Dari Just to Survive ke Dominion Mandate: Perspektif Alkitab untuk Bisnis

Bisnis tidak pernah mudah. Kita semua menghadapi tantangan masing-masing—persaingan, tekanan finansial, ketidakpastian pasar. Namun, satu hal pasti: kita tidak boleh berbisnis dengan mentalitas just to survive. Banyak anak-anak Tuhan hanya menjalankan bisnis dengan sikap bertahan hidup—digerakkan oleh ketakutan, bersifat defensif, sibuk dengan hal-hal yang urgent tetapi tidak signifikan. Padahal, Firman Tuhan memanggil kita untuk hidup dalam mentalitas dominion mandate: bersikap ofensif, menginvasi dunia dengan nilai-nilai Kerajaan Allah, dan membangun bisnis yang merefleksikan kebenaran-Nya.


1. Mentalitas Just to Survive: Bertahan Hidup Tanpa Arah

Mentalitas just to survive lahir dari rasa takut—takut rugi, takut gagal, takut masa depan. Dalam pola pikir ini, bisnis dijalankan hanya untuk tetap ada, bukan untuk bertumbuh. Orientasinya sempit: bagaimana menutup biaya, membayar gaji, atau menjaga usaha tetap bertahan satu hari lagi.

Akibatnya, tidak ada visi besar yang memimpin arah, tidak ada transformasi yang terjadi, hanya rutinitas harian yang melelahkan. Seorang pengusaha dengan mentalitas ini sibuk memadamkan “api kecil” setiap hari—utang, masalah operasional, konflik karyawan—tetapi gagal membangun sesuatu yang tahan lama.

a. Apa itu mentalitas just to survive?

Mentalitas just to survive adalah cara berpikir dan pola kerja yang dikuasai ketakutan, berorientasi jangka pendek, dan tanpa visi yang jelas. Dalam pola ini, bisnis dijalankan hanya untuk sekadar tetap hidup, bukan untuk bertumbuh. Fokus utamanya adalah menghindari kegagalan, bukan mengejar visi atau membangun sesuatu yang bernilai kekal. Akibatnya, pengusaha hanya berusaha “selamat hari ini” tanpa memikirkan masa depan jangka panjang yang seharusnya diarahkan oleh panggilan Allah.


b. Bentuk nyata mentalitas just to survive

  1. Fokus pada masalah bukan pada kesempatan
    Alih-alih melihat potensi dan peluang, pengusaha dengan mentalitas ini hanya sibuk memikirkan kekurangan modal, keterbatasan sumber daya, dan kesulitan yang dihadapi. Fokus pada masalah membuat mereka kehilangan visi dan kreativitas. Padahal, Amsal 23:7 mengingatkan:
    “Sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia.”
    Cara berpikir menentukan hasil. Jika pikiran hanya dipenuhi masalah, bisnis akan berjalan dalam lingkaran kelemahan, bukan dalam potensi yang Allah sediakan.
  2. Bisnis tanpa inovasi
    Karena takut rugi, pengusaha enggan mencoba hal baru. Akhirnya, bisnis hanya meniru pesaing atau sekadar mengikuti tren tanpa kreativitas. Dalam jangka panjang, bisnis seperti ini akan ketinggalan dan tidak mampu bertahan menghadapi perubahan pasar.
  3. Reaktif terhadap masalah
    Hari-hari dihabiskan untuk memadamkan “api” – mulai dari mengatasi utang, menanggapi komplain pelanggan, hingga meredakan konflik karyawan. Semua energi terkuras untuk menyelesaikan masalah mendesak, tanpa ada waktu merancang strategi jangka panjang. Itu sebabnya hidup terasa seperti berputar-putar di gurun tanpa arah.
  4. Defensif dan takut ambil risiko sehat
    Alih-alih berani melangkah dengan iman, pebisnis lebih memilih stagnan. Semua kesempatan dilihat dari sisi “apa ruginya” bukan “apa potensinya.” Padahal, dalam Matius 14:29–30, Petrus bisa berjalan di atas air ketika berani melangkah keluar dari perahu—sebuah gambaran iman yang mengambil langkah berisiko bersama Kristus.
  5. Mengabaikan nilai dan integritas
    Demi bertahan, banyak yang akhirnya menurunkan standar etika: menipu pelanggan, mengurangi kualitas produk, atau mengakali laporan pajak. Ini berbahaya karena merusak kesaksian Kristiani. Amsal 10:9 berkata: “Siapa bersih kelakuannya, aman jalannya, tetapi siapa berliku-liku jalannya akan diketahui.”

