Framework of Life and Leadership: Mencintai Tuhan, Mengenal Diri Sendiri, dan Melayani Sesama

Berdasarkan pengajaran Ps. Jeffrey Rachmat

Matius 22:37–39 Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

  1. Mengasihi Tuhan
  2. Mengasihi diri sendiri
  3. Mengasihi sesama

1. Dimulai dengan Mengasihi Tuhan = Mengenal Tuhan

Hukum terutama dalam hidup bukanlah tentang perbuatan pertama, tetapi tentang relasi terdalam: mengasihi Tuhan. Namun, kita tidak dapat mengasihi Tuhan jika kita tidak mengenal siapa Dia sebenarnya. Jadi mengasihi Tuhan adalah tentang mengenal Tuhan. Mengenal Tuhan berarti mengenal Pribadi Tuhan (Karakternya dan apa yang telah dilakukan-Nya untuk kita) dan mengenal ajaran Yesus.

Kasih kepada Tuhan selalu berjalan seiring dengan pengenalan akan Dia. Semakin kita mengenal Tuhan, semakin kita mengasihi-Nya, dan semakin kasih itu mengubahkan kita dari dalam.

A. Tuhan Itu Kasih (1 Yohanes 4:8; 1 Korintus 13)

1Yoh.4:8 Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.

Allah tidak sekadar memiliki kasih—Dia adalah kasih itu sendiri. Kasih Tuhan bukan emosi sesaat, tetapi karakter kekal-Nya.

Melalui 1 Korintus 13, kita mengenal karakter kasih, dan sekaligus mengenal karakter Allah sendiri:

  • Tuhan itu sabar: Ia tidak cepat menghukum, melainkan memberi waktu untuk pertobatan.
  • Tuhan itu baik: Kebaikan-Nya menuntun pada pertobatan.
  • Tuhan tidak cemburu, tidak membanggakan diri, tidak sombong: Ia rendah hati dan penuh pengertian.
  • Tuhan tidak menyimpan kesalahan, tetapi penuh pengampunan.
  • Tuhan menutupi segala sesuatu, percaya, mengharapkan, dan menanggung segala sesuatu: kasih-Nya setia dan tidak menyerah.

Dengan mengenal kasih Tuhan, kita mulai memahami bagaimana karakter kita seharusnya dibentuk dalam relasi, pelayanan, dan kepemimpinan.

B. Tuhan Itu Terang (Yohanes 8:12)

Yesus berkata, “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.” (Yoh. 8:12)

Terang Tuhan:

  • Membuka mata kita terhadap kebenaran
  • Mengusir kegelapan dosa, ketidaktahuan, dan kebingungan
  • Memberi arah hidup agar kita tidak tersesat dalam keputusan-keputusan yang salah

Mengenal Tuhan sebagai terang berarti kita mulai memiliki discernment (kepekaan rohani) dalam menilai apa yang benar dan salah, apa yang sesuai dengan kehendak Allah, dan apa yang tidak.

“Yesus tidak datang untuk menambah beban hidupmu. Dia datang untuk menerangi jalanmu, supaya kamu tahu ke mana harus melangkah.” — Ps. Jeffrey Rachmat

C. Tuhan Itu Hidup (Yohanes 10:10)

Yesus datang, bukan hanya untuk menyelamatkan, tetapi untuk memberi hidup—dan hidup yang berkelimpahan:

“Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yoh. 10:10)

Tuhan bukan hanya sumber kehidupan jasmani, tetapi juga:

  • Menghidupkan kembali jiwa yang mati karena dosa
  • Memberi keselamatan dan hidup kekal
  • Membangkitkan harapan dari situasi yang mati
  • Menjadikan hidup kita bermakna dan berdampak

2. Prinsip dan Nilai: kunci hidup berkemenangan

Dalam kehidupan, setiap orang pasti menghadapi pilihan-pilihan yang menuntut kejelasan arah. Untuk itu, kita perlu memiliki nilai dan prinsip hidup yang benar. Mengenal Tuhan bukan hanya soal mengalami kasih dan kehadiran-Nya, tetapi juga soal memahami dan hidup dalam apa yang diajarkan-Nya. Dari ajaran Yesus kita mendapatkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip kehidupan.

Ps. Jeffrey Rachmat sering menekankan bahwa tanpa nilai dan prinsip yang kuat, kita akan mudah terombang-ambing oleh tekanan, opini orang, atau situasi yang berubah.

“Kalau kamu tidak tahu apa yang kamu nilai penting, kamu akan hidup untuk menyenangkan semua orang — dan akhirnya kehilangan arah.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Nilai-nilai memberikan kepada kita pengertian apa yang berharga dan apa yang benar. Prinsip-prinsip Kerajaan Allah mengajarkan bagaimana kita hidup di dunia, sehingga melalui perunbahan pikiran, kita dapat hidup bekemenangan. Prinsip adalah kebenaran abadi yang menjadi fondasi hidup bagi setiap orang percaya—jalan yang membawa kita pada transformasi sejati dan kehidupan yang berkemenangan.

Prinsip-prinsip ini tidak hadir sebagai hukum kaku yang mengekang, melainkan sebagai jalan kehidupan yang membebaskan, menuntun, dan menghasilkan buah dalam setiap aspek hidup kita. Beberapa prinsip penting yang Alkitab nyatakan antara lain:

  • Prinsip penaburan dan penuaian“Apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (Galatia 6:7–9). Hidup yang berbuah selalu dimulai dari benih yang ditanam dengan kesetiaan.
  • Prinsip kerendahan hati mendahului kehormatan“Kerendahan hati mendahului kehormatan” (Amsal 18:12). Dalam Kerajaan Allah, jalur menuju ke atas dimulai dengan turun ke bawah.
  • Prinsip pengampunan dan rekonsiliasi“Jika kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu” (Matius 6:14–15). Hidup yang bebas dari kepahitan membuka jalan bagi damai dan pemulihan.

