Dalam kehidupan iman Kristen di Indonesia, kita sering menyebut Sang Ilahi dengan dua istilah: Allah dan Tuhan. Sekilas keduanya tampak sama, namun di baliknya terdapat makna teologis yang dalam. “Allah” berbicara tentang identitas pribadi Sang Pencipta, sedangkan “Tuhan” menekankan otoritas dan relasi yang mengikat kita dengan-Nya. Memahami perbedaan ini bukan sekadar perkara bahasa, melainkan membantu kita melihat Allah yang transenden sekaligus imanen, yang jauh di atas segala ciptaan namun juga dekat sebagai Raja, Gembala, dan Penebus kita.
1. Dasar alkitab (Biblis) dan Linguistik
Kajian istilah “Allah” dan “Tuhan” tidak bisa dilepaskan dari akar biblis serta perkembangan linguistiknya.
a. Allah (Elohim / Theos)
Dalam PL, kata yang diterjemahkan sebagai “Allah” adalah Elohim. Kata ini berbentuk jamak (-im), tetapi dipakai dengan kata kerja tunggal saat merujuk kepada Allah Israel (Kej. 1:1). Hal ini menegaskan keesaan Allah di tengah-tengah konteks dunia yang sarat dengan politeisme. Elohim menunjuk kepada Allah yang transenden, Pencipta langit dan bumi, yang keberadaan-Nya tidak bergantung pada ciptaan.
Dalam PB, istilah yang digunakan adalah Theos. Kata ini dipakai untuk membedakan Allah yang sejati dari dewa-dewa kafir (eidolon). Paulus misalnya menulis: “tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa” (1 Kor. 8:4–6). “Allah” dengan demikian adalah istilah teologis yang menunjuk identitas pribadi Sang Pencipta, yang Esa dan benar.
b. Tuhan (Adonai / Kyrios)
Dalam PL, kata Ibrani Adonai berarti “tuan” atau “penguasa.” Orang Yahudi memakai Adonai sebagai pengganti nama YHWH (Tetragramaton) untuk menjaga kekudusan nama Allah. Dengan menyebut Adonai, umat menegaskan bahwa Allah adalah Sang Raja yang memerintah atas Israel.
Dalam PB, istilah Yunani Kyrios menjadi sebutan bagi Yesus. Gelar ini sangat penting karena dalam dunia Romawi, Kyrios dipakai untuk Kaisar. Dengan mengaku Yesus sebagai Kyrios (Rm. 10:9), orang Kristen menegaskan bahwa Yesus adalah Tuhan atas seluruh ciptaan, lebih tinggi daripada penguasa dunia manapun.
2. Dimensi Teologis
Perbedaan “Allah” dan “Tuhan” bukan sekadar masalah bahasa, melainkan menyentuh aspek teologis yang fundamental.
- Allah sebagai Identitas Ontologis
“Allah” menunjuk kepada siapa Dia dalam keberadaan-Nya. Ia adalah ipsum esse subsistens (keberadaan itu sendiri, menurut Thomas Aquinas). Dengan menyebut “Allah,” kita tidak sekadar menunjuk pada sifat-sifat-Nya, tetapi pada hakikat keberadaan-Nya sebagai satu-satunya Allah yang sejati.ⁱ Identitas ini menegaskan bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu (Kis. 17:28). - Tuhan sebagai Relasi dan Fungsi
“Tuhan” menekankan peran Allah dalam relasi dengan ciptaan. Ia bukan sekadar “Allah di atas sana,” tetapi Kyrios yang memerintah, menuntun, dan menuntut ketaatan. Gelar “Tuhan” menekankan aspek kedaulatan dan pemerintahan Allah. Dalam hal ini, “Tuhan” adalah pengakuan iman yang berimplikasi pada sikap hidup: tunduk, taat, dan menyembah.
3. Kesaksian Alkitab
Kedua istilah ini hadir berdampingan dalam Alkitab, memperlihatkan keseimbangan antara identitas Allah dan relasi-Nya dengan manusia.
- Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara
Kejadian 1:1 menegaskan Allah sebagai pencipta awal mula segala sesuatu. Identitas Allah sebagai Pencipta meneguhkan bahwa dunia ini bukan hasil kebetulan. 1 Yohanes 4:8 menyatakan bahwa “Allah adalah kasih.” Artinya, identitas-Nya bukan hanya kekuasaan, tetapi juga esensi kasih. - Tuhan sebagai Raja dan Penyelamat
Mazmur 23:1 menyebut: “TUHAN adalah gembalaku.” Di sini, relasi yang ditekankan adalah pribadi yang menuntun dan memelihara. Roma 10:9 menegaskan bahwa keselamatan datang ketika seseorang mengaku Yesus sebagai Kyrios. Dengan kata lain, “Tuhan” menegaskan hubungan covenantal: umat sebagai hamba, Allah sebagai Tuan.
4. Perspektif Kristologis
Puncak penyatuan kedua istilah ini tampak dalam pribadi Yesus Kristus.
- Yesus disebut Theos (Yoh. 1:1 – “Firman itu adalah Allah”; Yoh. 20:28 – Tomas berkata, “Ya Tuhanku dan Allahku!”). Ini menunjukkan identitas ilahi-Nya.
- Yesus disebut Kyrios (Fil. 2:11 – “dan segala lidah mengaku: Yesus Kristus adalah Tuhan”). Ini menegaskan otoritas-Nya atas seluruh ciptaan.
Agustinus menegaskan: “To know God is to confess Him as Lord and submit to His will.”ⁱⁱ Dengan demikian, pengakuan iman Kristen tidak hanya bersifat ontologis (mengenal Allah sebagai Allah), tetapi juga bersifat relasional (tunduk kepada-Nya sebagai Tuhan).
5. Implikasi Praktis
a. Pengakuan Iman
Menyebut “Allah” berarti menegaskan keyakinan kita pada iman monoteistik—bahwa hanya ada satu Allah yang sejati, Pencipta langit dan bumi. Pengakuan ini menjadi dasar iman Kristen sejak zaman Perjanjian Lama: “Dengarlah, hai Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa” (Ul. 6:4).
Dalam dunia yang penuh dengan pluralisme, relativisme, dan berbagai “allah” modern—entah berupa uang, kuasa, atau kesenangan—menyebut “Allah” adalah deklarasi iman yang radikal. Kita sedang berkata: hanya Dia yang layak dipercaya, bukan berhala-berhala modern yang menjanjikan keamanan palsu.
Implikasi teologis:
- Pengakuan ini meneguhkan identitas umat Allah sebagai penyembah Allah yang esa, berbeda dari dunia yang penuh penyembahan berhala.
- Setiap kali kita berdoa, bernyanyi, atau mengaku “Aku percaya kepada Allah,” kita sedang memperbarui komitmen iman bahwa hidup kita bergantung hanya kepada-Nya.
b. Penyembahan dan Ketaatan
Menyebut “Tuhan” berarti mengakui bahwa Allah bukan hanya ada, tetapi juga berhak memerintah. Gelar ini menuntut respons praktis: ketaatan, penyerahan, dan penyembahan.
John Calvin menegaskan: “The knowledge of God is not to be sought apart from obedience. For He is not only God, but also Lord.”ⁱⁱⁱ Dengan kata lain, mengenal Allah tidak cukup sebatas intelektual—mengenal-Nya menuntut ketaatan penuh.
Implikasi teologis:
- Tidak ada pemisahan antara iman dan perbuatan. Menyebut Yesus sebagai Tuhan (Kyrios) berarti hidup di bawah otoritas-Nya.
- Penyembahan sejati bukan sekadar liturgi pada hari Minggu, tetapi ketaatan dalam kehidupan sehari-hari (Rm. 12:1).
- Pengakuan iman tanpa ketaatan adalah kontradiksi. Yakobus berkata: “Iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yak. 2:17).
c. Keseimbangan Transendensi dan Immanensi
Istilah “Allah” menekankan transendensi-Nya—bahwa Dia berbeda dari ciptaan, tinggi dan mulia, tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu. Istilah “Tuhan” menekankan immanensi-Nya—bahwa Dia dekat, terlibat, dan memerintah kehidupan kita secara pribadi.
