Comfort or Contribution: You Can’t Have Both

Banyak orang mendambakan kebahagiaan dan mencoba mencapainya dengan memaksimalkan kenyamanan hidup—mengejar kekayaan, kenikmatan, dan kepuasan diri—namun pada akhirnya tetap merasa kosong dan tidak menemukan sukacita sejati. Sebagian orang menyadari bahwa Tuhan memanggil kita untuk hidup berbeda: melayani Tuhan dengan melayani sesama dan memberi kontribusi bagi dunia, sebagaimana mandat yang Allah berikan sejak awal. Namun tantangannya adalah, mereka ingin menjalani keduanya—tetap nyaman sambil tetap berdampak—padahal untuk berhasil dalam panggilan Tuhan, kita harus memilih untuk hidup dengan satu tujuan. Ironinya, justru saat kita rela melepaskan kenyamanan dan hidup sepenuhnya bagi Tuhan dan sesama, di sanalah kita menemukan kebahagiaan sejati yang disebut joy—sukacita yang dunia tidak bisa berikan dan tidak bisa ambil.


Matius 16:24–26 “Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: ‘Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?’”

Setiap orang ingin bahagia. Tapi banyak yang salah jalan—mereka menyangka kebahagiaan terletak dalam kenyamanan. Mereka mengejar uang, kesenangan, dan pemuasan diri. Tapi di ujung perjalanan, tetap merasa kosong.

Yesus dalam bagian ini memberi alternatif yang tajam dan radikal: jalan salib. Bukan jalan kenyamanan, tapi jalan kontribusi dan penyangkalan diri. Namun, ironinya—justru di sanalah kebahagiaan sejati ditemukan.


1️⃣ Banyak Orang Mengejar Kebahagiaan dengan Memaksimalkan Kenyamanan, Tapi Gagal Menemukannya—Malah Menemukan Kekosongan Jiwa

Mat.16:26: “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?”

Yesus mengajukan pertanyaan retoris yang sangat menusuk: Apa gunanya memiliki segalanya—dunia dan seluruh isinya—jika pada akhirnya jiwa kita hilang?
Ini bukan hanya soal akhirat, tapi juga kondisi batin manusia di dunia. Orang bisa punya kekayaan, popularitas, kekuasaan, atau kenyamanan, tapi tetap merasa kosong, hampa, dan kehilangan arah hidup.

Yesus sedang mengguncang logika dunia—yang berkata bahwa semakin banyak kita miliki, semakin bahagia kita. Tapi kebenarannya adalah: Jiwa manusia tidak bisa dipuaskan oleh hal-hal lahiriah.
Uang bisa membeli kasur empuk, tapi tidak bisa memberi tidur nyenyak. Rumah mewah bisa dibangun, tapi bukan berarti ada damai di dalamnya. Jiwa memiliki kebutuhan yang lebih dalam dari sekadar kenyamanan fisik.

“God made us for Himself, and our hearts are restless until they find their rest in Him.” — St. Augustine

Realita hidup modern menjadi bukti nyata dari kebenaran firman Tuhan dalam Matius 16:26. Di tengah dunia yang semakin cepat dan ambisius, banyak orang bekerja tanpa henti, memburu pencapaian, dan membangun kenyamanan hidup. Mereka naik tangga kesuksesan, mengejar angka di rekening bank, gelar di kartu nama, dan validasi dari media sosial. Namun ironisnya, semakin tinggi pencapaian yang diraih, semakin dalam kegelisahan yang dirasakan. Di luar tampak sukses, tapi di dalam jiwa terasa kosong.

Banyak orang hari ini merasa hidupnya “penuh”—penuh aktivitas, penuh kesibukan, penuh harta—namun ketika mereka berhenti sejenak dalam keheningan, yang terasa hanyalah kehampaan. Ada kekosongan eksistensial yang tidak bisa diisi oleh materi, pencapaian, atau bahkan hubungan manusia. Kenapa? Karena manusia tidak diciptakan hanya untuk memuaskan diri sendiri. Jiwa kita dirancang bukan hanya untuk menerima, tapi untuk memberi; bukan hanya untuk berpusat pada diri, tetapi untuk terarah pada Tuhan dan sesama.

“If you live for yourself, you’ll only have yourself. But if you give your life away for Christ, you’ll have Him—and in Him, everything.” — Tim Keller

Kepuasan sejati tidak pernah datang dari mengejar kenyamanan, tapi dari menghidupi panggilan. Kita diciptakan bukan untuk konsumsi, tapi untuk kontribusi. Bukan hanya untuk menikmati hidup, tapi untuk menjalani tujuan surgawi dalam hidup. Selama manusia hidup hanya untuk dirinya, pencapaian sebesar apa pun akan tetap terasa hampa. Hanya saat kita hidup bagi Kristus dan sesama, jiwa kita benar-benar hidup.

