“Rahasia sutainability adalah menjaga keseimbangan antara apa yang harus diteruskan dan apa yang harus diganti.” — Ps. Jeffrey Rachmat
Dalam menjalani kehidupan pribadi maupun dalam dunia bisnis, kita dihadapkan pada dua tanggung jawab besar: meneruskan hal-hal yang bernilai dan mengubah hal-hal yang sudah tidak relevan. Keseimbangan antara keduanya menentukan keberlangsungan hidup dan efektivitas pengaruh kita.
1. Keseimbangan: Identitas dan Relevansi
Ps. Jeffrey Rachmat menekankan bahwa jika kita meneruskan hal yang seharusnya sudah diganti, kita akan menjadi irrelevan. Sebaliknya, jika kita mengganti hal-hal yang seharusnya diteruskan, kita berisiko kehilangan identitas.
“Kalau kita bisa meneruskan apa yang harus diteruskan maka kita punya identitas. Kalau kita bisa mengubah apa yang harus diubah, maka kita akan terus berubah.”
Banyak individu dan organisasi kehilangan pengaruh bukan karena kurang kerja keras, melainkan karena gagal membedakan mana nilai yang harus dijaga dan mana bentuk yang harus diperbarui. Contohnya, ada gereja yang mempertahankan gaya penyembahan atau cara berkhotbah yang sudah tidak menjangkau generasi saat ini. Akibatnya, pesan yang sebenarnya kekal menjadi tidak terdengar karena dibungkus dengan cara yang sudah tidak relevan. Sebaliknya, ada pula yang terlalu cepat mengganti semuanya demi “trend,” hingga kehilangan akar spiritual dan identitas ilahi yang sejatinya menjadi kekuatan mereka.
Banyak pelaku usaha dan organisasi kehilangan daya saing bukan karena kurang bekerja keras, tetapi karena gagal membedakan mana nilai yang harus dipertahankan dan mana pendekatan yang perlu diperbarui. Misalnya, ada perusahaan yang terlalu lama mempertahankan model bisnis lama atau cara komunikasi tradisional, sehingga tidak lagi relevan di mata konsumen masa kini. Akibatnya, nilai dan visi mulia yang mereka miliki tidak tersampaikan secara efektif karena dibungkus dengan format yang usang.
Sebaliknya, ada juga bisnis yang terlalu cepat mengganti segalanya demi mengikuti tren terbaru—mengganti budaya, nilai kerja, bahkan arah produk — tanpa menyadari bahwa dalam proses itu, mereka kehilangan identitas dan fondasi yang dahulu menjadi kekuatan mereka. Akhirnya, bisnis menjadi tidak konsisten, membingungkan pelanggan, dan kehilangan loyalitas jangka panjang.
Dalam dunia yang terus berubah, hikmat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara inovasi dan akar nilai.
Bisnis yang bertahan lama adalah bisnis yang tahu bagaimana beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.
Inilah sebabnya mengapa kita membutuhkan hikmat, agar dapat memilah dengan tepat mana yang merupakan nilai abadi dan mana yang perlu diperbarui. Hikmat ini bisa datang dari Tuhan, dan juga melalui pinjaman hikmat dari orang lain, misalnya melalui umpan balik (feedback) atau review yang jujur dari komunitas yang sehat.
Sikap yang rendah hati untuk menerima masukan, dan keberanian untuk bertindak sesuai dengan evaluasi tersebut, adalah kunci pertumbuhan yang sehat. Identitas bukanlah benteng yang tidak boleh disentuh; ia adalah fondasi yang kuat untuk menopang perubahan. Relevansi bukan kompromi; ia adalah jembatan agar pesan kekal dapat sampai ke generasi berikutnya.
Dengan kata lain, hikmatlah yang memungkinkan kita untuk hidup dinamis tanpa kehilangan dasar. Kita bisa maju dan berubah, tanpa kehilangan siapa diri kita di dalam Kristus.
