Efesus 4:11–16
Tuhan memberikan rasul, nabi, penginjil, gembala, dan pengajar untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan… hingga kita semua mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.
Efesus 4:11–16 memberikan cetak biru surgawi bagi gereja yang bertumbuh dengan sehat. Paulus menekankan bahwa Kristus sendiri yang memberi lima jawatan—rasul, nabi, penginjil, gembala, dan pengajar—bukan sebagai gelar, tetapi sebagai karunia bagi tubuh Kristus. Tujuan-Nya jelas: memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, membangun tubuh Kristus, hingga kita semua mencapai kedewasaan yang serupa Kristus.
Ayat ini menekankan bahwa pertumbuhan gereja bukan sekadar soal jumlah, tapi soal kedewasaan, kesatuan, dan keserupaan dengan Kristus. Tuhan merindukan gereja yang “penuh” bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara rohani—penuh kasih, penuh kebenaran, dan penuh kuasa-Nya.
Namun realitasnya, banyak gereja masa kini terjebak dalam euforia pertumbuhan angka. Lebih banyak jemaat, lebih banyak cabang, lebih banyak program. Tetapi tidak semua pertumbuhan itu sehat. Ada gereja yang besar namun kosong secara rohani—ramai tapi rapuh, modern tapi miskin kasih, sibuk tapi kehilangan arah.
Tuhan tidak hanya rindu gereja-Nya bertumbuh ke luar, menjangkau lebih banyak jiwa, tetapi juga bertumbuh ke dalam—menghasilkan karakter yang kudus dan kasih yang tulus—dan bertumbuh ke atas, yaitu hidup dalam pengabdian penuh kepada Kristus sebagai Kepala Gereja. Pertumbuhan sejati bersifat holistik: karakter, komunitas, dan kontribusi.
“Churches can grow in number and still die in spirit. But churches that grow in Christ will always bear lasting fruit.”
Karena itu, pertanyaan penting bukan hanya, “Apakah gereja kita bertumbuh?” tetapi, “Apakah gereja kita bertumbuh dengan sehat?” Ini adalah panggilan untuk kembali kepada pola dan prinsip Kerajaan Allah, bukan sekadar mengikuti tren dunia.
“God calls us to be faithful, not just successful.” — Eugene Peterson
TIGA PILAR PERTUMBUHAN GEREJA YANG SEHAT
1. Pertumbuhan Jumlah Jemaat Harus Menjadi Refleksi Pertumbuhan Kedewasaan Jemaat
Efesus 4:13 – “…hingga kita semua mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.
Kolose 1:28 – “Dialah yang kami beritakan, apabila tiap-tiap orang kami nasihati dan tiap-tiap orang kami ajar dalam segala hikmat untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kedewasaan dalam Kristus.”
Pertumbuhan yang sejati dalam gereja bukan dimulai dari jumlah, tapi dari kedalaman. Tuhan tidak hanya memanggil gereja untuk menjadi besar, tetapi menjadi dewasa. Seorang bayi yang bertambah besar tetapi tidak bertambah dewasa disebut tidak normal. Demikian juga gereja yang bertambah ramai tapi tidak bertumbuh dalam Kristus—itu tanda pertumbuhan yang tidak sehat.
Dalam Efesus 4, kedewasaan rohani dijelaskan sebagai keserupaan dengan Kristus—baik dalam karakter, kebenaran, kasih, dan kedewasaan iman. Paulus tidak pernah puas hanya dengan melihat orang percaya. Ia berkata, “kami memimpin tiap-tiap orang kepada kedewasaan dalam Kristus” (Kol. 1:28). Artinya, pemuridan adalah panggilan inti gereja.
Jika orang datang ke gereja minggu demi minggu tetapi tetap sama, tidak berubah, tidak bertumbuh dalam pengampunan, kasih, kekudusan, dan kerendahan hati—maka gereja sedang gagal dalam mandat Kristus. Pertumbuhan jumlah tanpa transformasi hanyalah ilusi keberhasilan.
“Yesus tidak berkata: ‘Pergilah dan buatlah pengunjung ibadah.’ Ia berkata: ‘Pergilah dan jadikan semua bangsa murid-Ku.’” — Ps. Bill Hull
Aplikasi:
🔹 Fokus pada pertumbuhan karakter, bukan hanya kapasitas ruang.
Ukuran ruangan bisa bertambah, tetapi apakah hati jemaat makin dipenuhi kasih dan kebenaran? Gereja harus memprioritaskan proses pemuridan yang melahirkan buah Roh (Gal. 5:22–23).
🔹 Evaluasi kesehatan gereja dengan pertanyaan: Apakah jemaat semakin serupa Kristus?