c. Bahaya dari mentalitas just to survive

  1. Tidak ada pertumbuhan
    Bisnis hanya berputar di lingkaran yang sama, sekadar menjaga agar roda tetap berputar. Tidak pernah ada lompatan, tidak ada pengembangan kapasitas, dan akhirnya kehilangan daya saing. Amsal 24:30–31 menggambarkan ladang orang malas yang penuh semak duri dan tembok yang runtuh—gambaran bisnis tanpa pertumbuhan karena tidak ada visi.
  2. Menguras energi
    Pebisnis dengan mentalitas ini selalu merasa lelah karena sibuk dengan hal yang urgent—masalah kecil sehari-hari—tetapi mengabaikan hal yang important, yaitu strategi, inovasi, dan pembangunan jangka panjang. Akibatnya, tenaga habis, tetapi tidak ada hasil yang bertahan.
  3. Kehilangan peluang
    Sementara pesaing berinovasi, mereka yang hanya fokus bertahan menjadi penonton. Ketika pintu-pintu terbuka, mereka tidak berani melangkah karena terlalu takut gagal. Seperti hamba yang menyembunyikan talenta dalam Matius 25:25: “Aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah.”
  4. Kompromi nilai
    Demi bertahan, pebisnis bisa tergoda menipu pelanggan, mengurangi kualitas produk, mengakali laporan keuangan, atau memotong etika kerja. Padahal Firman Tuhan jelas berkata:“Neraca serong adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi Ia berkenan akan batu timbangan yang tepat.” (Amsal 11:1)
  5. Membatasi iman
    Bisnis tidak lagi dilihat sebagai panggilan Allah, tetapi hanya sebagai beban hidup. Alih-alih menjadi medan untuk menyatakan iman dan kepercayaan kepada Tuhan, bisnis berubah menjadi sumber kekuatiran yang mengekang. Orang dengan mentalitas ini melupakan janji pemeliharaan Allah dan kehilangan kesempatan melihat kuasa-Nya nyata dalam dunia usaha.

d. Perspektif teologis

Mentalitas just to survive adalah mentalitas yang miskin iman, miskin tujuan, dan miskin visi.

  1. Lack of faith (kurang iman)
    Mentalitas ini sering kali lahir dari ketidakpercayaan pada pemeliharaan Allah. Yesus berkata:“Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah.”(Matius 6:31–32). Ketika orang percaya hidup dalam kekuatiran yang berlebihan, mereka sebenarnya hidup seperti orang yang tidak mengenal Allah—menyangkal bahwa Dia adalah Bapa yang setia memelihara.
  2. Lack of purpose (kurang tujuan)
    Bisnis yang dijalankan hanya untuk bertahan hidup kehilangan tujuan mulia sebagai sarana memuliakan Allah dan memberkati orang lain. Paulus mengingatkan dalam 1 Korintus 10:31: “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”
  3. Lack of vision (kurang visi)
    Bisnis tanpa visi hanya akan berputar dalam rutinitas. Amsal 29:18 menegaskan: “Bila tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat.” Begitu pula bisnis tanpa visi ilahi akan kehilangan arah, terjebak pada hal-hal kecil, dan gagal membawa dampak besar.

