Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti sesi ini, mahasiswa mampu:
- Menjelaskan dasar teologis konsep stewardship dalam kepemimpinan Yesus.
- Membedakan antara kepemilikan (ownership) dan pengelolaan (stewardship) dari perspektif biblika.
- Mengidentifikasi implikasi stewardship dalam kepemimpinan rohani, pelayanan, dan kehidupan pribadi.
- Menerapkan prinsip stewardship dalam tanggung jawab kepemimpinan gerejawi dan sosial.
A. Pendahuluan
Stewardship adalah paradigma kepemimpinan yang menempatkan manusia bukan sebagai pemilik, melainkan sebagai pengelola kehendak Allah di bumi. Dalam pandangan Alkitab, seorang pemimpin rohani dipanggil untuk mengelola segala sesuatu yang dipercayakan Tuhan dengan penuh tanggung jawab dan kesetiaan. Dengan kata lain, stewardship merupakan pengelolaan yang bertanggung jawab atas segala hal yang dipercayakan Allah kepada manusia—termasuk waktu, talenta, sumber daya, dan pengaruh—demi memuliakan Allah dan melayani sesama.
Paulus menegaskan prinsip ini dengan jelas: “Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah bahwa mereka ternyata dapat dipercayai.” (1 Korintus 4:2)
Ayat ini menegaskan bahwa kredibilitas seorang pemimpin di mata Allah tidak diukur dari keberhasilan eksternal, melainkan dari tingkat kesetiaannya dalam mengelola amanat yang diberikan. Dalam perspektif teologi kepemimpinan, stewardship bukanlah sekadar aktivitas manajerial, tetapi merupakan ekspresi iman dan ketaatan terhadap kehendak Allah.
Pertanyaan Diskusi Kelas
- Kesetiaan vs. Keberhasilan:
Berdasarkan 1 Korintus 4:2, Paulus menegaskan bahwa yang dituntut dari seorang pelayan ialah kesetiaan, bukan sekadar hasil yang terlihat. Bagaimana perbedaan paradigma antara “pemimpin yang berhasil” dan “pemimpin yang setia” membentuk cara kita memandang tanggung jawab kepemimpinan di gereja atau pelayanan masa kini? - Kepemilikan atau Pengelolaan?
Dalam konteks modern, banyak pemimpin rohani merasa memiliki pelayanan atau organisasi yang mereka bangun.Bagaimana konsep stewardship menantang kecenderungan manusia untuk mengklaim “kepemilikan” atas sesuatu yang sebenarnya dipercayakan Allah? Dan bagaimana sikap hati seorang pengelola berbeda dari seorang pemilik?
B. Dasar Biblika dan Teologis
1. Dominion Mandate (Kejadian 1:26–28; 2:15)
Kej.1:26-28 Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
Apa yang sering disebut sebagai dominion mandate (amanat untuk berkuasa) dalam Kejadian 1:26–28 sering disalahpahami sebagai izin untuk mendominasi atau mengekploitasi ciptaan. Namun secara teologis, kata “berkuasa” (radah) dalam konteks Ibrani tidak menunjuk pada penindasan atau eksploitasi, melainkan pada tanggung jawab untuk mengelola dan memerintah sebagaimana Allah memerintah—dengan kasih, keadilan, dan kebijaksanaan.
Dengan demikian, dominion mandate bukanlah mandat untuk menaklukkan bumi demi kepentingan manusia, tetapi untuk mengelola bumi bagi kemuliaan Tuhan. Manusia diciptakan menurut gambar Allah (imago Dei) agar menjadi representasi pemerintahan Allah di bumi—menunjukkan karakter dan kehendak-Nya melalui cara ia memimpin dan mengelola ciptaan.
Kej.2:15 TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.
