Jati Diri yang Utuh: Diciptakan Serupa dengan Gambar Allah

Setiap kita pernah bertanya dalam hati: “Siapa aku sebenarnya?” Ada yang mencoba menemukan jawabannya melalui pekerjaan, ada yang melalui pencapaian, ada pula yang melalui pengakuan orang lain. Tetapi semakin kita mengejarnya, semakin kita merasa hampa. Kabar baiknya, Alkitab berkata bahwa jati diri kita tidak ditentukan oleh dunia ini, melainkan oleh Allah yang menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya (imago Dei, Kej. 1:26–27). Artinya, sejak awal manusia diciptakan dengan nilai, martabat, dan tujuan yang luhur: untuk merefleksikan karakter Allah, hidup dalam relasi dengan-Nya, dan melaksanakan mandat-Nya di bumi.

“If your identity is in your work rather than in Christ, success will go to your head, and failure will go to your heart.” – Tim Keller
(“Jika identitasmu ada pada pekerjaanmu dan bukan pada Kristus, maka keberhasilan akan membuatmu sombong, dan kegagalan akan menghancurkan hatimu.”)

Namun dosa masuk dan merusak jati diri itu. Gambar Allah dalam diri manusia tidak hilang, tetapi tercemar—manusia kehilangan arah, terjebak dalam rasa malu, takut, iri hati, dan kesombongan. Sejak kejatuhan di Taman Eden, manusia cenderung mencari identitasnya di luar Allah: pada harta, kuasa, popularitas, dan penerimaan orang lain. Akibatnya, jati diri yang seharusnya utuh berubah menjadi rapuh. Kita diciptakan untuk mencerminkan Allah, tetapi dosa membuat kita lebih sering mencerminkan dunia.

Di sinilah Injil menjadi kabar baik: Kristus datang untuk memulihkan kembali jati diri kita yang rusak, sehingga kita dapat kembali hidup sebagai anak-anak Allah, serupa dengan gambar-Nya, dan menemukan kepenuhan hidup dalam kasih dan anugerah-Nya.


1. Definisi dan Dasar Teologis

Alkitab mengajarkan bahwa manusia diciptakan “menurut gambar dan rupa Allah” (imago Dei, Kejadian 1:26–27). Ini berarti jati diri manusia bersumber dari Allah sendiri, bukan dari dunia, harta, kuasa, atau pendapat orang lain. Jati diri yang utuh adalah ketika manusia hidup dalam kesadaran bahwa dirinya adalah ciptaan Allah yang berharga, bermakna, dan memiliki tujuan kekal.

“I am not what I do, I am not what I have, I am not what people say about me. I am the beloved of God.”Henri Nouwen
(“Aku bukan apa yang aku lakukan, aku bukan apa yang aku miliki, aku bukan apa yang orang katakan tentang aku. Aku adalah kekasih Allah.”)

Namun, dosa merusak jati diri manusia. Sejak kejatuhan di Taman Eden (Kejadian 3), manusia tidak lagi melihat dirinya dari perspektif Allah, tetapi dari perspektif yang tercemar dosa: rasa malu, ketakutan, iri hati, kesombongan, dan ketidakamanan (insecurity). Inilah sebabnya banyak orang mencari nilai dirinya dari luar Allah—dari prestasi, kekayaan, kuasa, atau penerimaan orang lain.


