Servis Berkala untuk Pernikahan: Menjaga Mesin Kasih Tetap Menyala

Berdasarkan pengajaran Ps. Jeffrey Rachmat

Pernikahan, seperti kendaraan, membutuhkan servis berkala—perhatian rutin agar tetap berjalan dengan baik. Pandemi menjadi “jalan berlubang” yang menguji banyak hubungan, dan realita ini mengingatkan kita bahwa pernikahan tidak bisa dibiarkan berjalan otomatis. Ia perlu dirawat, dibersihkan, dan dipulihkan.

1. Pernikahan Adalah Pilihan: Jalan menuju kehidupan melewati kematian

“Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu kuhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu.” — Ulangan 30:19

Tuhan memberikan manusia kehendak bebas, namun Dia juga menunjukkan jalan yang terbaik: pilihlah kehidupan. Sekilas, ini tampak seperti pilihan yang mudah—siapa yang mau mati? Tapi justru di sinilah letak paradoks dalam kehidupan Kristen: jalan menuju kehidupan sejati harus melewati kematian.

Yesus sendiri berkata: “Setiap orang yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” — Matius 16:25

1. Hidup Sejati Dimulai Saat Kita Mati Terhadap Diri Sendiri

Dalam kekristenan, kehidupan bukan sekadar bernafas, tetapi menghidupi kehendak Allah. Dan kehendak Allah seringkali bertentangan dengan keinginan egois kita.

“Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup.” — Roma 8:13

Jadi, untuk sungguh-sungguh hidup dalam terang Kristus, kita perlu mengalami kematian dalam tiga hal:

  • Mati terhadap egoisme: Melepaskan sikap mementingkan diri sendiri dalam relasi, terutama dalam pernikahan.
  • Mati terhadap keinginan daging: Menyalibkan nafsu dan ambisi pribadi yang tidak selaras dengan firman.
  • Mati terhadap hak untuk menang sendiri: Dalam konflik rumah tangga, sering kali yang diperlukan bukan pembuktian siapa benar, tapi pengorbanan demi pemulihan.

2. Pernikahan Adalah Latihan Harian Untuk Memilih Mati Demi Hidup

Ps. Jeffrey Rachmat mengajarkan bahwa pernikahan adalah tempat terbaik untuk menghidupi prinsip ini. Dalam pernikahan:

  • Kita belajar menahan lidah, walau merasa benar.
  • Kita belajar mendahulukan kebutuhan pasangan, bukan diri sendiri.
  • Kita belajar mengampuni lebih dulu, walau tidak merasa bersalah.

Dengan kata lain: kita memilih untuk mati terhadap diri sendiri supaya hubungan tetap hidup.

Seperti kata Kelly Flanagan: “Marriage is for losers.”
Pernikahan akan berhasil jika masing-masing berlomba untuk “kalah”—mengalahkan ego, bukan pasangan.
Buat apa menang argumentasi, tapi kehilangan intimacy. 

“Jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati.” — Roma 8:13

2. Pernikahan adalah ide yang sempurna bagi orang-orang yang tidak sempurna untuk mengalami surga saat kita masih di bumi.

Pernikahan adalah rancangan sempurna dari Tuhan, tetapi Ia mempercayakan rancangan itu kepada manusia yang tidak sempurna. Karena itu, setiap pasangan perlu menyadari bahwa keberhasilan pernikahan bukan berasal dari kesempurnaan pribadi, melainkan dari komitmen untuk terus bertumbuh bersama di dalam kasih dan anugerah Tuhan.

“Marriage is a perfect idea for imperfect people to experience heaven on earth.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Kesadaran ini menumbuhkan ruang yang sehat—ruang untuk membuat kesalahan, untuk saling mengampuni, dan untuk bertumbuh dalam karakter. Pernikahan bukan tempat untuk menuntut kesempurnaan, melainkan tempat untuk melatih kesabaran, kelembutan, dan kasih yang tidak bersyarat.

Pernikahan Adalah Ladang Pertumbuhan, Bukan Panggung Penilaian

Jika kita mengharapkan pasangan sempurna, kita akan cepat kecewa. Namun jika kita menyadari bahwa pernikahan adalah ladang latihan kasih, maka kita akan melihat tantangan bukan sebagai ancaman, tapi sebagai peluang untuk bertumbuh.