Ayat ini memperjelas mandat ini dengan istilah Ibrani ‘abad’ (bekerja/mengolah) dan ‘shamar’(memelihara/menjaga). Kedua kata ini mengandung makna perintah sekaligus kepercayaan yang Tuhan berikan kepada manusia untuk mengusahakan dan memelihara Taman Eden. Artinya, manusia diberi kehormatan untuk berpartisipasi dalam karya pemeliharaan Allah atas dunia ciptaan-Nya.
Prinsip Teologis:
Penciptaan memberikan konteks pertama dan paling fundamental dari stewardship. Dalam rancangan ilahi, manusia ditempatkan sebagai wakil Allah di bumi—bukan untuk mengambil alih peran Sang Pencipta, melainkan untuk merefleksikan pemerintahan-Nya melalui tanggung jawab, kasih, dan kebijaksanaan. Mandat untuk “mengusahakan dan memelihara” (Kej. 2:15) menunjukkan bahwa stewardship adalah bagian integral dari identitas manusia sebagai gambar Allah (imago Dei). Dengan mengelola ciptaan, manusia turut serta dalam karya creatio continua—pemeliharaan Allah yang berkelanjutan atas dunia. Maka, tanggung jawab manusia atas bumi bukanlah aktivitas sekuler, melainkan ekspresi spiritual dari ketaatan kepada Sang Pencipta.
Sebaliknya, dosa menandai momen ketika manusia menolak posisi sebagai pengelola dan berusaha menjadi pemilik. Dalam Kejadian 3, manusia tidak lagi mengelola atas nama Allah, tetapi mencoba menentukan baik dan jahat bagi dirinya sendiri—sebuah bentuk pengambilalihan otoritas ilahi. Pelanggaran ini menggeser orientasi stewardship dari ketaatan menjadi kontrol, dari penyembahan menjadi eksploitasi. Dengan demikian, dosa bukan hanya tindakan moral yang salah, tetapi juga pemberontakan terhadap struktur pengelolaan ilahi: manusia yang seharusnya menjaga ciptaan kini merusaknya; yang seharusnya mengelola dalam ketergantungan kini hidup dalam keangkuhan. Stewardship sejati baru dipulihkan ketika manusia kembali menundukkan diri di bawah pemerintahan Allah dan mengelola segala sesuatu untuk kemuliaan-Nya (1 Kor. 10:31).
2. Yesus sebagai Teladan Pengelola Amanat Allah (Yoh. 5:19; 17:4; 19:30)
Dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus menjadi model tertinggi dari seorang pengelola yang setia terhadap kehendak Bapa. Ia tidak mencari kehendak-Nya sendiri, melainkan menyelesaikan pekerjaan yang telah dipercayakan kepada-Nya.
“Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukan.” (Yohanes 17:4)
Ayat ini menunjukkan dimensi terdalam dari stewardship Kristologis: ketaatan yang melahirkan kemuliaan Allah. Yesus mengelola misi ilahi yang dipercayakan kepadanya — mengajar, menyembuhkan, menebus — dengan kesetiaan penuh sampai pada salib, di mana Ia menegaskan penyelesaian amanat itu: “Sudah selesai.” (Yohanes 19:30)
Dengan demikian, stewardship dalam diri Kristus bukan sekadar pelaksanaan tugas, melainkan ungkapan kasih dan ketaatan kepada Bapa. Ia menunjukkan bahwa seorang pemimpin sejati adalah pelayan yang dapat dipercayai (1 Korintus 4:2), yang menyelesaikan pekerjaan Tuhan dengan integritas, bukan ambisi pribadi.
Prinsip Teologis: Stewardship Kristologis berpuncak dalam kenosis (Filipi 2:6–8): pengosongan diri demi melaksanakan kehendak Bapa. Dalam ketaatan itulah Yesus menunjukkan bahwa kuasa sejati bukanlah dominasi, melainkan pengelolaan yang penuh kasih dan kerendahan hati.
