesus “menghakimi sesuai dengan apa yang Ia dengar” (kathōs akouō krinō).
Ia tidak bertindak dari ambisi atau tekanan, tetapi dari spiritual discernment — mendengar dan menaati suara Bapa.
Dengan demikian, Yohanes 5:30 mengajarkan bahwa ketaatan adalah sumber discernment dan otoritas.
Pemimpin yang tidak tunduk kepada otoritas di atasnya akan sulit mendengar dan melaksanakan kehendak Allah secara murni.
B. Doa di Getsemani (Lukas 22:39–46) — Puncak Ketundukan Yesus
“Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi!”
— Lukas 22:42
1. Latar Konteks
Doa di Getsemani adalah puncak teologis dan eksistensial dari ketundukan Kristus.
Setelah mengajar murid-murid tentang ketaatan, kini Ia sendiri menghadapi ujian tertinggi — ketaatan yang menuntut penderitaan dan kematian.
Taman Getsemani adalah tempat peralihan antara kehendak manusiawi dan kehendak ilahi.
Yesus tidak menolak penderitaan karena takut, tetapi Ia mengakui realitas manusiawi-Nya. Dalam kerapuhan itu, Ia memilih untuk tunduk kepada kehendak Bapa.
2. Analisis Kata dan Struktur
- εἰ βούλει παρένεγκε τοῦτο τὸ ποτήριον ἀπ’ ἐμοῦ (ei bouleis parenegke touto to potērion ap’ emou)
→ “Jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku.”
Frasa ini mengungkap kejujuran manusiawi Yesus — Ia memiliki kehendak dan perasaan.
Namun, doa berikutnya menunjukkan inti dari submissiveness: - πλὴν μὴ τὸ θέλημά μου ἀλλὰ τὸ σὸν γενέσθω (plēn mē to thelēma mou alla to son genesthō)
→ “Namun bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.”
Kata plēn (“namun”) menandai titik balik rohani — dari kemungkinan melarikan diri menjadi keputusan tunduk penuh.
Genesthō (terjadi, digenapi) menunjukkan tindakan aktif untuk menyerahkan hasil kepada Allah.
3. Makna Teologis
- Ketundukan bukan penyangkalan kehendak, melainkan penyelarasan kehendak.
Yesus tidak meniadakan kemanusiaan-Nya, tetapi membawa kehendak manusiawinya untuk tunduk di bawah kehendak ilahi.
Inilah harmoni tertinggi antara ketaatan dan kebebasan. - Ketundukan menuntut pergumulan, bukan kepasifan.
Yesus “berdoa makin sungguh-sungguh” (Luk. 22:44).
Artinya, ketaatan sejati menuntut pertempuran batin yang jujur.
Ketundukan sejati tidak lahir dari kelemahan, tetapi dari kemenangan rohani. - Ketundukan membuka jalan bagi keselamatan.
Melalui doa ini, Yesus menegaskan pilihan untuk menjalani salib.
Tanpa ketundukan di Getsemani, tidak akan ada penebusan di Golgota.“Through obedience unto death, the disobedience of Adam was reversed.” — Irenaeus, Against Heresies.
4. Implikasi bagi Kepemimpinan Kristen
- Pemimpin yang tunduk adalah pemimpin yang dapat dipercaya.
Ia tidak menegakkan kehendak sendiri, tetapi kehendak Allah yang di atasnya. - Ketundukan melahirkan discernment dan otoritas moral.
Pemimpin yang tunduk kepada Tuhan melalui otoritas di atasnya akan membawa keputusan yang selaras dengan kehendak ilahi. - Ketundukan adalah prasyarat bagi pengangkatan.
Setelah doa Getsemani dan ketaatan di salib, “Allah sangat meninggikan Dia” (Flp. 2:9).
Dalam ekonomi Kerajaan Allah, pengangkatan mengikuti penundukan.
Kesimpulan Teologis
Dari Yohanes 5:30 dan Lukas 22:42, kita menemukan pola teologis yang konsisten:
- Ketundukan mendahului kuasa.