“Cinta sejati bukanlah menemukan orang sempurna, tapi belajar mencintai orang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Pernikahan Adalah Maraton, Bukan Sprint

Pernikahan bukan tentang “cepat bahagia,” tetapi tentang bertahan dan bertumbuh dalam jangka panjang. Seperti maraton, kita akan mengalami titik lelah, titik bosan, dan bahkan titik ingin menyerah. Tapi jika kita tahu bahwa pernikahan adalah perjalanan suci, maka kita akan tetap berjalan, meskipun pelan.

Berikut prinsip-prinsip penting untuk bertahan dan menang dalam maraton ini:

1. Capek dan Bosan Adalah bagian dari perjalanan

Setiap hubungan akan mengalami masa jenuh. Ini bukan tanda pernikahan Anda rusak, tetapi tanda bahwa Anda perlu menyiram dan menyuburkan kembali taman hubungan itu.
Bosan bisa menjadi undangan untuk menciptakan kembali koneksi dan keintiman.

2. Gunakan Energi dan Emosi dengan Bijak

Pernikahan akan menghadirkan konflik, tetapi Anda bisa memilih bagaimana bereaksi.

  • Jangan buang energi untuk hal-hal sepele yang tidak membangun.
  • Prioritaskan diskusi yang membawa pemahaman, bukan pembuktian siapa benar.
  • Emosi yang tidak dikendalikan akan merusak lebih dari yang bisa Anda perbaiki.

“Tidak semua perasaan layak diikuti, tetapi semua harus dikuduskan.” — Ps. Jeffrey Rachmat

3. Choose Your Battle Wisely

Bukan semua hal perlu diperdebatkan. Kadang, diam adalah kemenangan, dan mengalah adalah kekuatan.

  • Tanyakan: Apakah ini penting untuk masa depan kita?
  • Apakah konflik ini memperkuat atau menghancurkan relasi kita?

“Peace doesn’t mean avoiding conflict, but knowing which conflicts are worth having.” — Ps. Jeffrey Rachmat

4. Jika Harus Berargumentasi, Lakukan dengan Tujuan Membangun

Dalam pernikahan, konflik bukan untuk menang, tetapi untuk mengerti. Berargumentasilah bukan untuk membuktikan, tetapi untuk memulihkan.

  • Hindari kata-kata yang melukai atau membandingkan.
  • Gunakan waktu dan tempat yang tepat.
  • Tegaskan bahwa kasih dan komitmen tetap utuh walaupun sedang berbeda pendapat.

“Argumen yang sehat bisa memperdalam keintiman—jika dilakukan dalam kasih dan hormat.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Belajarlah Membangun, Bukan Membalas

Jika pernikahan adalah proyek surgawi, maka kita perlu membawa nilai-nilai surga ke dalamnya: kasih yang sabar, pengampunan yang tulus, dan komitmen yang tak tergoyahkan. Bukan kesempurnaan yang membuat pernikahan bahagia, tetapi kerendahan hati untuk terus belajar mencintai lebih baik setiap harinya.

“What makes marriage work is not finding the right person, but becoming the right partner.” — Ps. Jeffrey Rachmat

3. Mengatasi Kebosanan dengan Tujuan dan Pertumbuhan Bersama

Banyak pasangan merasa cemas ketika kebosanan mulai menyusup ke dalam pernikahan. Tapi penting untuk disadari bahwa bosan bukanlah tanda bahwa pernikahan Anda gagal—melainkan sinyal bahwa ada hal-hal yang perlu disegarkan. Sama seperti api yang mulai meredup bukan berarti padam, demikian pula cinta dalam pernikahan perlu terus dipelihara agar tetap menyala.

“Bosan dalam pernikahan adalah undangan untuk membangun kembali tujuan dan keintiman.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Kehidupan terus berubah. Musim berganti. Anak bertambah. Tanggung jawab meningkat. Jika pasangan tidak secara sadar membangun kembali koneksi dan visi bersama, mereka akan bertumbuh ke arah yang berbeda.

Pernikahan Butuh Tujuan yang Terus Diperbarui

Seperti kapal tanpa arah, pernikahan tanpa tujuan akan mudah terseret arus rutinitas, kesibukan, dan kejenuhan. Maka, penting bagi pasangan untuk memiliki dan memperbarui visi hidup bersama.