Kita diciptakan bukan untuk konsumsi, tapi untuk kontribusi.
Bukan hanya untuk menikmati hidup, tapi untuk menjalani tujuan surgawi dalam hidup.

Selama manusia hidup hanya untuk dirinya, pencapaian sebesar apa pun akan tetap terasa hampa. Kepuasan sejati hanya ditemukan saat hidup selaras dengan tujuan ilahi—menyembah Tuhan dan melayani dunia.

“The world says the more you keep, the happier you are. Jesus says the more you give, the more you live.” — Rick Warren

Kita diciptakan untuk relasi—dengan Tuhan dan sesama. Itulah inti dari keberadaan manusia sejak awal penciptaan. Di Taman Eden, Allah berjalan bersama manusia, menunjukkan bahwa hubungan dengan Tuhan adalah kebutuhan terdalam jiwa. Dan ketika Allah melihat bahwa manusia “tidak baik seorang diri saja,” Ia menciptakan sesama untuk menjadi mitra dalam kehidupan dan mandat ilahi (Kejadian 2:18). Dengan kata lain, manusia dirancang untuk hidup bukan dalam isolasi atau egosentrisme, tetapi dalam kasih, keterhubungan, dan kontribusi.

Karena itu, ketika manusia hidup hanya untuk dirinya sendiri—mementingkan kenyamanan pribadi, mengejar kepuasan diri, dan berpusat pada “aku”—ia justru kehilangan arah dan makna. Hati menjadi gelisah, relasi menjadi dangkal, dan hidup menjadi hampa. Kenyamanan mungkin memberi ketenangan sesaat, tetapi tidak akan pernah memberi sukacita yang sejati.

Sukacita sejati hanya lahir ketika kita menghidupi tujuan ilahi:
menyembah Tuhan dengan segenap hati, melayani sesama dengan kasih, dan memberi kontribusi nyata bagi dunia di sekitar kita.

Seperti dikatakan oleh Dietrich Bonhoeffer“The Church is only the Church when it exists for others.” Demikian pula manusia, kita hanya benar-benar hidup ketika hidup kita ada untuk Allah dan bagi sesama.

Hidup dalam tujuan ini bukan sekadar kewajiban rohani—itulah jalan menuju sukacita yang sejati. Bukan sukacita yang mudah, tetapi sukacita yang dalam. Sukacita yang bukan berasal dari situasi, tapi dari hubungan yang dipulihkan, makna yang dijalani, dan hidup yang diberi.
Itulah sebabnya ketika manusia hidup hanya untuk dirinya, ia kehilangan arah dan makna. Sukacita sejati tidak datang dari memusatkan hidup kepada kenyamanan, tapi dari menghidupi tujuan ilahi: Menyembah Tuhan, melayani sesama, dan memberi kontribusi bagi dunia.

“Kamu diciptakan bukan untuk hidup nyaman, tapi untuk hidup berarti.”
— Rick Warren


2️⃣ Kita Tidak Bisa Mengejar Dua Arah Sekaligus: Kenyamanan dan Kontribusi

Di sinilah letak konflik batin yang sering dialami oleh banyak orang percaya. Mereka sadar bahwa Tuhan memanggil mereka untuk melayani, memberi dampak, dan hidup bagi Kerajaan-Nya. Namun di saat yang sama, mereka juga ingin tetap hidup nyaman—dengan kestabilan, keamanan finansial, dan minim gangguan. Dalam hati, mereka merindukan pengaruh, tetapi enggan meninggalkan kenyamanan. Mereka ingin mengalami kuasa Tuhan tanpa harus menghadapi salib; ingin memimpin tanpa sungguh melayani; ingin melakukan kehendak Tuhan tanpa keluar dari zona aman.

Inilah ketegangan yang terjadi saat seseorang mencoba mengejar dua arah sekaligus: melayani sambil memanjakan diri, memenuhi panggilan tanpa melepaskan kenyamanan, dan berkorban tanpa kehilangan rasa aman. Tapi Yesus tidak memberi opsi kompromi. Jalan salib adalah jalan satu arah. Dia menantang kita untuk membuat pilihan yang jelas: ikut Aku dan salib-Ku, atau tetap tinggal dalam kenyamanan dan kehilangan hidup sejati. Kita tidak bisa membangun Kerajaan sambil terus mempertahankan kerajaan kecil milik kita sendiri.