Yesus memiliki otoritas karena Ia berada di bawah otoritas Bapa. - Ketundukan adalah ekspresi kasih dan kepercayaan.
Ia tunduk bukan karena paksaan, tetapi karena kasih yang sempurna. - Ketundukan adalah jalan menuju penggenapan rencana Allah.
Melalui penyerahan diri-Nya, Yesus menggenapi keselamatan bagi dunia.
Dengan demikian, submissive leadership bukanlah gaya kepemimpinan yang lemah, tetapi postur rohani dari pemimpin yang hidup di bawah otoritas ilahi, menyelaraskan kehendaknya dengan kehendak Allah, dan karena itu menjadi saluran otoritas, kuasa, dan kasih yang benar.
“Submission is not resignation, but participation in divine order.”
— Karl Barth, Church Dogmatics IV/2.
Sangat baik — berikut bagian V. Tiga Prinsip Teologis tentang Otoritas dan Ketundukan, dikembangkan secara akademik dan teologis agar tetap sejalan dengan struktur kelas S2 Teologia untuk Session 6: Submissive – Kepemimpinan yang Tunduk kepada Otoritas dan Visi yang Lebih Besar.
Saya melanjutkan dua prinsip pertama yang Anda berikan dan menambahkan prinsip ketiga agar logis, lengkap, dan sesuai dengan kerangka teologi otoritas dalam Alkitab.
IV. Tiga Prinsip Teologis tentang Otoritas dan Ketundukan
Ketundukan (submissiveness) tidak dapat dipahami tanpa memahami teologi otoritas — karena ketundukan adalah respon spiritual terhadap tatanan otoritas yang Allah tetapkan di bumi.
Dalam Kerajaan Allah, otoritas bukan alat dominasi, melainkan saluran kasih, perlindungan, dan mandat ilahi.
Yesus sendiri menunjukkan bahwa otoritas rohani tidak dimiliki dengan memerintah, tetapi dengan menundukkan diri.
“Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri… sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku.”
— Yohanes 5:30
Berikut tiga prinsip utama yang menjadi dasar teologis dan praktis bagi kepemimpinan yang tunduk:
1. Otoritas Diperoleh Melalui Ketundukan kepada Otoritas yang Lebih Tinggi
Prinsip utama: Tidak ada otoritas sejati tanpa ketundukan sejati.
Yesus memiliki otoritas yang mutlak karena Ia sepenuhnya tunduk kepada Bapa.
Dalam Kerajaan Allah, otoritas bukan diklaim, tetapi dipercayakan.
Dan kepercayaan itu hanya diberikan kepada mereka yang sudah terbukti hidup di bawah otoritas yang benar.
“Only those who are under authority can exercise authority.”
— Watchman Nee, Spiritual Authority.
Contoh:
- Yesus tunduk kepada Bapa (Yoh. 5:30), dan karena itu Bapa memberikan kepada-Nya “segala kuasa di sorga dan di bumi” (Mat. 28:18).
- Daud tunduk kepada otoritas Saul, dan karena itu Allah mempercayakan kepadanya kerajaan Israel.
- Yosua tunduk kepada Musa, dan karena itu ia menerima otoritas untuk memimpin bangsa ke Tanah Perjanjian.
Implikasi Kepemimpinan:
- Ketika kita belajar tunduk, kita sedang dipersiapkan untuk dipercaya.
- Kepemimpinan yang tidak tunduk akan berakhir dalam penyalahgunaan otoritas.
- Otoritas yang sejati tidak berasal dari posisi, tetapi dari postur hati yang tunduk kepada Tuhan.
“The pathway to divine authority always goes through submission.”
— John Stott.
2. Semua Otoritas Bersumber dari Tuhan dan Didelegasikan Melalui Otoritas di Atas Kita
Prinsip teologis:
“Tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah.” — Roma 13:1
Dalam perspektif Alkitab, setiap bentuk otoritas yang sah adalah delegasi dari otoritas Allah.
Allah bekerja melalui struktur — baik dalam keluarga, gereja, maupun masyarakat — untuk menjaga ketertiban, mendidik karakter, dan menyalurkan kehendak-Nya.