  • Apa yang sedang kita bangun bersama?
  • Apa nilai-nilai yang ingin kita wariskan kepada anak-anak?
  • Apa mimpi bersama yang ingin kita kejar 5–10 tahun ke depan?

Tujuan yang jelas menyegarkan hubungan, memperkuat arah, dan mempererat ikatan.

“Tuhan menyatukan dalam pernikahan bukan supaya dua orang bisa hidup nyaman, tetapi supaya dua orang bisa menyelesaikan misi surgawi bersama.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Grow Together as You Grow Older

Menjadi tua bersama bukan berarti menjadi asing satu sama lain. Sebaliknya, menjadi tua bersama adalah kesempatan untuk saling mengenal lebih dalam, saling melengkapi, dan tetap saling tertawa.

Namun, pertumbuhan itu tidak terjadi otomatis. Ia harus diusahakan melalui:

  • Percakapan bermakna yang tetap dilakukan secara rutin.
  • Waktu berkualitas berdua yang dijaga, meski sibuk.
  • Komitmen untuk terus belajar—tentang pasangan, tentang diri sendiri, dan tentang kehidupan.

“Pernikahan bukan tentang menyamakan semuanya, tetapi tentang bertumbuh dalam arah yang sama.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Nikmati Setiap Musim: Setiap Fase Ada Keindahannya

Pernikahan punya musim:

  • Musim jatuh cinta—penuh semangat.
  • Musim membesarkan anak—penuh tantangan.
  • Musim kesendirian setelah anak dewasa—penuh ruang untuk memperdalam koneksi.

Jangan membandingkan musim Anda dengan orang lain. Tuhan memberi keindahan dalam setiap waktu (Pengkhotbah 3:11). Keintiman yang perlahan dibangun dalam kesetiaan lebih kuat dari sekadar romantisme sesaat.

Pernikahan untuk Dinikmati, Bukan Sekadar Dipertahankan

Banyak orang menjalani pernikahan seperti menahan nafas: hanya bertahan sampai “semuanya reda.” Tapi pernikahan bukan penjara, melainkan taman yang bisa dinikmati jika dipelihara dengan benar.

  • Jangan tunggu ulang tahun pernikahan untuk bersyukur.
  • Jangan menunggu liburan untuk menunjukkan kasih sayang.
  • Rayakan hal-hal kecil. Nikmati momen sederhana. Tertawalah bersama.

“Kalau mau dapat nilai bagus di ujian pernikahan, kerjakan PR-nya setiap hari.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Seperti siswa yang hanya belajar saat ujian akan gagal, begitu juga pasangan yang hanya “memperbaiki” hubungan saat krisis akan terus terjebak dalam siklus kelelahan. PR pernikahan dikerjakan setiap hari: dalam cara berbicara, mendengarkan, memaafkan, dan menyemangati.

Bosan Bukan Akhir—Itu Titik Awal untuk Bertumbuh Lagi

Jika Anda sedang merasa bosan dalam pernikahan, jangan menyerah. Lihat itu sebagai tanda dari Tuhan untuk menyegarkan kembali arah, memperbarui kasih, dan menyatukan kembali visi. Pernikahan bukan hanya tentang bagaimana kita mulai, tetapi bagaimana kita terus memilih untuk saling mencintai setiap hari—dalam segala musim.

4. Keintiman Harus Diusahakan dan Dipelihara

“Tempat tidur harus dijaga tetap suci…” — Ibrani 13:4

Keintiman dalam pernikahan bukanlah hasil otomatis dari cinta, apalagi sekadar hasil dari legalitas pernikahan. Keintiman adalah sesuatu yang diusahakan, dipelihara, dan dijaga dengan penuh kesadaran. Ps. Jeffrey Rachmat mengibaratkan tempat tidur dalam pernikahan sebagai taman Edentempat yang kudus, penuh keindahan, kerentanan, dan telanjang tanpa rasa malu. Tapi taman ini tidak akan berfungsi otomatis. Iblis pertama kali menggoda manusia di taman Eden, karena ia tahu jika taman rusak, kehidupan pun rusak.