2. Tujuan Mulia dalam Bisnis: Lebih dari Sekadar Uang
Dalam pengajaran Ps. Jeffrey Rachmat, bisnis bukan sekadar sarana untuk mencari nafkah atau mengejar keuntungan. Bisnis adalah panggilan, tempat di mana iman, potensi, dan pengaruh kita bisa bersinar untuk sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Uang memang penting, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya tujuan. Uang hanyalah alat—bukan tuan.
Ada empat tujuan utama dari bisnis yang dijalankan dalam terang firman Tuhan:
1. Menghasilkan Uang sebagai Alat, Bukan Tujuan Akhir
Ps. Jeffrey menekankan bahwa uang harus diberi arah dan diberi makna. Uang adalah alat untuk mencapai sesuatu yang lebih mulia—bukan sebagai ukuran nilai diri atau kesuksesan semata.
“You need to give money purpose. Uang adalah alat. Membedakan kita dari dunia adalah ketika kita tidak dikendalikan uang, tapi kita yang mengarahkan uang.”
Ketika uang menjadi satu-satunya penentu keputusan, maka bisnis sedang digerakkan oleh mamon (Mat. 6:24). Sebaliknya, orang yang berjalan bersama Tuhan akan menjadikan iman, nilai, dan tujuan ilahi sebagai faktor utama dalam menentukan arah bisnis mereka.
2. Mengekspresikan Potensi Diri yang Tuhan Berikan
Bisnis adalah ruang untuk mengekspresikan potensi, talenta, dan karunia unik yang Tuhan titipkan kepada kita. Dalam Ulangan 8:18, tertulis bahwa Tuhan memberikan kita “kekuatan untuk memperoleh kekayaan.” Yang dimaksud bukan sekadar kekuatan fisik, tetapi juga ide, kreativitas, dan kemampuan menghasilkan sesuatu.
“You are most like God if you are creative.” — Ps. Jeffrey Rachmat
Ketika kita membangun bisnis, kita sedang mengembangkan potensi ilahi dalam diri kita—mengubah bahan mentah menjadi nilai, menemukan solusi dari masalah, dan menciptakan produk atau jasa yang menjawab kebutuhan dunia nyata.
3. Membuat Perbedaan Positif di Dunia Ini
Bisnis bukan hanya tentang laba, tetapi tentang kontribusi. Bisnis yang sehat dan berlandaskan nilai-nilai Kerajaan Allah membawa dampak yang nyata: menciptakan lapangan kerja, memperbaiki kehidupan masyarakat, menjaga integritas, dan menjadi contoh dalam keadilan, pelayanan, serta tanggung jawab sosial.
Prinsip Ibrani Tikkun Olam mengajarkan bahwa kita dipanggil untuk “membawa pemulihan ke dunia.” Seperti garam yang menjaga daging dari kebusukan, demikian juga peran kita di marketplace adalah menjaga moral, menyuarakan nilai, dan menjaga budaya bisnis agar tetap sehat.
4. Memuliakan Tuhan dan Memperluas Kerajaan-Nya
Tujuan tertinggi dari segala sesuatu—termasuk bisnis—adalah untuk memuliakan Tuhan. Ketika bisnis dijalankan dengan cara yang benar, dengan integritas dan kasih, maka bisnis menjadi altar pelayanan di tengah pasar. Di sanalah Kerajaan Allah diperluas, bukan hanya melalui kata-kata, tetapi melalui pekerjaan nyata yang dilakukan dengan excellence dan kesetiaan.
“Kalau Tuhan tidak menyertai kami, apa lagi yang membedakan kami dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi ini?” — Keluaran 33:16
Yang membedakan seorang pengusaha percaya bukan hanya jenis usahanya, tetapi siapa yang menyertainya dalam usaha itu. Bisnis yang dijalankan bersama Tuhan memiliki tujuan kekekalan, bukan hanya target tahunan. Ada urapan, ada penyertaan, dan ada misi surgawi yang sedang dikerjakan di bumi melalui marketplace.