Tiga lingkup otoritas utama yang didelegasikan Allah:
- Otoritas Keluarga — melalui orang tua (Ef. 6:1–3).
Anak belajar ketaatan pertama kali bukan di gereja, tetapi di rumah.
Kegagalan tunduk pada otoritas orang tua sering menjadi akar pemberontakan terhadap otoritas rohani di kemudian hari. - Otoritas Pekerjaan / Sosial — melalui pemimpin di tempat kerja atau pemerintahan (Kol. 3:22–24; 1 Ptr. 2:13–14).
Tunduk bukan karena manusia layak ditaati, tetapi karena kita menghormati Tuhan yang menempatkan mereka. - Otoritas Gereja / Rohani — melalui pemimpin rohani yang diurapi (Ibr. 13:17).
Ketundukan kepada pemimpin rohani adalah bentuk kepercayaan kepada tatanan rohani yang Allah dirikan untuk menjaga, mengajar, dan menuntun umat-Nya.
“Obey your leaders and submit to them, for they are keeping watch over your souls.”
— Hebrews 13:17 (ESV)
Implikasi Kepemimpinan:
- Menolak otoritas yang sah berarti menolak struktur yang Allah tetapkan.
- Ketundukan kepada otoritas manusia yang Allah tetapkan adalah perpanjangan dari ketundukan kepada Allah sendiri, selama otoritas itu tidak bertentangan dengan Firman.
- Allah melatih kepemimpinan kita bukan di atas panggung, tetapi di bawah otoritas.
“Ketika engkau belajar tunduk kepada otoritas yang kelihatan, engkau sedang belajar tunduk kepada Allah yang tidak kelihatan.”
3. Ketundukan Membawa Perlindungan dan Otoritas Ilahi
Prinsip: Di bawah otoritas ada perlindungan, di luar otoritas ada kerentanan.
Ketundukan bukan sekadar disiplin rohani, melainkan mekanisme perlindungan ilahi.
Seperti seorang prajurit yang berlindung di bawah perisai komandannya, demikian pula orang percaya aman ketika berada di bawah otoritas yang Allah tetapkan.
Otoritas bukanlah pengekangan kebebasan, tetapi perisai rohani yang menjaga kita dari kesalahan, kesombongan, dan penyesatan.
Contoh Alkitabiah:
- Daud menolak mengambil alih kuasa Saul karena ia tahu “Tuhan sendiri yang akan menurunkan atau menegakkan raja” (1 Sam. 26:10). Dengan tunduk, Daud tetap terlindung dari dosa kudeta dan pembalasan.
- Yesus berkata kepada Pilatus, “Engkau tidak mempunyai kuasa apa pun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan dari atas” (Yoh. 19:11). Ia menyadari bahwa bahkan otoritas manusiawi tunduk pada kehendak ilahi.
Implikasi Kepemimpinan:
- Pemimpin yang tunduk tidak kehilangan kendali, tetapi justru berada dalam payung kehendak Allah yang melindungi.
- Ketundukan menghasilkan keamanan rohani dan kejernihan moral.
- Sebaliknya, pemberontakan terhadap otoritas membuka pintu bagi kekacauan, konflik, dan kehancuran karakter.
“Submission places you under divine covering; rebellion exposes you to destruction.” — Watchman Nee.
Kesimpulan Prinsip-Prinsip Otoritas
Ketiga prinsip ini membentuk fondasi spiritual dari kepemimpinan Yesus yang tunduk kepada Bapa:
| Prinsip | Akar Teologis | Tujuan Rohani |
|---|---|---|
| 1. Otoritas diperoleh melalui ketundukan | Yoh. 5:30 | Melatih ketaatan sebelum pengangkatan |
| 2. Semua otoritas bersumber dari Tuhan dan didelegasikan | Roma 13:1–2; Ibr. 13:17 | Menumbuhkan penghormatan kepada struktur ilahi |
| 3. Ketundukan membawa perlindungan dan kuasa ilahi | 1 Sam. 24:7; Yoh. 19:11 | Menjaga pemimpin tetap dalam jalur kehendak Allah |
Baik — berikut kelanjutan dari materi Session 6: Submissive — Kepemimpinan yang Tunduk kepada Otoritas dan Visi yang Lebih Besar, yaitu Bagian IV: Tiga Pilar Ketundukan dalam Kepemimpinan Kristiani.