John Maxwell pernah berkata: “Most people don’t lead their lives; they accept their lives.” Begitu juga dalam bisnis: orang yang hanya survive tidak pernah benar-benar memimpin usahanya dengan iman. Mereka hanya menerima keadaan, bukan melangkah dalam panggilan dan mandat Allah.


2. Mentalitas Dominion Mandate: Mandat Budaya dalam Dunia Bisnis

a. Definisi: Berbisnis dengan Iman, Tujuan, dan Visi

Sejak awal, Allah memberi manusia mandat untuk menguasai bumi (dominion mandate, Kejadian 1:28). Kata Ibrani radah berarti memimpin, mengelola, dan membawa ciptaan kepada potensi maksimalnya—bukan menindas atau mengeksploitasi. Dalam konteks bisnis, mandat ini berarti menghadirkan nilai-nilai Kerajaan Allah—keadilan, integritas, kasih, dan kreativitas—ke tengah dunia usaha.

Berbisnis dengan iman berarti percaya bahwa Tuhan adalah sumber hikmat, berkat, dan hasil.
Berbisnis dengan tujuan berarti menjadikan bisnis sebagai sarana melayani sesama dan memperluas Kerajaan Allah.
Berbisnis dengan visi berarti membangun sesuatu yang bernilai kekal, bukan hanya menyelesaikan masalah hari ini.

Paulus menegaskan: “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23)

Inilah fondasi dominion mandate: bisnis sebagai bentuk ibadah, bukan sekadar aktivitas ekonomi.


b. Penjelasan Teologis tentang Dominion Mandate

Mandat budaya yang tercatat dalam Kejadian 1:28 adalah dasar dari panggilan manusia: “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah (radah) atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara…”

Mazmur 8:6 menegaskan identitas manusia sebagai wakil Allah: “Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu.”

Mandat ini bukan lisensi untuk eksploitasi, tetapi panggilan untuk menatalayani ciptaan sehingga seluruh bumi dipenuhi dengan kemuliaan Tuhan. Kata Ibrani radah berarti memimpin, mengelola, dan menatalayani dengan bijaksana, bukan menindas atau mengeksploitasi. Dengan demikian, mandat ini bukanlah lisensi untuk keserakahan, melainkan tanggung jawab perwakilan Allah untuk merawat ciptaan dan menghadirkan keteraturan, keadilan, dan kebaikan.

Artinya, bisnis bukan ranah sekuler yang netral. Kristus berdaulat atas dunia usaha sama seperti atas gereja. Seorang entrepreneur yang memahami dominion mandate akan melihat perusahaannya sebagai perpanjangan tangan Kerajaan Allah di marketplace.

Seorang entrepreneur yang memahami dominion mandate akan melihat perusahaannya bukan hanya sebagai mesin profit, tetapi sebagai perpanjangan tangan Kerajaan Allah di marketplace.

  • Produk dan jasa menjadi sarana melayani kebutuhan manusia.
  • Lapangan kerja menjadi sarana memberdayakan martabat manusia.
  • Keuntungan menjadi sarana memberkati masyarakat, gereja, dan bangsa.

Os Hillman menyatakan: “Your work is your ministry, and the marketplace is your pulpit.”

Dengan kata lain, pekerjaan sehari-hari adalah altar tempat kita menyembah Allah, dan marketplace adalah mimbar di mana kita memberitakan Kristus melalui integritas, kasih, dan excellence. Dengan demikian, bisnis bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi mimbar di mana iman diwujudkan dalam tindakan nyata: menciptakan lapangan kerja, menegakkan integritas, dan melayani komunitas.

Billy Graham bahkan pernah menubuatkan: “I believe that one of the next great moves of God is going to be through the believers in the workplace.”