Dengan memahami dan menghidupi empat tujuan mulia ini, maka bisnis kita tidak hanya akan berhasil secara finansial, tetapi juga berdampak secara rohani, sosial, dan kekal. Sebab ketika kita berjalan bersama Tuhan, bahkan hal sekuler seperti bisnis pun menjadi alat penyembahan dan perpanjangan tangan Kerajaan-Nya di dunia.
3. Bisnis dan Panggilan: Tujuan yang Lebih Besar dari Diri Sendiri
Yeremia 29:7 (TB):
“Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”
Ayat ini disampaikan Tuhan kepada umat Israel yang sedang berada di pembuangan—di tengah sistem dan lingkungan yang asing dan tidak ideal. Namun Tuhan tidak menyuruh mereka menarik diri, melainkan terlibat aktif dalam pembangunan dan kesejahteraan kota tempat mereka tinggal. Ini menjadi prinsip teologis penting bagi orang percaya di dunia kerja dan bisnis: kita dipanggil untuk hadir dan membawa dampak, bukan untuk menjauh dan menghindar.
Prinsip Tikkun Olam: Membawa Pemulihan Dunia
Dalam tradisi Ibrani, konsep Tikkun Olam berarti “memperbaiki dunia” atau “membawa pemulihan”. Ini bukan sekadar aktivisme sosial, tetapi suatu panggilan spiritual—bahwa kehadiran umat Allah di dunia harus membawa transformasi, bukan hanya keuntungan.
Dalam konteks bisnis, ini berarti:
- Kita tidak hanya menciptakan produk atau jasa, tetapi menciptakan nilai bagi masyarakat.
- Kita tidak sekadar mencari pertumbuhan keuntungan, tetapi pertumbuhan kebaikan sosial.
- Kita tidak hanya bertanya: “Apa manfaatnya untuk saya?” tetapi: “Apa manfaatnya untuk kota dan generasi mendatang?”
Seperti Garam di Dunia
Matius 5:13 “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan?”
Garam memiliki dua fungsi utama: memberi rasa dan menjaga dari kebusukan. Ini menjadi gambaran dari panggilan orang percaya dalam dunia kerja:
- Kita tidak mengubah daging menjadi garam, artinya kita tidak memaksakan kekristenan secara permukaan, tapi menghadirkan pengaruh melalui karakter, integritas, dan kasih.
- Dalam dunia kerja yang penuh tekanan, kompromi, dan godaan, kehadiran kita sebagai “garam” adalah untuk menjaga agar nilai-nilai moral dan etika tetap hidup.
- Kita menjadi pengingat bahwa ada standar yang lebih tinggi—yakni standar kerajaan Allah.
“Bisnismu bukan hanya soal keuntungan, tapi alat untuk menjaga dunia agar tidak busuk oleh ketamakan, ketidakadilan, dan kebohongan.”
Bisnis sebagai Alat Kerajaan
Bisnis tidak netral. Ia adalah alat—dan seperti alat lainnya, ia bisa digunakan untuk kepentingan diri sendiri, atau untuk mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di bumi:
- Keadilan: Memperlakukan karyawan dan pelanggan dengan jujur dan adil.
- Kasih: Mengutamakan pelayanan yang tulus, bukan sekadar pencapaian target.
- Integritas: Menolak jalan pintas yang melanggar prinsip, meskipun menguntungkan.
- Shalom: Menciptakan ketenangan dan kesejahteraan melalui bisnis yang sehat dan beretika.