Tanyakan: Apakah ada perubahan cara berpikir? Apakah jemaat semakin mengampuni, mengasihi, dan rendah hati?
🔹 Ukur pertumbuhan bukan hanya dari statistik, tapi dari transformasi.
Daripada hanya menghitung kehadiran, mulailah mencatat kesaksian. Bukan hanya grafik keuangan, tapi pertumbuhan dalam kasih, pelayanan, dan pengaruh.
🔹 Bangun budaya bertumbuh, bukan sekadar hadir.
Pemimpin harus mencontohkan pertumbuhan yang nyata. Setiap program dan kelompok kecil harus dirancang untuk memperlengkapi dan membentuk, bukan sekadar mengisi jadwal.
“A crowd is not a church, and attendance is not discipleship.” — Ps. Francis Chan
2. Pertumbuhan Jumlah Harus Seimbang dengan Pertumbuhan Jumlah dan Kualitas Pemimpin
▶ 2 Timotius 2:2 – “…apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercaya, yang juga cakap mengajar orang lain.”
▶ Kisah Para Rasul 6:1–7 – “…jumlah murid makin bertambah… maka para rasul memanggil semua murid dan berkata… pilihlah dari antara kamu tujuh orang… yang baik, penuh Roh Kudus dan hikmat.”
Pertumbuhan jemaat adalah sukacita besar, tetapi juga tanggung jawab besar. Saat jumlah orang bertambah, kompleksitas pelayanan juga meningkat—kebutuhan pastoral, pemuridan, penjangkauan, administrasi, dan penatalayanan menjadi lebih besar. Jika jumlah pemimpin yang berkualitas tidak bertambah seiring dengan jumlah jemaat, maka pelayanan akan mulai kewalahan, relasi menjadi dangkal, dan api visi akan padam karena kelelahan struktural.
Inilah yang terjadi di Kisah 6: jumlah murid bertambah, dan kebutuhan logistik bertambah pula. Para rasul sadar bahwa jika mereka tidak segera melipatgandakan kepemimpinan, mereka akan meninggalkan doa dan pelayanan Firman—inti dari panggilan mereka. Maka mereka memilih tujuh orang yang penuh Roh Kudus dan hikmat, bukan hanya yang mau dan tersedia.
“When God wants to bless a church, He gives her people. When He wants to expand it, He raises leaders.” — Ps. Rick Warren
Demikian pula, Paulus menasihati Timotius untuk tidak hanya mengajar, tetapi melipatgandakan pengajar.Kepemimpinan dalam gereja bukan sekadar jabatan, tetapi warisan rohani yang harus diteruskan secara sadar dan strategis. Pemimpin harus dilatih, dibentuk, diuji, dan dipercayakan, bukan sekadar diangkat karena kebutuhan mendesak.
“Ketika Tuhan ingin memperluas gereja-Nya, Dia tidak mengirim program. Dia membangkitkan pemimpin.” — John Maxwell
Aplikasi Praktis:
🔹 Bangun pipeline kepemimpinan secara intentional.
Tentukan jalur pertumbuhan bagi calon pemimpin: dari jemaat → pelayan → koordinator → pembina → pemimpin. Gunakan pelatihan, mentoring, dan evaluasi spiritual secara berjenjang.
🔹 Prioritaskan pemuridan yang melahirkan pemimpin, bukan hanya pengikut.
Pastikan setiap kelompok kecil atau pelayanan adalah tempat lahirnya pemimpin baru, bukan hanya tempat berkumpul.
🔹 Pilih pemimpin bukan hanya karena kemampuan, tapi karena karakter.
Kisah 6 menekankan roh, hikmat, dan reputasi baik. Pemimpin yang sehat akan membangun pelayanan yang sehat.
🔹 Libatkan pemimpin dalam visi dan pengambilan keputusan.
Pemimpin yang bertumbuh butuh ruang untuk bertanggung jawab dan berkembang. Delegasikan bukan hanya tugas, tapi juga kepercayaan.
“The growth capacity of a church is directly tied to the leadership capacity of its people.” — Rick Warren
3. Pertumbuhan Harus Dibangun dengan Pola dan Prinsip Kerajaan Allah, Bukan Hanya Mengikuti Tren
Matius 6:33 – “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”
Roma 12:2 – “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu…”
Di tengah gelombang tren gereja modern—dari pencahayaan panggung hingga algoritma media sosial—kita dihadapkan pada tantangan serius: Apakah kita sedang membangun Kerajaan Allah atau hanya memperbesar eksistensi institusi? Apakah fondasi gereja kita adalah Firman dan Salib, atau hanya popularitas dan performa?