Teologi dominion mandate menegaskan bahwa transformasi bangsa tidak hanya terjadi lewat mimbar gereja, melainkan juga lewat kesaksian dan integritas orang percaya di dunia kerja dan bisnis.


c. Bentuk Nyata Mentalitas Dominion Mandate

  1. Membangun bisnis dengan nilai Kerajaan Allah
    Keputusan bisnis tidak hanya ditentukan oleh perhitungan untung-rugi, tetapi oleh nilai-nilai Kerajaan Allah. Keadilan menjadi dasar dalam memperlakukan karyawan, integritas dalam mengelola keuangan, kasih dalam melayani pelanggan, dan excellence dalam kualitas produk atau jasa. Dengan demikian, bisnis menjadi cermin dari karakter Kristus di marketplace. Amsal 11:1 menegaskan: “Neraca serong adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi Ia berkenan akan batu timbangan yang tepat.”
  2. Menciptakan inovasi yang berdampak
    Pengusaha dengan mentalitas dominion tidak takut mencoba hal baru. Mereka melihat peluang bukan hanya sebagai kesempatan meraih profit, tetapi sebagai cara untuk menjawab kebutuhan nyata masyarakat. Inovasi menjadi wujud dari mandat Allah untuk mengelola bumi dengan kreativitas. Seperti Allah adalah Pencipta, demikian pula manusia dipanggil untuk berkarya kreatif.
  3. Menjadi saluran berkat
    Bisnis bukan hanya untuk memperkaya pemilik, tetapi untuk memperluas berkat. Keuntungan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan, mendukung pendidikan, pelayanan, dan misi. Inilah praktik nyata dari panggilan Abraham: “Engkau akan menjadi berkat.” (Kejadian 12:2). Ketika bisnis dijalankan dengan spirit ini, ekonomi tidak hanya berputar, tetapi juga memulihkan.
  4. Melihat bisnis sebagai ibadah
    Bagi entrepreneur dengan mentalitas dominion, tempat kerja adalah “mezbah” di mana Allah dimuliakan. Doa, penyembahan, dan penghormatan kepada Tuhan menjadi bagian dari budaya kerja. Chick-fil-A adalah contoh modern—menutup restoran pada hari Minggu untuk menghormati ibadah, meski secara ekonomi tampak merugikan, namun justru diberkati Tuhan. Kolose 3:23 menjadi dasar: Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”
  5. Berorientasi lintas generasi
    Mentalitas dominion melihat bisnis bukan hanya sebagai proyek jangka pendek, tetapi sebagai warisan yang membawa dampak lintas generasi. Mereka menyiapkan regenerasi kepemimpinan, mendidik anak-anak dalam nilai Kerajaan, dan membangun fondasi yang kokoh untuk masa depan.

Os Hillman merangkum prinsip ini dengan sederhana: “The call of God is not just to pastors and missionaries. The call of God is to every believer to transform their sphere of influence.”


Ed Silvoso menegaskan dengan tepat: “The marketplace is the heart of the nation. If we win the marketplace, we win the nation.”

Itulah gambaran konkret bisnis yang dijalankan dengan mentalitas dominion: bukan sekadar survive, tetapi menaklukkan marketplace untuk Kristus.