2. Tabel Perbandingan: Jati Diri Utuh vs Jati Diri Rusak

AspekJati Diri Utuh (Dalam Kristus, sesuai gambar Allah)Jati Diri Rusak (Akibat dosa)
Sumber identitasIdentitas berasal dari Allah, sebagai ciptaan serupa gambar-Nya (Kej. 1:27)Identitas ditentukan oleh harta, kuasa, jabatan, popularitas, atau status sosial
Masa laluTidak ditentukan oleh masa lalu, karena ada ciptaan baru dalam Kristus (2 Kor. 5:17)Terkurung dalam rasa bersalah, luka, trauma, kegagalan, dan label masa lalu
Pendapat orang lainTidak bergantung pada pujian atau kritik orang (Gal. 1:10)Sangat terpengaruh oleh komentar, penolakan, atau pengakuan manusia
Harga diri
Merasa berharga karena Allah yang memberi nilai (Mazmur 139:13–16)
Harga diri rapuh, bergantung pada pencapaian, materi, atau validasi sosial
Emosi
Tidak mudah tersinggung, mampu mengampuni, hati penuh damai (Kol. 3:12–13)
Mudah sakit hati, penuh iri hati, dendam, dan rasa tidak aman
Relasi
Relasi sehat, mengasihi tanpa pamrih (1 Yoh. 4:7–8)
Relasi sering penuh manipulasi, kompetisi, dan kepentingan diri
Tujuan hidup
Hidup untuk memuliakan Allah dan melaksanakan mandat-Nya (Kej. 1:28; Mat. 28:19–20)
Hidup untuk diri sendiri, mengejar kesenangan atau ambisi pribadi
Ketahanan hidup
Kokoh, tidak goyah karena berakar di dalam Kristus (Kol. 2:6–7)
Rapuh, mudah goyah oleh masalah, tekanan, atau perubahan keadaan
Kebebasan batin
Merdeka dari rasa malu, ketakutan, dan perbandingan (Roma 8:1; Yoh. 8:36)
Terikat oleh rasa bersalah, rasa malu, iri hati, dan kecemasan
PengharapanHidup dengan pengharapan kekal dalam Kristus (Roma 5:1–5)Hidup tanpa arah, cemas akan masa depan, dan takut kehilangan

Jati diri yang utuh adalah jati diri yang berakar pada Allah, sumber kehidupan kita. Orang yang memiliki jati diri utuh tahu bahwa identitasnya tidak ditentukan oleh masa lalu, kegagalan, atau label dunia, tetapi oleh fakta bahwa ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Karena itu, ia tidak bergantung pada pujian atau kritik orang lain untuk merasa berharga. Ia dapat hidup dengan hati yang bebas, stabil, dan kokoh, sebab ia menemukan nilai dirinya di dalam Kristus, bukan dalam pencapaian, harta, kuasa, atau posisi.

Sebaliknya, jati diri yang rusak adalah jati diri yang rapuh karena ditentukan oleh hal-hal di luar Allah. Manusia yang terjebak dalam jati diri ini sering merasa nilainya ditentukan oleh masa lalu, kesuksesan, atau penilaian orang lain. Ia mudah kecewa, tersinggung, atau merasa tidak aman karena fondasi hidupnya bergantung pada sesuatu yang fana dan mudah berubah. Dalam kondisi ini, relasi pun rusak, sering dilandasi oleh kepentingan diri, manipulasi, atau pencarian pengakuan, bukan oleh kasih yang sejati.

Perbedaan mendasar ini menegaskan bahwa jati diri yang utuh membawa kepada kebebasan, damai sejahtera, dan keteguhan dalam menghadapi hidup, sementara jati diri yang rusak membawa kepada kegelisahan, kerapuhan, dan keterikatan pada hal-hal duniawi. Hanya dengan kembali kepada Kristus—Gambar Allah yang sempurna—kita dapat dipulihkan dari jati diri yang rusak menuju jati diri yang utuh, sebagaimana Allah maksudkan sejak awal penciptaan.

3. Diskusi Teologi: Bagaimana Pemulihan Jati Diri Terjadi?

a. Melalui Kristus: Ciptaan Baru

Pemulihan jati diri tidak mungkin dicapai dengan usaha manusia sendiri. Sejak kejatuhan, manusia terikat dosa dan cenderung mencari identitasnya di luar Allah. Namun kabar baik Injil adalah bahwa Kristus datang untuk memulihkan jati diri kita. Melalui salib, Yesus bukan hanya menebus dosa kita, tetapi juga memberi kita identitas baru sebagai anak-anak Allah. Paulus menegaskan: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2 Kor. 5:17). Identitas lama yang rusak—penuh rasa malu, kegagalan, dan keterikatan pada dunia—digantikan dengan identitas baru yang utuh dalam Kristus.