“Ketika orang benar menguasai kekayaan, mereka menggunakannya bukan untuk membangun kerajaan pribadi, tetapi untuk memperluas Kerajaan Allah.” – Ps. Timothy Keller
Dengan memahami bahwa bisnis adalah bagian dari panggilan ilahi, maka pekerjaan kita tidak lagi bersifat sekuler—melainkan sakral. Kita dipanggil bukan hanya untuk “bekerja demi hidup”, tetapi untuk bekerja demi dampak. Ketika bisnis dijalankan dengan nilai-nilai Kerajaan, maka perusahaan kita menjadi tempat pelayanan, transformasi, dan pengaruh ilahi—bukan hanya bagi kita, tapi bagi kota, bangsa, dan generasi berikutnya.
4. Prinsip Inside-Out: Sukses Dimulai dari Rumah
Salah satu prinsip mendasar dalam pengajaran Ps. Jeffrey Rachmat adalah bahwa kehidupan dan kepemimpinan yang sejati dibangun dari dalam ke luar (inside-out), bukan dari luar ke dalam. Dunia modern mengejar pencapaian lahiriah—jabatan, harta, popularitas—sebagai tolok ukur kesuksesan. Tetapi Kerajaan Allah bekerja dengan cara yang berbeda: kesuksesan sejati dimulai dari rumah, dari relasi yang paling pribadi dan intim—suami istri, orang tua dan anak, kehidupan sehari-hari yang tidak terlihat orang lain.
Kesuksesan Dunia vs. Keberhasilan Sejati
Ps. Jeffrey Rachmat sering mengingatkan bahwa kesuksesan sejati adalah ketika orang yang paling mengenalmu juga paling menghormatimu. Ini berarti:
- Bukan hanya dipuji di panggung, tapi dihormati di ruang makan.
- Bukan hanya produktif di kantor, tapi hadir di rumah.
- Bukan hanya pemimpin di depan umum, tapi pelayan di tengah keluarga.
1 Timotius 3:4–5 “Seorang penilik jemaat haruslah seorang kepala keluarga yang baik… sebab jikalau seorang tidak tahu mengatur keluarganya sendiri, bagaimana ia dapat mengatur Jemaat Allah?”
Ayat ini menunjukkan bahwa pengelolaan rumah tangga adalah ujian pertama dari kepemimpinan dan karakter. Tuhan tidak mengabaikan rumah tangga demi pelayanan atau pekerjaan—sebaliknya, rumah adalah tempat latihan utama untuk integritas dan kasih.
Rumah: Tempat yang Paling Jujur
Di atas panggung atau di ruang meeting, kita bisa mengatur citra. Tapi di rumah:
- Tidak ada topeng.
- Tidak ada performa.
- Yang muncul adalah siapa kita sebenarnya.
Fondasi yang Kuat untuk Pertumbuhan ke Luar
Ketika rumah kita kuat:
- Kita punya stabilitas emosional yang membuat kita tahan tekanan.
- Kita memiliki komunitas dukungan yang tidak bergantung pada performa.
- Kita belajar mengasihi tanpa syarat—karena keluarga menguji kasih yang sejati, bukan kasih yang transaksional.
Konteks Marketplace dan Pelayanan
Bagi pelaku bisnis dan pemimpin pelayanan, prinsip ini sangat penting:
- Jangan tukar waktu keluarga dengan peluang proyek.
- Jangan kejar tepuk tangan publik sambil mengabaikan air mata anak di rumah.
- Jangan cari pengakuan dari luar, sebelum mengejar hubungan yang utuh di dalam rumah.
Ps. Jeffrey sering mengingatkan para pemimpin: “Orang lain bisa diganti, tapi istrimu dan anakmu cuma punya satu kamu. Jangan abaikan rumah demi kerja.”
“Jangan pernah tukar kasih anakmu dengan tepuk tangan orang asing.” – Ps. Jeffrey Rachmat
5. Siapa yang Kita Layani: Tuhan atau Mamon?
Matius 6:24 “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”
Yesus menegaskan bahwa hati manusia tidak bisa dibagi antara dua tuan: Allah dan Mamon (personifikasi kekayaan/materi). Keduanya menuntut ketaatan, dan keduanya memengaruhi keputusan. Namun hanya satu yang membawa kehidupan kekal.