d. Keuntungan Menjalankan Bisnis dengan Dominion Mandate

  1. Pertumbuhan berkelanjutan
    Bisnis yang berakar pada visi ilahi tidak sekadar mengejar keuntungan jangka pendek, tetapi bertumbuh secara sehat dan konsisten. Fokusnya bukan hanya profit today, melainkan impact tomorrow. Amsal 16:3 menegaskan: “Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanamu.” Dengan dasar ini, bisnis memiliki arah yang jelas dan dapat bertahan dalam perubahan zaman.
  2. Daya tahan menghadapi krisis
    Mentalitas dominion memberi keberanian untuk melewati masa sulit dengan iman. Pengusaha tidak cepat goyah karena percaya Allah adalah pemelihara. Seperti Mazmur 46:2 berkata: “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti.” Alih-alih panik, pemimpin bisnis dengan iman dapat melihat peluang dalam badai.
  3. Reputasi yang kuat
    Integritas melahirkan kepercayaan. Dalam jangka panjang, reputasi yang kokoh jauh lebih bernilai daripada keuntungan sesaat. Amsal 22:1 menegaskan: “Nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik daripada perak dan emas.” Ketika sebuah bisnis dikenal jujur, adil, dan peduli, pelanggan dan mitra akan setia.
  4. Dampak sosial dan rohani
    Bisnis dengan mentalitas dominion tidak hanya mencetak laba, tetapi juga mencetak perubahan. Mereka membuka lapangan kerja, mendukung pendidikan, memberi beasiswa, membangun sekolah, bahkan mendanai pelayanan. Inilah wujud nyata janji Allah kepada Abraham: “Engkau akan menjadi berkat.” (Kejadian 12:2) Dengan demikian, bisnis menjadi alat pemulihan komunitas dan bangsa.
  5. Warisan kekal
    Keuntungan materi akan berlalu, tetapi dampak spiritual dan sosial akan bertahan lintas generasi. Bisnis yang dijalankan dengan nilai Kerajaan melahirkan warisan iman—anak-anak yang dididik dengan nilai Kristen, gereja yang diperkuat, dan komunitas yang diubahkan. Yesus berkata: “Kumpulkanlah bagimu harta di sorga…” (Matius 6:20). Bisnis dengan mentalitas dominion bukan hanya meninggalkan aset, tetapi meninggalkan kesaksian iman yang memuliakan Allah.

Billy Graham: “I believe that one of the next great moves of God is going to be through the believers in the workplace.”


Dengan kata lain, keuntungan terbesar bukan hanya pertumbuhan finansial, tetapi menjadi bagian dari gerakan Allah di marketplace.


Jadi, mentalitas dominion mandate adalah pola pikir bisnis yang dijiwai iman, diarahkan oleh tujuan ilahi, dan dipimpin oleh visi Kerajaan Allah. Bisnis dengan mentalitas ini bukan hanya menghasilkan profit, tetapi juga memancarkan terang Kristus, membawa transformasi, dan memuliakan Tuhan.


3. Perbandingan anata mentalitas just to survive dengan mentalitas dominion mandate

AspekMentalitas Just to SurviveMentalitas Dominion Mandate
FokusMenjaga diri agar tidak kalah.Memperluas pengaruh Kerajaan Allah.
Motivasi
Takut gagal, sekadar memenuhi kebutuhan.

Taat pada panggilan Allah, melayani sesama.
Orientasi
Reaktif, defensif, sibuk dengan
hal kecil.

Proaktif, ofensif, membangun nilai jangka panjang.
Kualitas Kerja
Asal jadi, standar minimum.
Excellence, memberi yang terbaik bagi Tuhan.
Pandangan tentang BisnisSekadar sumber penghidupan.Sarana ibadah dan misi.

Hubungan dengan Iman

Membatasi iman, hidup seperti tanpa Allah.

Berjalan dalam iman, percaya pemeliharaan Allah.
DampakStagnasi, kehilangan peluang, kompromi nilai.
Pertumbuhan berkelanjutan, berkat sosial & rohani, warisan kekal.

Os Guinness menulis dengan indah tentang panggilan:“Panggilan adalah kebenaran bahwa Allah memanggil kita kepada diri-Nya sendiri dengan cara yang begitu menyeluruh sehingga segala sesuatu yang kita kerjakan, baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan, dilakukan sebagai tanggapan kepada panggilan-Nya.”


4. Contoh Nyata: Bisnis dengan Spirit Dominion Mandate

1. Chick-fil-A (Amerika Serikat)

Didirikan oleh S. Truett Cathy, Chick-fil-A bukan sekadar jaringan restoran cepat saji. Sejak awal, Cathy mendirikan bisnis ini di atas prinsip iman Kristen. Keputusan yang paling ikonik adalah menutup seluruh restoran pada hari Minggu, meskipun hari tersebut biasanya merupakan hari paling menguntungkan dalam industri restoran. Keputusan ini bukan karena strategi bisnis, melainkan ketaatan kepada Tuhan—memberi kesempatan bagi karyawan untuk beristirahat, beribadah, dan bersama keluarga.