“The essence of sin is man substituting himself for God, while the essence of salvation is God substituting Himself for man.” – John Stott
(“Hakikat dosa adalah manusia menggantikan dirinya dengan Allah, sedangkan hakikat keselamatan adalah Allah menggantikan diri-Nya bagi manusia.”)

Identitas ini bukan sekadar status, melainkan realitas yang mengubah seluruh hidup. Efesus 1:5 menyebut bahwa kita telah dipilih dan ditentukan untuk diangkat menjadi anak-anak Allah melalui Yesus Kristus. Dengan demikian, inti dari pemulihan jati diri adalah menerima bahwa kita bukan lagi budak dosa, tetapi anak yang dikasihi Bapa (Gal. 4:7).


b. Melalui Roh Kudus: Pembaruan Batiniah

Pemulihan jati diri bukan hanya peristiwa sekali jadi ketika kita percaya kepada Kristus, melainkan juga sebuah proses yang berlangsung seumur hidup. Pada saat kita menerima Kristus, kita memang sudah diberi identitas baru sebagai anak-anak Allah (Yoh. 1:12; Gal. 4:7). Tetapi untuk benar-benar hidup sesuai identitas itu, kita membutuhkan karya Roh Kudus yang terus-menerus memperbarui batiniah kita. Proses inilah yang dalam teologi disebut pengudusan (sanctification)—yaitu proses berkesinambungan di mana Roh Kudus membentuk kita kembali menjadi serupa dengan Kristus.

Efesus 4:23–24 menyatakan: “Supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.” Ayat ini menunjukkan bahwa Roh Kudus bekerja bukan hanya pada level perilaku luar, tetapi sampai pada kedalaman pikiran, perasaan, dan motivasi hati. Ia mengikis identitas palsu yang kita bangun atas dasar ketakutan, iri hati, kesombongan, atau luka masa lalu, lalu menggantinya dengan identitas sejati yang memancarkan sifat-sifat Kristus. Inilah sebabnya buah Roh Kudus (Gal. 5:22–23)—kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kebaikan, kemurahan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri—adalah tanda nyata dari jati diri yang sedang dipulihkan.

Dengan kata lain, pemulihan jati diri adalah sebuah proses transformasi total oleh kuasa Roh Kudus. Roh Kudus adalah pribadi yang meneguhkan kita ketika kita goyah, mengingatkan kita ketika kita melupakan siapa diri kita, dan menguatkan kita ketika dunia mencoba memberi label palsu atas hidup kita. Paulus menulis dalam Roma 8:16, “Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah.” Jadi, karya Roh Kudus adalah memastikan bahwa identitas baru kita bukan hanya teori, melainkan pengalaman nyata setiap hari—kita hidup sebagai anak-anak Allah yang dipenuhi, dibimbing, dan diubah oleh-Nya.

“The more we let God take us over, the more truly ourselves we become—because He made us.”C.S. Lewis menyatakan dalam Mere Christianity:
(“Semakin kita membiarkan Allah mengambil alih hidup kita, semakin kita menjadi diri kita yang sejati—karena Dialah yang menciptakan kita.”)


c. Melalui Firman: Transformasi Cara Pandang dan Cara Pikir tentang Jati Diri

Pemulihan jati diri terjadi ketika Firman Allah menembus hati dan pikiran kita, lalu mengubah cara kita memandang diri sendiri. Paulus menegaskan dalam Roma 12:2: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Ayat ini mengajarkan bahwa dunia selalu berusaha membentuk identitas kita melalui standar-standarnya: siapa yang lebih kaya, siapa yang lebih populer, siapa yang lebih sukses. Namun Firman Allah menuntun kita keluar dari pola pikir dunia yang merusak itu, dan menanamkan cara pandang baru—bahwa identitas kita ditentukan oleh Allah, bukan oleh dunia.

Mazmur 139:13–16 memperlihatkan betapa berharganya kita di mata Tuhan: “Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.” Firman ini meneguhkan bahwa kita bukanlah kebetulan, melainkan ciptaan yang dibentuk dengan penuh maksud. Ketika Firman ini tertanam dalam hati, kita berhenti melihat diri dengan kacamata rendah diri, minder, atau malu atas masa lalu. Kita mulai melihat diri kita sebagai ciptaan Allah yang bernilai, indah, dan layak dipakai untuk tujuan-Nya.