Uang adalah Alat, Bukan Tujuan (Ajaran Ps. Jeffrey Rachmat)
Dalam banyak pengajaran dan seminar marketplace-nya, Ps. Jeffrey Rachmat menekankan bahwa uang tidak jahat, tetapi menjadi berbahaya saat kita menempatkannya sebagai tujuan, bukan alat. Ia berkata:
“Uang tidak netral. Kalau kita tidak tundukkan uang kepada Tuhan, kita akan tunduk kepada uang.” – Ps. Jeffrey Rachmat
Tanda bahwa seseorang melayani Mamon bukan hanya pada seberapa banyak uang yang dimiliki, tetapi seberapa besar uang menentukan arah hidupnya:
- Ketika semua keputusan bisnis hanya berdasarkan keuntungan.
- Ketika kehendak Tuhan diabaikan demi peluang yang lebih menguntungkan.
- Ketika waktu bersama keluarga, integritas, dan nilai-nilai dikorbankan demi target.
Sebaliknya, orang yang melayani Tuhan:
- Menjadikan iman dan firman Tuhan sebagai dasar keputusan.
- Tunduk kepada pimpinan Roh Kudus, bahkan ketika jalan Tuhan tampak tidak menguntungkan secara finansial.
- Mengelola uang sebagai alat untuk memperluas pengaruh Kerajaan Allah, bukan membangun kerajaan pribadi.
Prinsip: Sedikit + Tuhan = Cukup
Ps. Jeffrey sering mengutip kisah lima roti dan dua ikan (Yohanes 6:1–14) sebagai bukti bahwa bersama Tuhan, sedikit pun bisa menjadi cukup dan berdampak besar.
Ini adalah cara pandang iman yang membedakan orang percaya dari dunia:
- Dunia berkata: “Lebih banyak uang = lebih banyak potensi.”
- Tuhan berkata: “Lebih banyak iman dan ketaatan = lebih besar pengaruh.”
Prinsip Prioritas: Cari Dulu Kerajaan Allah
Matius 6:33 “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”
Ps. Jeffrey sering menekankan bahwa ayat ini bukan janji kemudahan, tapi janji penyertaan bagi mereka yang menempatkan Tuhan lebih dulu dalam urusan bisnis, keluarga, dan kehidupan.
“Kalau kita taruh Tuhan di tempat pertama, yang lain akan cari tempatnya sendiri.” – Ps. Jeffrey Rachmat
Hidup adalah soal siapa yang kita layani. Uang bisa menjadi alat yang luar biasa di tangan orang benar, tapi menjadi tuan yang kejam bagi hati yang tidak tunduk pada Allah. Ps. Jeffrey mengajarkan bahwa kemenangan dalam dunia bisnis bukan diukur dari seberapa besar pemasukan, tetapi seberapa dalam ketundukan kepada Tuhan.
6. Kreativitas: Berkat dalam Bentuk Potensi
Ulangan 8:18 “Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan…”
Dalam ayat ini, yang Tuhan berikan bukanlah kekayaan dalam bentuk jadi, melainkan kekuatan, potensi, ide, dan kapasitas kreatif untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai. Berkat Tuhan sering kali datang bukan sebagai produk akhir, tetapi sebagai bahan mentah.
“You are most like God if you are creative.” — Ps. Jeffrey Rachmat
Kreativitas: Sifat Ilahi dalam Diri Manusia
Ps. Jeffrey Rachmat mengajarkan bahwa kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26), dan salah satu sifat utama Allah adalah kreativitas-Nya sebagai Pencipta. Maka ketika kita mencipta, berinovasi, dan membangun sesuatu dari yang tidak ada, kita sedang mencerminkan natur Tuhan dalam kehidupan sehari-hari—baik dalam bisnis, pelayanan, maupun keluarga.