Cathy pernah berkata: “We’re not in the chicken business; we’re in the people business.”

Artinya, tujuan utama Chick-fil-A bukan hanya menjual makanan, tetapi melayani manusia dengan kasih, hospitality, dan excellence. Hasilnya, meskipun buka lebih sedikit hari dibanding kompetitor, Chick-fil-A menjadi salah satu restoran paling menguntungkan per outlet di Amerika.

Prinsip dominion mandate terlihat nyata: bisnis dijalankan dengan nilai Kerajaan Allah (integritas, excellence, kasih), memberi dampak pada masyarakat, dan menjadi kesaksian iman di marketplace.


2. Hobby Lobby (Amerika Serikat)

Didirikan oleh David Green, Hobby Lobby adalah perusahaan retail seni dan kerajinan tangan dengan lebih dari 900 toko di AS. Green menjalankan bisnis dengan kesadaran bahwa ia hanyalah penatalayan (steward) dari berkat Tuhan. Ia menulis: “We are only stewards of what God has given us. Our business belongs to Him.”

Hobby Lobby tidak hanya mengejar profit, tetapi menginvestasikan keuntungan untuk pelayanan misi, penyebaran Alkitab, pendidikan Kristen, dan proyek sosial. Perusahaan ini juga berani mengambil posisi tegas dalam isu etika—misalnya menolak untuk menyediakan layanan kontrasepsi yang bertentangan dengan keyakinan iman mereka, meskipun berhadapan dengan kasus hukum besar di Mahkamah Agung AS.

Inilah mentalitas dominion mandate dalam praktik: berani berdiri pada kebenaran, meskipun ada tekanan budaya dan risiko kerugian finansial.

c. ServiceMaster (Amerika Serikat)

ServiceMaster adalah perusahaan layanan kebersihan, pemeliharaan gedung, dan manajemen fasilitas yang berdiri dengan fondasi iman Kristen. Visi awalnya sederhana namun mendalam: “To honor God in all we do.” – Memuliakan Allah dalam segala hal yang kami lakukan.

Prinsip ini diwujudkan dalam cara mereka memperlakukan karyawan, membangun standar kualitas, dan melayani pelanggan. Bahkan nama ServiceMaster mengandung makna teologis: “Service to the Master” (Pelayanan kepada Sang Tuan).

Model ini menunjukkan bahwa sektor apapun, bahkan jasa kebersihan sekalipun, bisa menjadi ladang ibadah dan misi bila dijalankan dengan mentalitas dominion. Dengan berpegang pada integritas, excellence, dan pelayanan, ServiceMaster menjadi perusahaan multinasional yang membawa dampak besar tanpa kehilangan nilai-nilai rohani.

Penutup

Janganlah kita berbisnis dengan mentalitas yang didominasi ketakutan dan kekuatiran, yang hanya akan mengkerdilkan inovasi dan mengikis kegigihan kita. Kita tidak dipanggil untuk berbisnis dengan mentalitas just to survive. Sebagai anak-anak Allah, kita dipanggil untuk hidup dan berkarya dengan mentalitas dominion mandate—mentalitas yang diwarnai keberanian dan kegigihan karena iman, purpose yang terarah bagi Kerajaan Allah, dan visi untuk menghadirkan pemerintahan Allah di dunia nyata.

Bisnis bukan sekadar cara mencari nafkah, melainkan sebuah panggilan ilahi untuk menegakkan nilai-nilai Kerajaan Allah: keadilan, integritas, kasih, dan excellence. Dengan iman yang teguh, keberanian yang kokoh, kegigihan yang tak tergoyahkan, dan ketaatan yang konsisten, kita bergerak melampaui sekadar bertahan hidup menuju peran sebagai agen transformasi yang mengubah dunia bagi kemuliaan Tuhan.

Tinggalkan komentar