Bagian ini membangun di atas dasar teologis dari Yohanes 5:30 dan doa Yesus di Getsemani (Lukas 22:42), kini diterjemahkan ke dalam praktik kepemimpinan rohani dan eklesiologis.
V. Tiga Pilar Ketundukan dalam Kepemimpinan Kristiani
Ketundukan (submissiveness) bukan konsep pasif, melainkan pola hidup aktif dari seorang pemimpin yang mengakui otoritas ilahi di atasnya dan bersedia menempatkan diri di bawah tatanan rohani yang benar.
Dalam Alkitab, ketundukan selalu terkait dengan tujuan yang lebih besar daripada diri sendiri — yakni visi, proses, dan misi Allah yang dikerjakan melalui otoritas yang telah ditetapkan-Nya.
Tiga pilar berikut menggambarkan aspek praktis dari ketundukan rohani sebagaimana dicontohkan dalam kehidupan Yesus dan diteladankan oleh para pemimpin Alkitab.
1. Tunduk kepada Visi yang Lebih Besar
“Sekaliannya itu, prajurit-prajurit, orang-orang dalam barisan tempur, datang ke Hebron dengan tulus hati untuk mengangkat Daud menjadi raja atas seluruh Israel.” — 1 Tawarikh 12:38
a. Prinsip Teologis
Ketundukan kepada visi yang lebih besar berarti menempatkan kemampuan, kepemimpinan, dan karunia pribadi di bawah misi ilahi yang melampaui kepentingan pribadi.
Pemimpin yang tunduk kepada visi bukan berjuang demi pengakuan, tetapi berkontribusi demi penggenapan kehendak Allah.
“Great men serve a great vision together.”
Kebesaran seseorang tidak diukur dari seberapa besar pengaruh pribadinya, tetapi dari seberapa besar visi yang ia layani.
b. Teladan: Pahlawan-Pahlawan Daud
Dalam 1 Tawarikh 11–12 dan 2 Samuel 23, para pahlawan Daud menampilkan semangat submissive leadership yang luar biasa:
- Mereka adalah orang-orang kuat, namun mereka menundukkan kekuatan mereka di bawah visi Daud sebagai raja pilihan Allah.
- Mereka rela berkorban demi kesuksesan pemimpin mereka (2 Sam. 23:15–17).
- Mereka tidak mencari nama sendiri, tetapi membangun nama bagi Allah melalui kesetiaan mereka pada Daud.
Daud melambangkan pemimpin yang diurapi; para pahlawan melambangkan pemimpin-pemimpin yang tunduk kepada visi ilahi yang diwujudkan melalui pemimpin di atas mereka.
Inilah refleksi nyata dari ketundukan kepada visi yang lebih besar — mereka membangun kerajaan Allah, bukan kerajaan diri.
c. Aplikasi Kepemimpinan
- Visi bersama lebih penting daripada ambisi pribadi.
Pemimpin yang tunduk sadar bahwa “kerajaan yang terbagi tidak akan tetap berdiri” (Mat. 12:25). - Ketundukan kepada visi menghasilkan sinergi ilahi.
Ketika setiap orang tunduk kepada arah yang sama, Roh Kudus bekerja dengan kuasa penuh. - Kepemimpinan tunduk berarti kepemimpinan yang menyatu.
Tidak ada ruang bagi kompetisi, hanya kolaborasi dalam ketaatan.
“Seberapa hebatnya visi Anda, jika itu hanya untuk diri sendiri, maka visi itu belum cukup besar.” — Budi Hidajat.
2. Tunduk kepada Pembentukan Tuhan melalui Pemimpin di Atasnya
“Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah.”
— Roma 13:1
a. Prinsip Teologis
Ketundukan kepada pembentukan melalui pemimpin di atas kita adalah bentuk ketaatan kepada Tuhan yang bekerja melalui otoritas yang didelegasikan.