3. Amanat dan Akuntabilitas seorang Pengelola (Mat. 25:14–30)
Perumpamaan tentang talenta menggambarkan dimensi eskatologis dari stewardship. Setiap hamba menerima talenta “menurut kesanggupannya” — sebuah pengakuan atas diversitas anugerah yang diberikan Allah (ayat 15). Namun, semua hamba dituntut untuk memberi pertanggungjawaban yang sama (ayat 19–30).
Kisah ini mengajarkan bahwa:
- Segala sesuatu berasal dari Tuhan — tidak ada kepemilikan mutlak manusia.
- Perbedaan kapasitas adalah anugerah, bukan dasar perbandingan.
- Kesetiaan dalam hal kecil menentukan kepercayaan yang lebih besar.
“Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar.” (Matius 25:21)
Dalam konteks kepemimpinan, perumpamaan ini menegaskan prinsip dasar:
Stewardship adalah ujian kesetiaan, bukan sekadar keberhasilan.
Pemimpin yang berkenan di hadapan Allah bukanlah mereka yang menghasilkan paling banyak, tetapi mereka yang mengelola dengan setia apa yang telah dipercayakan.
Prinsip Teologis:
Stewardship adalah panggilan untuk bertanggung jawab. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban bukan hanya atas hasilnya, tetapi juga atas motivasi dan kesetiaannya.
Pertanyaan Diskusi Kelas
1. Dominion Mandate (Kejadian 1:26–28; 2:15)
Manusia sering menafsirkan “berkuasa atas bumi” sebagai hak untuk mendominasi ciptaan, bukan sebagai tanggung jawab untuk mengelola.
Pertanyaan: Bagaimana pergeseran dari dominion (berkuasa) menuju stewardship (mengelola) mengubah cara kita memandang peran manusia di dunia ciptaan? Dalam konteks teologi kepemimpinan, bagaimana mandat ini menantang pola pikir antroposentris dan mendorong kepemimpinan yang ekologis dan teosentris?
2. Yesus sebagai Teladan Pengelola Amanat Allah (Yohanes 5:19; 17:4; 19:30)
Yesus menunjukkan ketaatan sempurna kepada Bapa, mengelola misi penebusan bukan demi ambisi pribadi, tetapi demi kemuliaan Allah.
Pertanyaan: Dalam terang kehidupan Yesus, bagaimana stewardship diartikan sebagai ekspresi kasih dan ketaatan, bukan sekadar tanggung jawab fungsional? Dan bagaimana teladan Kristus ini membentuk etika kepemimpinan yang mengutamakan kehendak Allah di atas agenda pribadi atau institusional?
3. Amanat dan Akuntabilitas Seorang Pengelola (Matius 25:14–30)
Perumpamaan tentang talenta menegaskan bahwa kesetiaan lebih utama daripada hasil, dan setiap hamba akan dimintai pertanggungjawaban.
Pertanyaan: Apa implikasi teologis dari prinsip bahwa “stewardship adalah ujian kesetiaan, bukan sekadar keberhasilan” bagi para pemimpin gereja masa kini? Bagaimana konsep akuntabilitas di hadapan Allah ini dapat membentuk sistem kepemimpinan yang transparan, rendah hati, dan berorientasi pada kehendak Tuhan?
C. Dimensi Stewardship
| Dimensi | Objek yang Dikelola | Tanggung Jawab Teologis | Referensi |
|---|---|---|---|
| Spiritual | Karunia rohani, panggilan | Menyadari panggilan sebagai pelayanan, bukan prestise | 1 Ptr 4:10 |
| Moral | Integritas dan karakter | Mengelola hati dan motivasi dengan takut akan Tuhan | Ams. 4:23 |
| Relasional | Pengaruh dan komunitas | Membangun tubuh Kristus dengan kasih | Ef. 4:11–13 |
| Material | Keuangan, waktu, sumber daya | Menggunakan berkat untuk kemuliaan Allah | Mat. 6:19–21 |
| Missional | Amanat Agung | Menjalankan mandat kerajaan Allah di dunia | Mat. 28:18–20 |
D. Etika Kepemimpinan dalam Stewardship
a. Ownership vs. Stewardship Mentality
Etika kepemimpinan Kristen dimulai dari perubahan paradigma: dari mentalitas kepemilikan (ownership mentality) menuju mentalitas pengelolaan (stewardship mentality). Dalam sistem nilai dunia, pemimpin sering diukur dari seberapa banyak hasil, prestasi, atau pengaruh yang ia miliki. Orientasinya adalah akumulasi dan penguasaan. Namun dalam terang Injil, kepemimpinan bukanlah soal kepemilikan hasil, melainkan kesetiaan terhadap Sang Pemilik hasil itu sendiri.