Keseimbangan ini sangat penting:
- Jika kita hanya menekankan Allah sebagai transenden, maka Ia terasa jauh, dingin, dan tidak terlibat dalam penderitaan kita.
- Jika kita hanya menekankan Tuhan sebagai imanen, maka kita berisiko mereduksi Allah menjadi sekadar “teman dekat” tanpa otoritas dan kemuliaan.
Herman Bavinck menyatakan: “God is not only the absolute being above all, but also the Lord who in covenant binds Himself to His people.”ⁱᵛ Dengan kata lain, Allah yang tinggi di atas segala ciptaan justru memilih untuk turun, hadir, dan berelasi dengan umat-Nya.
Implikasi teologis:
- Dalam pelayanan, kita sadar bahwa pekerjaan kita bukanlah untuk “sekadar organisasi gereja,” melainkan untuk Raja yang hidup, yang hadir dan memerintah.
- Umat Kristen dipanggil untuk hidup dengan sikap hormat dan kagum (karena Allah transenden), sekaligus dengan penuh keintiman dan kepercayaan (karena Tuhan imanen).
- Dalam doa, kita datang kepada Dia yang Mahakudus, tetapi juga kepada Bapa yang penuh kasih.
6. Kesimpulan Teologis
Dengan demikian, istilah “Allah” menunjuk pada identitas pribadi Sang Pencipta, sedangkan “Tuhan” menunjuk pada otoritas, fungsi, dan relasi Allah dengan ciptaan.
- “Allah” → Ontologi: siapa Dia dalam hakikat-Nya.
- “Tuhan” → Relasi: bagaimana umat berhubungan dengan-Nya.
Seorang Kristen sejati bukan hanya percaya bahwa Allah itu ada, tetapi juga tunduk kepada-Nya sebagai Tuhan. Dengan kata lain, iman Kristen bersifat konfesional (percaya pada Allah) dan eksistensial (hidup dalam ketaatan kepada Tuhan).
| Istilah | Akar Alkitab | Fungsi Utama | Kapan Digunakan | Contoh Ayat |
|---|---|---|---|---|
| Allah | Ibrani: Elohim Yunani: Theos | Nama diri (identitas Allah yang sejati, Sang Pencipta) | Menunjukkan identitas Allah sebagai pribadi ilahi, yang berbeda dari allah-allah palsu | Kejadian 1:1 – “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” |
| Tuhan | Ibrani: Adonai Yunani: Kyrios | Gelar/jabatan (Lord, Master, Penguasa) | Menunjukkan otoritas & relasi Allah dengan umat-Nya sebagai Raja, Penguasa, Gembala, Penolong | Mazmur 23:1 – “TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.” |
Penutup:
Dengan demikian, penyebutan “Allah” dan “Tuhan” dalam Alkitab Indonesia bukanlah tumpang tindih istilah, melainkan saling melengkapi. “Allah” menegaskan siapa Dia dalam keberadaan-Nya yang kekal, sedangkan “Tuhan” menuntut pengakuan dan ketaatan kita kepada-Nya. Iman Kristen tidak berhenti pada pengakuan intelektual bahwa Allah itu ada, tetapi bergerak menuju penyerahan penuh kepada-Nya sebagai Tuhan. Seperti ditegaskan Paulus: “jika kamu mengaku dengan mulutmu bahwa Yesus adalah Tuhan dan percaya dalam hatimu bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan” (Roma 10:9). Pada akhirnya, setiap lidah akan mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, dan setiap hati akan bersujud kepada Allah yang esa dan benar.
Catatan Kaki
ⁱ Thomas Aquinas, Summa Theologica, I.3.4.
ⁱⁱ Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), 103.
ⁱⁱⁱ John Calvin, Institutes of the Christian Religion, ed. John T. McNeill, trans. Ford Lewis Battles (Philadelphia: Westminster, 1960), I.2.2.
ⁱᵛ Herman Bavinck, Reformed Dogmatics, Vol. II: God and Creation, trans. John Vriend (Grand Rapids: Baker Academic, 2004), 148.