Allah sering memakai pemimpin yang tidak sempurna untuk menguji, membentuk, dan memperdalam karakter kita.
Ketundukan sejati diuji bukan ketika kita setuju dengan keputusan pemimpin, melainkan ketika kita harus taat pada keputusan yang tidak kita pahami sepenuhnya.
Seperti Yesus tunduk kepada otoritas dunia — kepada imam-imam kepala, bahkan kepada Pilatus — tanpa kehilangan integritas-Nya, demikian juga kita belajar untuk tunduk sebagai latihan rohani dalam ketaatan.
“God tests our submission through imperfect authorities.”
— Watchman Nee, Spiritual Authority.
b. Contoh Alkitabiah
- Yosua kepada Musa: Ia belajar di bawah bayang-bayang Musa selama puluhan tahun sebelum memimpin bangsa Israel. Ketundukannya melatih discernment dan kesetiaan terhadap Allah.
- Elisa kepada Elia: Elisa melayani Elia tanpa menuntut posisi, hanya berkata: “Demi Tuhan yang hidup dan demi hidupmu sendiri, aku tidak akan meninggalkan engkau” (2 Raj. 2:2).
- Daud kepada Saul: Meskipun Saul berusaha membunuhnya, Daud berkata, “Aku tidak akan menjamah orang yang diurapi TUHAN” (1 Sam. 24:7).
Daud memahami bahwa otoritas Saul berasal dari Allah, dan menolak mengambil alih kuasa dengan cara yang bukan dari Tuhan.
c. Aplikasi Kepemimpinan
- Ketundukan melatih kita untuk taat sebelum dipercaya memimpin.
Tidak ada otoritas tanpa ketaatan terlebih dahulu. - Ketundukan membentuk hati hamba sebelum tangan penguasa.
Allah lebih peduli pada karakter daripada kemampuan. - Ketundukan membuka perlindungan rohani.
Pemimpin yang menolak otoritas di atasnya kehilangan payung rohani yang menjaganya.
“He who cannot be led, cannot be trusted to lead.”
— John Maxwell.
3. Berkomitmen kepada Keberhasilan Pemimpinnya
“Dan Yosua bin Nun penuh dengan roh hikmat, sebab Musa telah meletakkan tangannya ke atasnya.”
— Ulangan 34:9
a. Prinsip Teologis
Ketundukan bukan hanya tentang ketaatan, tetapi juga tentang mendukung dan memastikan keberhasilan pemimpin yang Allah tempatkan di atas kita.
Roh yang tunduk tidak sekadar taat secara administratif, tetapi setia secara relational — ia bekerja untuk mengangkat tangan pemimpin, bukan menghakimi kelemahannya.
Seperti Harun dan Hur yang menopang tangan Musa agar tongkatnya tetap terangkat (Kel. 17:12), demikianlah pemimpin yang tunduk menjadi penopang otoritas, bukan pesaingnya.
b. Contoh Alkitabiah
- Yosua menolong Musa menang atas Amalek.
Ia tunduk pada strategi yang datang dari Musa, meski ia sendiri berperang di bawah lembah. - Timotius kepada Paulus.
Ia disebut “anak yang sah dalam iman” (1 Tim. 1:2) karena kesetiaannya bukan hanya kepada ajaran, tetapi juga kepada pribadi Paulus. - Pahlawan Daud.
Mereka mempertaruhkan nyawa untuk membawa air bagi Daud (2 Sam. 23:15–17), dan Daud mempersembahkannya kepada Tuhan.
Di balik tindakan mereka, ada roh ketundukan kepada visi dan keberhasilan pemimpin yang mereka layani.
c. Aplikasi Kepemimpinan
- Pemimpin yang tunduk mendoakan, melindungi, dan menopang pemimpin di atasnya.
- Ia mengusahakan keberhasilan otoritas di atasnya, bukan sekadar kepatuhan administratif.
- Ketika pemimpinnya berhasil, kerajaan Allah diperluas — sebab kemenangan seorang pemimpin adalah kemenangan seluruh tubuh Kristus.