Matius 16:24–26 “Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: ‘Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.

Yesus tidak menawarkan jalan tengah. Ia tidak berkata, “Ikutlah Aku selama tidak terlalu berat” atau “Ikut Aku asalkan tidak mengganggu kenyamananmu.”
Sebaliknya, Yesus membuat syaratnya sangat jelas dan tak bisa dinegosiasikan:

  • “Menyangkal diri” (Greek: aparneomai) berarti melepaskan ego, agenda pribadi, dan dorongan untuk hidup bagi diri sendiri.
  • “Memikul salib” bukan sekadar menghadapi kesulitan, melainkan komitmen untuk mati terhadap kenyamanan dan kehendak sendiri demi ketaatan pada Kristus.

Teguran Terselubung dalam Ajaran Yesus

Ayat 25 menjadi cermin tajam yang memantulkan kenyataan hati manusia: “Barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya…”

Ini adalah peringatan yang lembut namun tegas dari Yesus. Semakin kita terobsesi untuk menyelamatkan hidup—menjaganya tetap aman, terkendali, dan bebas dari ketidaknyamanan—semakin besar risiko kita kehilangan makna hidup itu sendiri. Banyak orang menjalani hidup dengan strategi perlindungan diri: menghindari risiko, meminimalkan pengorbanan, dan berpegang erat pada rencana pribadi. Tapi alih-alih merasa aman, mereka justru kehilangan arah dan kekosongan mulai merayap di dalam jiwa.

Karena hidup sejati tidak ditemukan dalam pengamanan, tapi dalam penyerahan.

Sebaliknya, ketika kita dengan sadar melepaskan kendali dan menyerahkan hidup kepada Kristus, kita justru menemukan sesuatu yang selama ini kita cari: kehidupan yang penuh makna, tujuan, dan sukacita. Ini bukan sekadar hidup yang berjalan, tetapi hidup yang berdampak. Bukan hidup yang nyaman, tapi hidup yang memuaskan. Dalam tangan Tuhan, hidup yang diserahkan tidak menjadi sia-sia—ia justru dipakai untuk sesuatu yang kekal.

“You don’t find your life by holding on to it. You find it by giving it away.”
— Tim Keller

Tuhan tidak memanggil kita untuk hidup dengan agenda ganda. Hidup yang mengejar dua tujuan—kenyamanan diri dan panggilan ilahi—hanya akan menghasilkan kebingungan, kompromi, dan kehilangan arah. Seperti kapal yang hendak berlayar ke dua pelabuhan yang berbeda, kita akan berputar di tengah dan tidak pernah sampai ke mana-mana. Mengikut Yesus menuntut fokus tunggal: hidup bukan lagi tentang apa yang saya inginkan, tetapi tentang apa yang Tuhan kehendaki melalui hidup saya.

Untuk bisa benar-benar berkontribusi dalam panggilan Tuhan, kita harus rela melepaskan segala yang membuat kita stagnan: kenyamanan yang membuat kita malas melangkah, gengsi yang membatasi ketaatan, rasa aman semu yang berasal dari kontrol diri, dan ketakutan akan masa depan yang tidak pasti. Panggilan Tuhan tidak akan pernah berkembang dalam tanah yang penuh kompromi. Hidup dalam kehendak-Nya menuntut keputusan yang tegaskeluar dari zona nyaman untuk masuk ke zona pengaruh. Di situlah kita mulai berjalan bukan hanya dalam ketaatan, tapi juga dalam kuasa dan buah yang kekal.

Inilah rahasia Kerajaan yang banyak orang tidak mengerti: kehilangan karena Kristus bukan kerugian—itulah keuntungan sejati.

“You can’t build the Kingdom and preserve your comfort zone.” — Ps. Craig Groeschel


3️⃣ Sukacita Sejati justru Ditemukan Saat Kita tidak lagi mengejar kenyamanan dan memilih Hidup Bagi Tuhan dan Sesama

Mat.16:25 “Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”

Perkataan Yesus ini adalah paradoks yang mengubah cara kita memandang hidup. “Kehilangan nyawa” di sini bukan berarti menghilang atau mati secara fisik, melainkan menyerahkan kendali hidup, ambisi pribadi, dan egoisme kepada Tuhan. Sebaliknya, “memperoleh nyawa” adalah menemukan hidup yang sejati—hidup yang penuh tujuan, makna, dan sukacita yang tidak bergantung pada situasi.