Pemimpin rohani memahami bahwa segala sesuatu—baik talenta, kesempatan, maupun keberhasilan—berasal dari Allah dan harus dikembalikan kepada-Nya sebagai bentuk penyembahan. Itulah sebabnya Yesus berkata, “Tanpa Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh. 15:5)
Pemimpin dengan mentalitas stewardship tidak mengklaim kemuliaan atas keberhasilan pelayanan atau organisasinya, melainkan mengembalikannya kepada Tuhan. Ia sadar bahwa kepemimpinan adalah kepercayaan, bukan kepemilikan; panggilan, bukan prestise; amanat, bukan hak istimewa.
Diskusi Kelas: Bagaimana pergeseran dari ownership mentality menuju stewardship mentality dapat mengubah cara seorang pemimpin memandang keberhasilan, kekuasaan, dan tanggung jawab dalam pelayanan? Berikan contoh konkret bagaimana sikap ini dapat memengaruhi budaya kepemimpinan di gereja atau organisasi Kristen masa kini.
b. Accountability before God
Etika stewardship menempatkan tanggung jawab utama bukan kepada sistem manusia, melainkan kepada Allah yang memberikan amanat itu. Paulus menegaskan, “Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah bahwa mereka ternyata dapat dipercayai.” (1 Kor. 4:2).
Kesetiaan menjadi ukuran moral seorang pemimpin rohani. Keberhasilan dalam perspektif Allah tidak selalu identik dengan hasil kuantitatif, melainkan dengan ketaatan terhadap kehendak-Nya.
Pemimpin yang hidup di bawah kesadaran akuntabilitas ilahi akan menjaga integritas dalam keputusan-keputusan strategis, penggunaan sumber daya, dan relasi interpersonal. Ia tidak memimpin berdasarkan tekanan publik atau penilaian institusional, tetapi berdasarkan kesadaran batin bahwa setiap keputusan adalah bentuk ibadah dan pertanggungjawaban kepada Tuhan. Dengan demikian, accountability before God menjadi fondasi moral yang menuntun kepemimpinan pada arah yang benar, bahkan ketika dunia menilai dengan ukuran yang berbeda.
Prinsip: Akuntabilitas rohani mengalihkan fokus dari “bagaimana saya dinilai orang” menjadi “bagaimana saya berkenan di hadapan Allah.”
Diskusi kelas: Dalam praktik kepemimpinan masa kini yang sering menilai keberhasilan secara angka, hasil, dan popularitas, bagaimana seorang pemimpin rohani dapat menjaga integritas dan ketaatan kepada Allah sebagai bentuk akuntabilitas tertinggi? Apa tantangan terbesar dalam memimpin dengan kesadaran bahwa setiap keputusan adalah bentuk ibadah?
c. Sacrificial Management
Stewardship sejati tidak hanya menuntut kecakapan manajerial, tetapi juga pengorbanan. Pemimpin yang hidup dalam etika stewardship menyadari bahwa mengelola amanat Allah sering kali berarti menanggalkan kenyamanan pribadi, bahkan reputasi, demi terlaksananya kehendak ilahi.