“Ketika engkau menolong pemimpinmu berhasil, engkau sedang mempersiapkan dirimu untuk diangkat.”
Refleksi dan Tantangan
| Aspek | Pemimpin Dunia | Pemimpin yang Tunduk |
|---|---|---|
| Sumber otoritas | Diri sendiri | Delegasi dari Allah |
| Tujuan utama | Keberhasilan pribadi | Penggenapan kehendak Allah |
| Sikap terhadap koreksi | Resistensi | Kerendahan hati |
| Relasi dengan pemimpin di atas | Kompetisi | Dukungan dan kesetiaan |
| Arah pelayanan | Individualistik | Kolaboratif di bawah visi bersama |
“Submission is the invisible structure of the Kingdom — without it, power becomes chaos.” — Dallas Willard.
VI. Integrasi Spiritualitas dan Etika Kepemimpinan
Ketundukan (submissiveness) bukan hanya dimensi struktural dalam organisasi rohani, tetapi juga disiplin spiritual dan etika hidup seorang pemimpin yang berakar pada relasi dengan Allah.
Dalam tradisi Kristen, spiritualitas dan etika tidak pernah dipisahkan — keduanya bertemu dalam tindakan ketaatan yang konkret terhadap kehendak Allah.
Ketundukan menjadi jembatan antara iman yang diakui dan karakter yang terbukti.
1. Submissiveness sebagai Disiplin Spiritualitas
Ketundukan adalah latihan rohani yang melatih kerendahan hati dan kepekaan terhadap pimpinan Roh Kudus. Dalam proses pembentukan rohani (spiritual formation), Tuhan sering kali menempatkan seseorang di bawah otoritas agar ia belajar dua hal: menahan diri dan mendengar dengan taat.
a. Tujuan Spiritualitas Ketundukan
- Membentuk kerendahan hati (humility):
Ketundukan mematahkan ego dan melatih kesediaan untuk dikoreksi.
“God opposes the proud, but gives grace to the humble.” (Yak. 4:6) - Menumbuhkan kepekaan rohani (discernment):
Orang yang hidup di bawah otoritas belajar mengenali suara Allah melalui struktur otoritas yang sah. - Menyelaraskan kehendak pribadi dengan kehendak Allah:
Ketundukan mengubah “keinginanku” menjadi “kehendak-Mu terjadi” (Luk. 22:42).
b. Proses Ketundukan sebagai Pembentukan Rohani
Spiritualitas ketundukan tidak dibentuk di tempat kenyamanan, tetapi dalam proses ketaatan yang menyakitkan namun menyucikan. Yesus sendiri “belajar menjadi taat dari apa yang diderita-Nya” (Ibr. 5:8). Artinya, submission bukan hanya konsep teologis, tetapi proses pengalaman yang menumbuhkan kedewasaan rohani.
c. Dimensi Relasional Ketundukan
Ketundukan bukan sekadar hubungan vertikal antara individu dan Allah, melainkan juga relasi horizontal antara sesama pemimpin.
Paulus menulis, “Rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain di dalam takut akan Kristus.” (Ef. 5:21). Artinya, pemimpin yang rohani tidak hanya tunduk kepada Allah secara pribadi, tetapi juga menghormati dan belajar dari pemimpin-pemimpin lain yang didelegasikan oleh Allah.
2. Submissiveness sebagai Etika Kepemimpinan
Etika Kristen berakar pada imitatio Christi — meneladani Kristus dalam seluruh tindakan.
Ketundukan menjadi etika dasar kepemimpinan karena menyangkut bagaimana seorang pemimpin menggunakan kuasa dengan cara yang kudus dan bertanggung jawab.
a. Otoritas yang Etis Adalah Otoritas yang Tunduk
Otoritas tanpa ketundukan akan berubah menjadi kekuasaan yang korup.
Otoritas rohani yang sejati tidak mencari kepatuhan, tetapi melayani di bawah otoritas Allah.
“The moment we cease to be under authority, our authority ceases to be divine.”
— Andrew Murray.