Gereja tidak dipanggil untuk sekadar relevan, tetapi untuk setia. Dunia berubah cepat dan membawa tekanan untuk menyesuaikan diri, tetapi Kerajaan Allah dibangun dengan nilai-nilai yang kekal dan tidak tergoyahkan: kasih, kebenaran, kekudusan, pengorbanan, dan pelayanan.
“Church growth that sacrifices biblical values will produce crowds, not disciples.”
— Ps. John Stott
Kita boleh memakai alat dari dunia—seperti manajemen, media, atau teknologi—tetapi jangan pernah mengadopsi nilai dunia: ego, ambisi, pencitraan, dan hiburan. Banyak gereja yang ramai tetapi kehilangan urapan; tampil menarik tapi miskin kekudusan; penuh acara tapi kosong kuasa. Ini adalah hasil dari mengikuti tren tanpa akar dalam prinsip Kerajaan.
“The church is most powerful not when it mirrors the culture, but when it models the Kingdom.” — A.W. Tozer
Aplikasi Praktis:
🔹 Uji setiap rencana atau strategi berdasarkan nilai Kerajaan.
Tanyakan dalam setiap perencanaan: Apakah ini mengarahkan orang kepada Kristus? Apakah ini membentuk karakter ilahi atau hanya menambah kesibukan?
🔹 Jangan tukar kehadiran dengan hiburan; tetap prioritaskan penyembahan dan firman.
Gereja bukan panggung pertunjukan, tapi tempat hadirat Allah. Firman yang murni dan penyembahan yang tulus harus tetap menjadi inti.
🔹 Bangun gereja di atas ketaatan, bukan popularitas.
Tuhan tidak mencari gereja yang terkenal, tapi yang setia. Jangan ukur keberhasilan dari viralnya konten, tapi dari kedalaman pertobatan.
🔹 Tanamkan budaya Kerajaan dalam setiap lapisan gereja.
Dari tata ibadah, struktur pelayanan, hingga gaya kepemimpinan—semua harus mencerminkan nilai kerajaan: kasih, pelayanan, integritas, dan pengorbanan.
“The success of a church is not measured by how many attend, but by how many are sent into the world shaped by the values of the Kingdom.” — Ps. Tim Keller
PENUTUP:
Pertumbuhan gereja yang sehat bukanlah tentang seberapa cepat kita bertambah, atau seberapa besar kita terlihat. Ukuran dan kecepatan tidak selalu mencerminkan kesehatan. Sebab pertumbuhan yang terlalu cepat tanpa akar yang kuat justru bisa menjadi jebakan—menyebabkan kelelahan, kehilangan arah, atau bahkan kompromi terhadap nilai-nilai kekal.
Alkitab lebih menekankan kesetiaan dan kedalaman daripada popularitas dan percepatan. Yesus sendiri menghabiskan tiga tahun membentuk dua belas murid, bukan tiga bulan membangun ribuan pengikut. Ia menanam dalam-dalam sebelum menuai luas-luas. Ia mengajarkan bahwa buah yang bertahan lama hanya bisa tumbuh dari pohon yang akarnya dalam (Yoh. 15:5,16).
Gereja yang sehat seperti tubuh manusia yang seimbang: semua bagian saling menopang, bertumbuh harmonis, tidak timpang, dan dapat berfungsi optimal. Gereja yang hanya besar di luar tapi lemah di dalam akan rapuh. Tapi gereja yang dibangun dengan fondasi yang kuat (pengajaran yang benar), budaya yang sehat (kasih dan integritas), dan struktur yang hidup (pemuridan dan kepemimpinan) akan bertumbuh secara organik, konsisten, dan tahan uji.
“Healthy things grow. But more importantly, healthy things grow strong and endure.” — Ps. Larry Stockstill
Pertumbuhan gereja yang sehat akan:
- Membangun jemaat yang bertumbuh dewasa, bukan hanya hadir.
- Melipatgandakan pemimpin yang melayani, bukan sekadar pemegang jabatan.
- Menyatakan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah dunia yang haus makna.
Dan yang paling penting, pertumbuhan seperti inilah yang membawa kemuliaan bagi Kristus, Sang Kepala Gereja. Bukan untuk kebesaran nama gereja lokal, tapi untuk kemajuan Kerajaan Allah global.
Refleksi Akhir:
- Apakah gereja kita bertumbuh secara seimbang—ke dalam, ke atas, dan ke luar?
- Apakah kita sedang membangun budaya yang sehat, bukan hanya sistem yang kuat?
- Apakah Kristus tetap menjadi pusat dari semua pertumbuhan yang terjadi?
Tuhan memanggil kita bukan hanya untuk sukses, tetapi untuk setia. Dan kesetiaan dalam membangun gereja yang sehat akan selalu menghasilkan buah yang kekal.