Yesus memberikan teladan tertinggi dari pemimpin yang berkorban ketika Ia berkata, “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Markus 10:45). Kepemimpinan yang meneladani Kristus bukanlah kepemimpinan yang mencari posisi tertinggi, tetapi yang rela turun paling rendah demi memulihkan orang lain.
Pengorbanan dalam konteks stewardship bukanlah kehilangan, melainkan investasi kekal. Pemimpin yang berkorban waktu, tenaga, dan bahkan haknya demi kebenaran Allah sedang berpartisipasi dalam karya penebusan Kristus di dunia. Ia memahami bahwa dalam kerajaan Allah, kerugian sementara sering kali menjadi benih kemuliaan kekal.
E. Prinsip-Prinsip STEWARDSHIP untuk Pemimpin Kristen
1. Recognize the Owner — Tuhan adalah pemilik; kita hanya pengelola.
Langkah pertama dalam stewardship leadership adalah kesadaran ontologis bahwa Tuhan adalah sumber dan pemilik segala sesuatu. Segala karunia, kesempatan, bahkan posisi kepemimpinan yang kita miliki hanyalah titipan ilahi. Ketika seorang pemimpin mengakui bahwa ia bukan pemilik, melainkan pengelola, maka paradigma kepemimpinannya berubah dari orientasi kuasa menjadi orientasi tanggung jawab. Kesadaran ini melindungi hati dari kesombongan spiritual dan menumbuhkan kerendahan hati yang sejati. Pemimpin yang menyadari kepemilikan Allah tidak akan memanipulasi hasil atau menguasai orang lain demi keuntungan pribadi, melainkan menuntun dengan rasa hormat kepada Tuhan yang mempercayakannya amanat itu.
2. Live Accountably — setiap keputusan adalah bentuk pertanggungjawaban rohani.
Kepemimpinan Kristen bukan sekadar aktivitas administratif, tetapi bentuk ibadah yang terus-menerus di hadapan Allah. Setiap keputusan, kebijakan, dan interaksi merupakan wujud pertanggungjawaban spiritual kepada Sang Pemberi Amanat. Prinsip ini menuntut pemimpin untuk senantiasa hidup dalam transparansi, integritas, dan kejujuran—bukan karena pengawasan manusia, tetapi karena kesadaran bahwa mata Tuhan senantiasa melihat. Paulus menegaskan bahwa yang terutama dituntut dari seorang pelayan ialah bahwa ia dapat dipercayai (1 Kor. 4:2). Maka, pemimpin yang hidup dengan kesadaran akuntabilitas ilahi akan menolak kompromi moral, menimbang keputusan dengan hati nurani yang murni, dan menjalankan tugasnya dengan rasa takut akan Tuhan.
3. Serve Faithfully — hasil adalah urusan Tuhan; kesetiaan adalah bagian kita.
Dalam dunia yang menilai keberhasilan dari ukuran hasil dan pertumbuhan, pemimpin rohani dipanggil untuk kembali pada ukuran surgawi: kesetiaan. Stewardship menekankan bahwa tanggung jawab manusia adalah melayani dengan setia, sementara hasil akhir berada di tangan Tuhan. Yesus sendiri menunjukkan prinsip ini ketika Ia taat sampai mati di kayu salib, bukan karena hasil duniawi, tetapi demi kehendak Bapa. Pemimpin yang melayani dengan kesetiaan tidak mudah kecewa ketika hasil tampak kecil atau lambat, karena ia menilai keberhasilan bukan dari jumlah, melainkan dari ketaatan. Kesetiaan demikian menumbuhkan ketekunan, kerendahan hati, dan sukacita dalam pelayanan yang murni.