Ketika seorang pemimpin sadar bahwa ia sendiri tunduk kepada Tuhan, ia akan menjalankan otoritasnya dengan rasa takut akan Allah, keadilan, dan kasih.
b. Ketundukan Mencegah Penyalahgunaan Kuasa
Penyalahgunaan kuasa rohani (spiritual abuse) sering kali berawal dari pemimpin yang tidak tunduk. Ketika seseorang merasa dirinya “di atas sistem,” ia kehilangan accountability dan akhirnya kehilangan arah moral. Etika kepemimpinan Kristen menegaskan bahwa otoritas harus dijalankan dalam kerangka tanggung jawab kepada Allah dan sesama.
“Power without submission to God becomes tyranny; submission without conviction becomes servility.” — J.I. Packer.
c. Ketundukan dan Transparansi Moral
Ketundukan juga menciptakan budaya accountability dan transparansi. Pemimpin yang tunduk tidak takut diawasi karena hidupnya terbuka di hadapan Allah dan komunitas iman. Inilah tanda pemimpin yang etis: ia tidak bersembunyi di balik posisi, tetapi berjalan dalam terang (1 Yoh. 1:7).
3. Integrasi antara Spiritualitas dan Etika: Jalan Kepemimpinan Kristus
Dalam diri Yesus, spiritualitas dan etika bertemu secara sempurna: Ia mendengar dan menaati Bapa (spiritualitas) serta memimpin dengan kerendahan hati dan pengorbanan (etika).
Kepemimpinan Yesus adalah spiritual obedience expressed through ethical humility.
| Dimensi | Yesus sebagai Teladan | Implikasi bagi Pemimpin |
|---|---|---|
| Spiritualitas | “Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri.” (Yoh. 5:30) | Bergantung pada Allah, bukan pada ambisi. |
| Etika | “Bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.” (Luk. 22:42) | Keputusan diambil berdasarkan kehendak Tuhan, bukan keuntungan pribadi. |
| Kepemimpinan | “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.” (Mrk. 10:45) | Memimpin dengan hati hamba di bawah otoritas Allah. |
Ketundukan, dengan demikian, bukan sekadar kebajikan rohani, tetapi kerangka etika yang mengatur seluruh perilaku kepemimpinan.
Pemimpin yang tunduk memimpin dengan hati yang rendah, telinga yang mendengar, dan tangan yang melayani.
4. Aplikasi Praktis bagi Pemimpin Kristen
- Bangun budaya “di bawah otoritas”.
Setiap pemimpin rohani perlu memiliki otoritas yang mengawasi dan menasihatinya. Tidak ada pemimpin yang terlalu besar untuk dikoreksi. - Latih kepekaan terhadap suara Tuhan melalui proses ketaatan kecil.
Ketundukan pada hal-hal sederhana melatih ketaatan dalam hal-hal besar. - Terapkan etika ketaatan dalam pengambilan keputusan.
Ukurlah setiap keputusan bukan dengan “apakah ini efektif,” tetapi “apakah ini taat.” - Rawat postur hati.
Ketundukan bukan hanya soal struktur, tetapi sikap hati yang terus-menerus mengatakan: “Tuhan, kehendak-Mu yang jadi.”
5. Refleksi Kelas
Pertanyaan Diskusi
- Mengapa ketundukan sering disalahpahami sebagai kelemahan dalam konteks kepemimpinan modern?
- Apa tantangan terbesar bagi Anda untuk hidup di bawah otoritas yang ditetapkan Allah?
- Bagaimana penerapan prinsip “otoritas di bawah otoritas” dapat memperkuat struktur kepemimpinan gereja atau organisasi Anda?
Penutup:
Ketundukan adalah bentuk tertinggi dari kekuatan rohani. Dalam dunia yang memuliakan kemandirian, Yesus menunjukkan bahwa keberanian terbesar adalah berani tunduk kepada kehendak Bapa. Dari Getsemani hingga Golgota, Ia memimpin dengan mendengar, menaati, dan menyerahkan diri — dan karena itulah Allah meninggikan Dia di atas segala nama (Flp. 2:9).
“Submission is not the end of leadership, but the beginning of divine authority.”
— Budi Hidajat.