Dalam logika dunia, kebahagiaan dipahami sebagai hasil dari mengumpulkan lebih banyakmempertahankan apa yang dimiliki, dan mengendalikan arah hidup sendiri. Semakin besar kekuasaan, semakin banyak harta, dan semakin kuat kendali atas masa depan—semakin dianggap bahagia. Dunia mengajarkan bahwa kebahagiaan adalah soal memiliki dan menguasai: memiliki rumah yang lebih besar, karier yang lebih tinggi, pengaruh yang lebih luas.

“The real secret of happiness is not what you get, but what you give.”
— Rick Warren

Namun dalam logika Kerajaan Allah, semua itu dibalik. Yesus mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah milik mereka yang menggenggam, tetapi mereka yang melepaskan. Bukan mereka yang mencari untuk dilayani, tetapi mereka yang melayani. Bukan mereka yang menyelamatkan hidupnya sendiri, tetapi mereka yang rela menyerahkannya demi kehendak Tuhan.

Sukacita dalam Kerajaan bukan ditemukan di puncak pencapaian, tetapi di kedalaman penyerahan. Bukan dalam mengendalikan semuanya, tapi dalam mempercayakan semuanya kepada Tuhan.

“The real secret of happiness is not what you get, but what you give.”
— Rick Warren

Ironisnya—dan sekaligus indahnya—adalah bahwa kita baru menemukan hidup yang sesungguhnya ketika kita menyerahkannya sepenuhnya kepada Tuhan dan mempersembahkannya bagi sesama. Di sanalah kita tidak hanya hidup, tapi hidup dalam kepenuhan. Itulah jalan sempit yang Yesus tawarkan—dan justru di jalan itulah ada damai, makna, dan sukacita yang tidak dapat diberikan dunia, dan tidak bisa diambil dunia.

  • Yohanes 4:34 – “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku.”
    • → Yesus menemukan kepuasan dalam menjalankan misi Bapa, bukan dalam kenyamanan fisik.
  • Kisah Para Rasul 20:35 – “Lebih berbahagia memberi daripada menerima.”
    • → Memberi bukan kehilangan, melainkan jalan menuju sukacita.
  • Mazmur 16:11 – “Di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah.”
    • → Sukacita sejati hanya ditemukan dalam hadirat Tuhan, bukan dalam pencapaian dunia.

Sukacita yang Tidak Bisa Dicuri Dunia

Dunia menawarkan versi kebahagiaan yang cepat, dangkal, dan tergantung pada suasana: punya uang, dihormati, nyaman, aman. Tapi jenis kebahagiaan ini rapuh—mudah hilang saat keadaan berubah.

Yesus tidak menjanjikan kenyamanan, tetapi menjanjikan sukacita (joy) yang lebih dalam dan tahan badai.

  • Joy tidak bergantung pada situasi.
  • Joy adalah buah dari hidup yang selaras dengan panggilan Allah.
  • Joy adalah kepuasan yang lahir dari memberi, bukan memiliki.
  • Joy adalah hadiah bagi mereka yang hidup bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk Kristus.

“Happiness is the result of comfort. Joy is the result of calling.”


Penutup: Comfort or Contribution? Pilih Satu.

Pada akhirnya, setiap kita akan dihadapkan pada sebuah keputusan hidup: akan kita kejar kenyamanan atau kita jalani panggilan? Banyak orang ingin keduanya—hidup yang nyaman tapi tetap berdampak, tidak terganggu tapi tetap dipakai Tuhan. Tapi Yesus tidak pernah menawarkan kompromi. Dia berkata, “Ikut Aku berarti salib dulu, baru kemuliaan.”Jalan bersama Yesus bukan jalan dua arah—melainkan satu jalan sempit yang dimulai dengan penyangkalan diri dan dipenuhi dengan pengabdian.

Namun di situlah keajaiban Injil dinyatakan. Justru ketika kita melepaskan kenyamanan demi Kristus, kita menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga: sukacita sejati. Sukacita yang tidak tergantung pada keadaan. Sukacita yang tidak rapuh oleh perubahan hidup. Sukacita yang tidak bisa dibeli dan tidak bisa dicuri.

Ironinya, justru saat kita rela melepaskan kenyamanan dan hidup sepenuhnya bagi Tuhan dan sesama, di sanalah kita menemukan kebahagiaan sejati—
joy yang dunia tidak bisa berikan, dan tidak bisa ambil.

Hari ini, Yesus tidak sekadar memanggil kita untuk percaya—Dia memanggil kita untuk mengikuti.
Dan mengikuti berarti memilih.
Comfort atau Contribution? Pilih satu. Tapi ketahuilah, hanya satu di antaranya yang berujung pada hidup yang sejati.

Tinggalkan komentar