Taman Eden Tidak Otomatis Subur—Ia Harus Diusahakan

Dalam Kejadian 2, Tuhan menempatkan manusia di taman Eden, tetapi tidak dibiarkan hidup tanpa tanggung jawab. Manusia diperintahkan untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Begitu pula dengan taman keintiman dalam pernikahan—ia tidak akan tumbuh sendiri.

“The best way to keep it is to work it.” — Ps. Jeffrey Rachmat

  • Jangan anggap keintiman akan tetap hidup tanpa perawatan.
  • Jangan biarkan kelelahan, anak-anak, pekerjaan, atau rutinitas mematikan gairah emosional dan fisik Anda.
  • Jangan tunggu sampai krisis untuk memperbaiki hubungan.

Taman yang tidak dirawat akan ditumbuhi duri, dan begitu pula dengan hubungan yang tidak dijaga.

Iblis Menyerang Taman, Bukan Padang Gurun

Ps. Jeffrey mengingatkan bahwa godaan pertama dari Iblis tidak terjadi di tempat kekeringan, tetapi di taman Eden—tempat yang penuh berkat dan penyediaan Tuhan. Karena itu, iblis selalu berusaha merusak “taman” kehidupan kita, terutama taman pernikahan.

  • Ia tahu jika taman ini rusak, maka seluruh kehidupan akan ikut rusak.
  • Gangguan keintiman adalah strategi utama musuh untuk menghancurkan kepercayaan, kesatuan, dan komunikasi dalam pernikahan.

Tempat Tidur Adalah Tempat Sakral

Lebih dari sekadar tempat tidur fisik, Alkitab memandangnya sebagai simbol dari:

  • Keintiman emosional (terbuka dan telanjang tanpa malu),
  • Peristirahatan jiwa dan tubuh,
  • Penyatuan yang kudus di hadapan Tuhan,
  • Bahkan tempat inspirasi spiritualTuhan bisa berbicara melalui mimpi, ide, atau visi saat kita sedang dalam kedamaian dengan pasangan kita.

Suami-istri yang saling menghormati, beristirahat dengan damai, dan hidup dalam kasih akan memiliki kapasitas lebih besar dalam pelayanan, pekerjaan, dan pengambilan keputusan. Tapi jika tempat tidur dipenuhi dengan konflik, jarak, atau kecurigaan, maka seluruh aspek hidup ikut terganggu.

“Your rest determines your performance.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Di Sana Tuhan Memerintahkan Berkat

Mazmur 133:1,3 “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!… Sebab di sanalah Tuhan memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya.”

Keintiman menghasilkan kesatuan. Dan kesatuan menarik perkenanan Tuhan. Tuhan tidak hanya memberkati tempat yang ramai, tapi tempat yang rukun dan bersatu. Pernikahan yang hidup dalam kasih dan kesatuan menjadi tempat di mana:

  • Berkat turun tanpa diminta.
  • Visi diberikan tanpa paksaan.
  • Damai menjadi budaya yang melingkupi rumah.

Keintiman Adalah Investasi, Bukan Imbalan

Jangan menunggu pasangan berubah untuk kembali membangun keintiman. Mulailah dari diri sendiri. Sediakan waktu, buka hati, dan rawat taman pernikahan Anda—dengan kata-kata, sentuhan, perhatian, dan doa bersama. Karena keintiman bukan hasil dari momen besar, tapi dari perawatan kecil yang konsisten.

5. Setiap Kita Punya Tanggung Jawab untuk Mengenal dan Mengerti Pasangan Kita

“Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu…” — 1 Petrus 3:7

Ayat ini bukan hanya nasihat etika, tetapi perintah ilahi. Kata “bijaksana” dalam teks aslinya berasal dari bahasa Yunani: γνῶσις (gnōsis), yang berarti pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman dan pengamatan yang dalam. Ini berarti, Tuhan tidak hanya memanggil suami untuk hidup baik, tetapi untuk mengerti dan mempelajari istrinya dengan tekun.

Ps. Jeffrey Rachmat menekankan bahwa pernikahan bukan hanya soal cinta, tetapi soal pemahaman. Karena tanpa pengertian, cinta bisa menjadi kabur. Dan tanpa pengetahuan, hubungan bisa menjadi kering atau bahkan membingungkan.

Menikah Bukan Akhir dari Mengenal, Tapi Permulaan

Banyak orang berhenti mengenal pasangannya setelah menikah, padahal seharusnya justru saat itulah proses “mengenal seumur hidup” dimulai.