“Tuhan tidak menciptakan meja, Dia menciptakan pohon. Kita yang harus melihat potensi pohon itu dan menciptakan meja.” — Ps. Jeffrey Rachmat
Dengan kata lain, Tuhan menyediakan bahan baku—alam, ide, relasi, kesempatan. Tetapi diperlukan kreativitas, kerja keras, dan iman untuk mengubah semua itu menjadi sesuatu yang berdampak.
Potensi Harus Diolah
Kreativitas adalah cara Tuhan memberkati kita dengan potensi, tetapi potensi tidak otomatis menjadi hasil.
- Orang malas melihat ide sebagai beban.
- Orang kreatif melihat ide sebagai ladang.
Karena itu, orang percaya seharusnya:
- Berani berpikir di luar kebiasaan (thinking outside the box),
- Mencari solusi bukan hanya mengeluh soal masalah,
- Mengembangkan talenta dan karunia untuk menciptakan nilai tambah.
Amsal 10:4 – “Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya.”
Berkat Tuhan tidak selalu datang sebagai uang langsung, tetapi sering kali datang sebagai peluang tersembunyi, ide orisinal, atau relasi baru. Orang yang memiliki roh kreatif—yang terbuka pada inspirasi dari Tuhan—akan mampu mengubah hal biasa menjadi sesuatu yang luar biasa. Dan di situlah kekayaan sejati dimulai.
“Jangan cari uang. Cari ide dari Tuhan. Uang akan mengikuti kreativitas yang berasal dari hikmat-Nya.” — Ps. Jeffrey Rachmat
7. Dominion Mandate: Kreativitas yang Lahir dari Iman dan Kemitraan dengan Allah
Kejadian 1:28 “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
Perintah “taklukkanlah bumi” bukan tentang dominasi yang merusak, melainkan tentang mengelola ciptaan Tuhan dengan bijaksana dan kreatif. Ini adalah mandat budaya—bahwa manusia ditetapkan untuk mengeksplorasi, mengembangkan, dan memaksimalkan potensi ciptaan untuk kemuliaan Allah dan kebaikan bersama.
1. Tuhan Menyediakan Bahan Dasar, Kita Diminta Mengolah
Tuhan tidak menciptakan vitamin dalam bentuk kapsul, tetapi menyediakan bahan mentah di bumi: tumbuhan, mineral, dan senyawa kimia.
Tuhan tidak menciptakan mobil, tapi besi, minyak bumi, dan akal budi manusia.
Artinya:
- Kreativitas adalah panggilan untuk menggali potensi dunia ciptaan.
- Berkat Tuhan datang dalam bentuk tambang, tanah, benih, ide, dan akal budi.
- Tugas kita: ubah bahan dasar menjadi produk akhir—sesuatu yang bernilai dan memecahkan masalah.
2. Kreativitas Muncul Saat Kita Hidup Dekat dengan Tuhan
Kreativitas sejati bukan hanya hasil logika atau bakat, tetapi buah dari berjalan bersama Tuhan. Saat kita hidup dalam hubungan yang intim dengan-Nya:
- Dia memberi ide baru,
- Memberi sudut pandang berbeda,
- Dan menyalakan api di dalam kita untuk membangun dan memberkati.
Keluaran 31:3–5 “Telah Kupenuhi dia dengan Roh Allah, dengan keahlian, pengertian dan pengetahuan dalam segala macam pekerjaan… untuk membuat rancangan-rancangan.”
3. Kamu Kepala dan Bukan Ekor (Ulangan 28:13)
Tuhan memanggil orang percaya untuk memimpin dengan ide, bukan sekadar mengikuti tren. Dunia penuh peniru, tetapi anak-anak Tuhan dipanggil menjadi pelopor:
- Berinovasi, bukan hanya mengimitasi.
- Menciptakan solusi orisinal, bukan sekadar menyalin cara dunia.
- Memberi arah baru, bukan sekadar mengekor arus pasar.
4. Unleash Your Potential: Potensi Harus Diaktifkan
Semua orang lahir dengan bahan baku potensi, tapi tidak semua orang mengolahnya.