4. Multiply What’s Given — kepemimpinan bertumbuh saat amanat diinvestasikan, bukan disembunyikan.
Prinsip ini berakar pada perumpamaan tentang talenta (Mat. 25:14–30), yang menegaskan bahwa stewardship sejati selalu menghasilkan pertumbuhan. Setiap karunia, kesempatan, dan tanggung jawab yang Tuhan percayakan tidak dimaksudkan untuk disimpan, melainkan untuk dikembangkan demi kemajuan Kerajaan Allah. Pemimpin yang berorientasi pada pertumbuhan rohani akan menginvestasikan waktunya dalam membangun orang lain, memperlengkapi tim, dan melipatgandakan kapasitas pelayanan. Multiplying stewardship menolak sikap pasif atau takut gagal; sebaliknya, ia memandang setiap kepercayaan sebagai ladang untuk berbuah lebih banyak. Dengan demikian, kepemimpinan menjadi wadah bagi ekspansi anugerah, bukan sekadar pemeliharaan struktur.
5. Return Glory to God — setiap keberhasilan dikembalikan kepada Sang Pemilik.
Puncak dari stewardship adalah doxology—mengembalikan segala kemuliaan kepada Allah. Pemimpin rohani yang benar menyadari bahwa keberhasilan pelayanan, pengaruh, dan hasil kerja bukanlah cermin kehebatan pribadi, melainkan bukti kasih karunia Tuhan yang bekerja melalui dirinya. Prinsip ini menjaga hati pemimpin dari kesombongan dan membawanya kepada penyembahan yang lebih dalam. Setiap pencapaian menjadi altar pujian, bukan panggung kebanggaan. Dengan mengembalikan kemuliaan kepada Tuhan, seorang pemimpin menegaskan kembali posisinya sebagai pelayan, bukan pusat perhatian, dan meneguhkan bahwa semua yang dilakukan hanyalah untuk memperbesar nama-Nya di bumi (1 Kor. 10:31).
F. Studi Kasus Biblika: Lukas 16:1–13 (Perumpamaan Bendahara yang Tidak Jujur)
- Pertanyaan Diskusi:
- Mengapa Yesus memuji kecerdikan bendahara, bukan ketidakjujurannya?
- Apa yang teks ini ajarkan tentang kebijaksanaan dalam mengelola sumber daya?
- Bagaimana pemimpin Kristen dapat menghindari penyalahgunaan kuasa dan sumber daya yang dipercayakan?
Diskusi Kelas: Dalam konteks pelayanan modern, bagaimana stewardship diterapkan pada:
- Pengelolaan dana gereja
- Pemanfaatan platform digital
- Kepemimpinan berbasis talenta dalam organisasi pelayanan
Refleksi Pribadi:
- Apa “talenta” yang Tuhan percayakan kepadamu saat ini?
- Bagaimana engkau mengelolanya dengan kesetiaan dan integritas?
- Apakah engkau melihat dirimu sebagai pemilik atau pengelola?
G. Bacaan Tambahan
- Richard Foster. Freedom of Simplicity. (HarperOne, 2019) — tentang spiritualitas pengelolaan sumber daya.
- John R. W. Stott. The Radical Disciple: Some Neglected Aspects of Our Calling. (IVP, 2010) — bab “Creation Care.”
- Howard Snyder. Models of the Kingdom. (Abingdon, 1991) — hubungan antara mandat budaya dan amanat Injil.
- Dallas Willard. The Divine Conspiracy. (HarperOne, 1998) — konsep tanggung jawab dalam kerajaan Allah.
- N. T. Wright. After You Believe: Why Christian Character Matters. (HarperOne, 2010) — bab “The Virtue of Responsibility.”
H. Tugas (Individual Reflection Paper)
Judul: Stewardship as Kingdom Leadership: A Reflection on John 17:4 and Matthew 25:14–30
Panjang: 3–4 halaman
Isi:
- Analisis biblika terhadap konsep stewardship Yesus.
- Penerapan pribadi dalam konteks pelayanan atau organisasi.
- Integrasi antara tanggung jawab spiritual dan profesional sebagai pemimpin.
Tujuan: Melatih mahasiswa menginternalisasi stewardship mindset dalam praktik kepemimpinan yang Kristosentris.