Lebih jauh lagi, Firman berfungsi sebagai cermin kebenaran. Yakobus 1:23–25 menggambarkan bahwa siapa yang mendengar Firman tetapi tidak melakukannya seperti orang yang bercermin lalu segera lupa rupanya. Artinya, Firman menyingkapkan identitas sejati kita—bahwa kita adalah anak Allah (Yoh. 1:12), bait Roh Kudus (1 Kor. 6:19), dan pewaris janji Allah (Roma 8:17). Jika kita tidak terus merenungkan Firman, kita akan mudah kembali melupakan identitas itu dan terjebak pada identitas palsu yang ditawarkan dunia.

Karena itu, merenungkan Firman setiap hari bukan sekadar disiplin rohani, melainkan cara Allah memulihkan perspektif kita tentang diri sendiri. Firman membongkar kebohongan yang sering kita percaya (“aku tidak berharga,” “aku gagal,” “aku sendirian”) dan menggantinya dengan kebenaran Allah (“engkau berharga di mata-Ku,” Yes. 43:4; “engkau ciptaan baru,” 2 Kor. 5:17; “Aku tidak akan meninggalkan engkau,” Ibr. 13:5). Dengan demikian, perubahan jati diri terjadi ketika pikiran kita diisi, dibentuk, dan dipimpin oleh Firman Allah.


d. Melalui Komunitas Iman (iCare)

Pemulihan jati diri tidak terjadi dalam isolasi. Allah merancang Gereja sebagai tubuh Kristus (1 Kor. 12) di mana setiap anggota saling melengkapi dan meneguhkan. Dalam komunitas iman, kita diingatkan kembali siapa kita sebenarnya: bukan berdasarkan status dunia, tetapi sebagai saudara seiman yang sama-sama dikasihi Allah. Efesus 4:15–16 menggambarkan bahwa melalui persekutuan, tubuh Kristus bertumbuh ke arah Kristus sebagai Kepala, dan setiap bagian bekerja sesuai fungsinya.

iCare adalah ruang di mana kita belajar menerima kasih tanpa syarat, memberi pengampunan, dan membangun identitas bersama sebagai umat Allah. Gereja menolong kita melepaskan diri dari pencarian identitas yang egois, dan menemukan jati diri yang sejati sebagai bagian dari keluarga Allah. Dengan demikian, pemulihan jati diri bukan hanya pengalaman pribadi, tetapi juga proses kolektif di dalam tubuh Kristus.


4. Istilah Mana yang Paling Tepat: Citra Diri, Jati Diri, atau Gambar Diri?

  • Citra diri sering dipakai dalam psikologi untuk menggambarkan persepsi seseorang tentang dirinya (self-image). Namun, ini lebih ke arah persepsi subyektif, bisa salah atau benar.
  • Gambar diri dapat membingungkan, karena terkesan merujuk pada visual atau penampilan luar.
  • Jati diri lebih tepat dalam konteks teologi, karena mengacu pada esensi keberadaan manusia sebagai ciptaan menurut gambar Allah (imago Dei). Istilah ini menekankan identitas yang sejati, bukan hanya persepsi.

Dengan demikian, istilah jati diri paling sesuai untuk dipakai dalam pengajaran teologi tentang identitas manusia dalam terang Alkitab, karena mencakup aspek ontologis (siapa kita sebenarnya), bukan hanya psikologis (bagaimana kita merasa).


5. Kesimpulan

Jati diri sejati manusia bersumber dari Allah, karena kita diciptakan menurut gambar-Nya. Dosa merusak jati diri manusia sehingga banyak orang mencari identitas di luar Allah. Tetapi melalui karya Kristus, kita dipulihkan menjadi ciptaan baru. Roh Kudus memperbarui kita, Firman meneguhkan kita, dan komunitas iman menolong kita bertumbuh dalam identitas yang utuh.

“Identitas kita tidak ditentukan oleh apa yang kita lakukan, apa yang kita miliki, atau apa kata orang lain, melainkan oleh siapa kita di dalam Kristus.”


Tinggalkan komentar