“Di tangan orang malas, bahan dasar tidak jadi apa-apa.” – Ps. Jeffrey Rachmat
Orang malas hanya melihat:
- Keterbatasan.
- Tantangan.
- Kekurangan.
Tapi orang yang berjalan bersama Tuhan melihat:
- Kesempatan dalam masalah,
- Nilai dalam hal sederhana, dan
- Potensi dalam apa yang dunia anggap biasa.
5. Makin Banyak Problem yang Kamu Selesaikan, Makin Banyak Uang yang Kamu Terima
Ps. Jeffrey sering mengajarkan bahwa uang bukanlah tujuan, melainkan hasil dari memberikan nilai. Nilai itu muncul saat kita:
- Memecahkan masalah orang lain.
- Menyediakan solusi kreatif.
- Mengubah sesuatu yang tidak berguna menjadi berguna.
“Uang mengejar nilai. Kalau hidupmu penuh nilai, berkat tidak bisa dihindari.” – Ps. Jeffrey Rachmat
Contoh:
- Orang yang bisa ubah plastik bekas jadi kerajinan punya nilai.
- Orang yang bantu perusahaan efisienkan sistem punya nilai.
- Semakin besar masalah yang bisa kamu atasi, semakin besar penghargaan (termasuk uang) yang akan datang.
BONUS: HIKMAT DAN KOMUNITAS
Banyak orang mengira bahwa Alkitab hanyalah kumpulan aturan hitam-putih—apa yang boleh dan apa yang dilarang. Namun, pemahaman ini terlalu sempit. Alkitab bukan hanya kitab aturan (book of rules), tetapi juga kitab hikmat (book of wisdom). Di dalamnya, kita menemukan prinsip-prinsip kekal yang menuntun hidup kita, bukan sekadar daftar larangan dan perintah.
Tuhan tidak menciptakan kita seperti robot yang hanya mengeksekusi perintah literal tanpa berpikir. Sebaliknya, Dia menciptakan kita sebagai pribadi yang mampu bertumbuh dalam pengenalan akan hati-Nya—melalui Firman, pimpinan Roh Kudus, dan kehidupan dalam komunitas rohani.
Dua Kategori Utama dalam Prinsip-Prinsip Alkitab
1. Precepts – Aturan yang Jelas (Black-and-White)
Precepts adalah perintah langsung dari Tuhan—tegas, eksplisit, dan tidak bisa ditawar. Seperti rambu STOP di jalan raya, kita tahu persis apa yang harus dilakukan atau dihindari.
Contoh:
- Jangan mencuri (Efesus 4:28)
- Jangan berzinah (Keluaran 20:14)
- Kasihilah sesamamu manusia (Markus 12:31)
- Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan (Roma 12:17)
Aturan-aturan ini bersifat universal—berlaku kapan pun dan di mana pun. Tidak dibutuhkan diskusi untuk menaati perintah-perintah ini. Taat kepada precepts adalah dasar integritas iman kita.
2. Principles – Aturan yang Kontekstual (Butuh Hikmat)
Berbeda dari precepts, principles membutuhkan penerapan konteks, kebijaksanaan, dan sensitivitas terhadap situasi yang dihadapi. Seperti rambu YIELD, kita tidak langsung berhenti, tetapi menyesuaikan sikap berdasarkan pengamatan dan keadaan.
Contoh:
- Bolehkah makan daging persembahan berhala? (1 Korintus 8)Rasul Paulus tidak memberikan jawaban mutlak. Dia mengajak jemaat untuk mempertimbangkan:
- Hati nurani pribadi
- Kondisi iman orang lain
- Potensi batu sandungan
“Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah.” — 1 Korintus 8:9
Dalam hal-hal seperti ini, kita tidak hanya bertanya, “Boleh atau tidak?” tapi “Bijak atau tidak?”
Mengapa Kita Butuh Komunitas?