  • Wanita mengalami perubahan: emosi, hormon, peran (istri, ibu, pekerja), bahkan bentuk ekspresi kasih.
  • Maka, seorang suami yang bijaksana harus menjadi murid seumur hidup dari hatinya istri.

“Jika ingin membangun pernikahan yang kuat, jangan berhenti belajar tentang pasangan Anda.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Karena kita sudah disatukan Tuhan, semakin kita mengenal pasangan kita, semakin kita mengenal diri sendiri.

Catatan Penting Tentang Wanita dan Peran Suami

  1. Wanita memiliki intuisi yang tajam
    Ps. Jeffrey menjelaskan bahwa wanita diciptakan dengan kepekaan batin yang luar biasa. Bahkan tanpa fakta lengkap, mereka bisa “merasakan” sesuatu yang sedang terjadi. Ini bukan kelemahan—ini anugerah Tuhan. Maka suami perlu peka dan jujur. Jangan menyembunyikan atau bermain-main dengan kepercayaan istri, karena hatinya mampu menangkap sinyal yang tak terlihat.
  2. Istri merindukan pria dewasa, bukan anak kecil dalam tubuh dewasa
    Wanita ingin dipimpin, bukan dikendalikan; ingin dikasihi, bukan diabaikan; ingin dihormati, bukan dianggap remeh.

“Jika suami tidak dewasa, istri akan terpaksa mengambil alih peran.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Kalau suaminya tidak dewasa — ketika pria gagal menjadi pemimpin rohani dan emosional — istri akan mengubah perannya dari istri menjadi ibu, mulai controlling suami. Ini menciptakan ketidakseimbangan peran dalam relasi: dari pasangan menjadi seperti ibu dan anak.

  • Hubungan menjadi penuh tekanan, bukan kerja sama.
  • Hormat tergantikan dengan frustrasi.

Pengenalan Harus Bersifat Dinamis

Karena pasangan kita terus bertumbuh dan berubah, maka pengenalan kita pun harus diperbarui secara terus-menerus.

  • Jangan asumsikan istri Anda masih sama seperti 10 tahun lalu.
  • Tanyakan: Apa yang membuat dia takut? Apa yang membuatnya bergairah? Apa impian terbesarnya tahun ini?

Komunikasi rutin bukan sekadar logistik rumah tangga, tetapi pembaharuan relasi.
Pertanyaan sederhana seperti, “Bagaimana kabarmu sungguh-sungguh?” bisa menjadi jembatan menuju pemulihan dan kedekatan kembali.

Pemahaman Adalah Bentuk Kasih Tertinggi

Cinta sejati bukan sekadar berkata “aku sayang kamu,” tetapi berkata, “aku ingin mengerti kamu.” Dalam pengertian, kita memberi tempat bagi pasangan untuk menjadi dirinya sendiri. Dan dalam pengertian itu pula, pernikahan menjadi tempat aman, bukan medan perang.

“Ketika kita sungguh-sungguh mengenal pasangan kita, kita sedang menghormati gambar Allah dalam diri mereka.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Jangan berhenti belajar. Jadilah murid dari pasangan Anda—dan Anda akan menemukan bahwa pernikahan bukan sekadar rumah tinggal, tetapi sekolah kasih yang mendewasakan jiwa.

6. Kesatuan: Tujuan Allah dalam Pernikahan

“Satu orang mengejar seribu, dua orang mengejar sepuluh ribu.” — Ulangan 32:30

Pernikahan bukan sekadar dua orang hidup bersama di bawah satu atap. Pernikahan adalah dua jiwa yang dipersatukan oleh Tuhan untuk satu tujuan yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Dalam Alkitab, kesatuan adalah kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Ketika dua orang bersatu dalam kehendak Tuhan, kuasa dan potensi mereka menjadi berlipat ganda secara ilahi.

“Kesatuan bukan sekadar kedekatan fisik, tetapi penyatuan visi, arah, dan hati.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Pernikahan: Pertemuan Dua Arus Sungai

Ps. Jeffrey menggambarkan pernikahan sebagai pertemuan dua arus sungai—dua pribadi dengan sejarah, budaya keluarga, luka, impian, dan cara berpikir yang berbeda. Dan ketika dua arus ini bertemu, akan terjadi benturan… tetapi juga potensi luar biasa untuk membentuk aliran baru yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih kuat.

  • Kesatuan tidak berarti keseragaman, tetapi harmoni dalam perbedaan.
  • Kesatuan bukan meniadakan perbedaan, tetapi menjadikannya kekayaan yang saling melengkapi.

Tujuan Tuhan: Kesatuan | Tujuan Iblis: Perpecahan

Dalam Yohanes 17:21, Yesus berdoa agar umat-Nya menjadi satu—karena kesatuan mencerminkan kasih Allah dan menarik hadirat-Nya. Maka tidak heran, dalam pernikahan, serangan utama iblis adalah memecah kesatuan.

  • Perselisihan kecil yang tidak dibereskan bisa menjadi akar kepahitan.
  • Kesibukan dan rutinitas bisa membuat pasangan berjalan dalam arah berbeda tanpa sadar.
  • Ego dan luka yang tidak sembuh bisa menjauhkan hati, meski secara fisik masih bersama.

“Iblis tidak takut dengan dua orang yang tinggal bersama, tapi dia takut dengan dua orang yang bersatu dalam kasih dan tujuan.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Perceraian Itu Mahal, Lebih dari yang Disangka

Ketika kesatuan gagal dijaga, pernikahan bisa retak—dan perceraian menjadi konsekuensinya. Namun, perceraian bukan hanya soal status hukum. Biayanya sangat mahal:

  • Emosional: luka hati, trauma, rasa gagal, bahkan dendam.
  • Spiritual: hilangnya rasa aman, kehilangan arah hidup rohani, bahkan bisa menjauh dari Tuhan.
  • Finansial: kerugian materi, pembagian aset, biaya hukum, dan beban hidup yang bertambah.
  • Sosial: dampak kepada anak, keluarga besar, komunitas gereja.

Oleh karena itu, menjaga kesatuan bukan hanya tindakan cinta, tapi tanggung jawab rohani. Suami dan istri dipanggil untuk terus membangun jembatan, bukan tembok.

Kesatuan Membuka Pintu Kuasa dan Berkat

“Jika dua di antara kamu di dunia ini sepakat meminta apa pun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga.” — Matius 18:19

Kesatuan dalam doa, keputusan, dan pelayanan bukan hanya membuat hubungan kuat—tetapi mengaktifkan janji dan kuasa Tuhan. Dalam kesatuan:

  • Anak-anak melihat teladan kasih yang stabil.
  • Rumah menjadi tempat damai dan inspiratif.
  • Doa menjadi lebih efektif.
  • Tuhan memerintahkan berkat (Mazmur 133).

Kesatuan Adalah Amanat, Bukan Opsional

Kesatuan bukan sesuatu yang “terjadi,” tetapi sesuatu yang diperjuangkan. Itu dimulai dari:

  • Komunikasi yang terbuka.
  • Kerendahan hati untuk meminta maaf dan mengampuni.
  • Komitmen untuk menyatukan visi secara terus-menerus.
  • Mengutamakan kehendak Tuhan di atas kehendak pribadi.

“Tuhan menyatukan dalam pernikahan bukan supaya dua orang bisa hidup nyaman, tetapi supaya dua orang bisa menyelesaikan misi surgawi bersama.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Jangan tunggu hubungan retak baru berjuang. Rawat kesatuan sekarang—karena di situlah kuasa dan berkat Tuhan dicurahkan.


Penutup: Lakukan Servis Berkala

Seperti kendaraan, pernikahan tidak bisa berjalan terus-menerus tanpa perawatan. Cinta perlu dipelihara, keintiman perlu diperjuangkan, dan komunikasi perlu disegarkan. Lakukan servis berkala dalam bentuk:

  • Percakapan jujur.
  • Waktu berkualitas bersama.
  • Doa bersama.
  • Pengampunan yang aktif.
  • Visi bersama yang diperbarui.

“Pernikahan bukan soal hidup bahagia selamanya, tapi soal bertumbuh bersama selamanya.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Pilihlah kehidupan. Pilihlah untuk terus mencintai. Pilihlah untuk bertumbuh bersama. Dan pilihlah untuk tetap merawat “taman Eden” Anda—karena dari sanalah hidup mengalir.


Tinggalkan komentar