Tidak semua hal dalam hidup bisa diputuskan hanya dengan melihat daftar perintah dan larangan. Di sinilah pentingnya komunitas rohani:
- Belajar dari hikmat orang lain: Orang-orang percaya yang lebih dewasa rohani dapat membimbing dan memberikan perspektif.
- Bertumbuh melalui diskusi dan doa bersama: Komunitas menjadi tempat di mana kita memproses pergumulan secara sehat.
- Mendengar suara Roh Kudus bersama-sama: Roh Kudus tidak hanya bekerja secara pribadi, tetapi juga melalui tubuh Kristus (1 Korintus 12).
“Jangan jalan sendiri. Hikmat itu tumbuh dalam komunitas yang sehat.”
— Ps. Jeffrey Rachmat
Aplikasi Praktis
1. Hormati aturan yang jelas
Jangan pernah kompromikan perintah yang sudah dinyatakan tegas dalam Alkitab. Integritas dimulai dari ketaatan pada hal-hal yang sudah pasti.
2. Navigasi area abu-abu dengan hikmat
Mintalah hikmat Tuhan (Yakobus 1:5), minta nasihat dari pemimpin rohani, dan evaluasi dampak keputusan kita terhadap orang lain.
3. Jangan hanya bertanya “boleh atau tidak?” tapi “bijak atau tidak?”
Pertimbangkan motivasi hati, tujuan Tuhan, dan kasih kepada sesama dalam setiap keputusan.
Alkitab penuh dengan aturan dan prinsip. Tapi Tuhan tidak pernah memisahkan kebenaran dari kasih, atau ketaatan dari relasi. Dia memanggil kita bukan hanya untuk taat secara mekanis, tetapi untuk mengenal hati-Nya dan menjadi serupa dengan Kristus.
“Kebebasan sejati bukan saat kita bisa melakukan apa pun yang kita mau,
tapi saat kita memilih melakukan apa yang benar—bahkan saat kita punya pilihan.” — Ps. Jeffrey Rachmat
Ingat: Dalam komunitas yang sehat dan dalam hubungan yang intim dengan Tuhan, kita bertumbuh dari sekadar penurut menjadi pribadi yang bijak—yang mampu menangkap isi hati Allah dan menghidupinya dalam setiap dimensi hidup.
Kesimpulan: Walk with God, Work with Wisdom
Hidup dengan Nilai-Nilai Kerajaan
Di tengah dunia yang mengejar hasil instan, ukuran materi, dan validasi eksternal, Tuhan memanggil kita untuk hidup dengan nilai-nilai Kerajaan-Nya—yang dalam, tahan uji, dan berdampak kekal. Melalui delapan prinsip ini, kita belajar bahwa berkat Tuhan bukan hanya soal uang, tapi tentang karakter, visi, relasi, dan hikmat yang dibangun dari dalam ke luar.
Tuhan tidak hanya ingin kita sukses menurut ukuran dunia, tetapi berbuah dan berakar dalam kehendak-Nya. Itu dimulai dari rumah, dijalankan dengan iman, dibentuk melalui komunitas, dan dimanifestasikan dalam kreativitas serta integritas yang lahir dari hubungan kita dengan Dia.
“Kalau hidupmu dibangun di atas nilai, hasil akan mengikuti. Tapi kalau hidupmu hanya kejar hasil, nilai akan dikorbankan.” — Ps. Jeffrey Rachmat
Kiranya kita semua menjadi pelaku bisnis, profesional, dan pemimpin yang bukan hanya mencari untung, tetapi juga membawa terang—bukan hanya produktif, tapi menjadi saksi.
Sebab dunia tidak hanya butuh lebih banyak orang kaya—dunia butuh lebih banyak orang benar yang diberkati dan membawa berkat.
“Kamu adalah terang dunia… biarlah terangmu bercahaya.” — Matius 5:14,16
Walk with God. Work with wisdom. Live with purpose.