Prinsip-prinsip ini menjadi kompas moral dan rohani yang menuntun langkah kita di dunia yang penuh kebingungan dan kompromi. Mereka tidak berubah oleh budaya atau tren, karena bersumber dari karakter Allah sendiri yang tidak berubah.

Namun, prinsip saja tidak cukup. Kita juga perlu memiliki nilai-nilai yang jelaskeyakinan terdalam tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup. Nilai adalah apa yang kita anggap layak diperjuangkan. Misalnya:

  • Kasih, sebagai dasar setiap relasi
  • Kejujuran, sebagai dasar integritas
  • Kesetiaan, sebagai dasar komitmen jangka panjang

Dalam hidup, nilai menentukan apa yang kita pilih, sedangkan prinsip menentukan bagaimana kita menjalaninya. Nilai memberi kita arah, prinsip memberi kita cara.

Tanpa nilai dan prinsip yang berakar dalam pengenalan akan Tuhan, kita akan mudah terombang-ambing oleh arus opini publik, tekanan sosial, atau ambisi pribadi. Akibatnya, kita bukan hanya kehilangan arah, tetapi juga kehilangan identitas sejati yang Tuhan tetapkan atas hidup kita.

Karena itu, salah satu tanda kedewasaan rohani dan kepemimpinan yang sehat adalah hidup yang berdasarkan nilai-nilai kerajaan dan dipandu oleh prinsip-prinsip kekal. Inilah yang menjadikan hidup kita kuat, stabil, dan layak diikuti.

Tanpa nilai yang benar, kita bingung dalam mengambil keputusan. Tanpa prinsip yang kokoh, kita goyah di tengah badai kehidupan.

3. Mengasihi Diri = Mengenal Identitas Diri dalam Kristus

Setelah kita mengasihi Tuhan, langkah berikutnya adalah mengasihi diri sendiri, dimulai dari mengenal siapa kita, yaitu menerima dan memahami identitas kita di dalam Dia. Kita diciptakan menurut Imago Dei—gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:27), sehingga semakin kita mengenal Tuhan, semakin mudah kita mengenal diri kita sendiri. Mengasihi diri sendiri berarti mengakui nilai kita di hadapan Tuhan, bukan berdasarkan pencapaian, melainkan berdasarkan siapa yang menciptakan dan apa yang Tuhan rela bayarkan: Anak-Nya sendiri (Roma 8:32).

“Semakin kita mengenal Tuhan, semakin kita mengenal siapa diri kita sebenarnya, karena kita diciptakan menurut gambah Allah. Dan semakin kita mengenal diri kita, semakin kita bisa mengasihi orang lain..” — Ps. Jeffrey Rachmat

Mengasihi diri sendiri berarti berjalan dalam penerimaan dan pengenalan akan siapa kita sebenarnya—seperti yang Tuhan lihat, bukan seperti yang dunia nilai. Kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Imago Dei) sebagaimana tertulis dalam Kejadian 1:26–27. Artinya, setiap manusia memikul nilai ilahi yang tak tergantikan. Kita bukan produk kebetulan, melainkan ciptaan yang sengaja dirancang dengan keunikan dan tujuan yang spesifik oleh Sang Pencipta.

Mengenal diri bukan sekadar tahu kepribadian kita—tetapi menyadari siapa kita dalam Kristus. Seperti yang ditegaskan dalam Efesus 2:10, “Sebab kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik…” Maka semakin awal seseorang memahami identitas sejatinya, semakin kuat fondasi hidup yang ia miliki. Hal ini sangat penting terutama di masa muda, ketika banyak orang membangun jati dirinya berdasarkan opini orang lain atau tekanan sosial.

Kisah anak yang hilang dalam Lukas 15 memberi gambaran yang indah tentang pemulihan identitas. Sang anak meninggalkan rumah sebagai anak, tetapi pulang dalam kondisi rusak, terhina, dan kehilangan harga diri. Ia ingin kembali hanya sebagai budak. Namun Bapanya menjemputnya di luar rumah, dan memulihkan martabatnya terlebih dahulu sebagai anak, dan baru sesudah itu membawanya kembali ke rumah.

Sebagaimana dikatakan oleh Ps. Jeffrey Rachmat, “Kalau kamu tidak tahu kamu anak siapa, kamu akan hidup seperti budak dunia. Identitas yang salah akan membawa kita hidup dalam perbudakan. Namun identitas yang benar membuka pintu untuk menemukan talenta dan karunia yang Tuhan sudah tanamkan dalam diri kita.

4. Talenta: petunjuk arah panGgilan kita

Satu langkah penting setelah mengenal Tuhan dan mengenal diri (identitas) adalah menyadari bahwa kita diciptakan dengan sebuah tujuan, dan tujuan itu dinyatakan melalui talenta dan panggilan. Dalam pengajaran Ps. Jeffrey Rachmat, ini bukan sekadar tentang karier atau minat, melainkan tentang peta ilahi yang Tuhan tanamkan dalam diri kita sejak semula.

Identitas yang dipulihkan membawa kita menemukan:

  • Talenta dan karunia: pemberian Allah yang unik untuk setiap orang
  • Panggilan hidup: saat talenta kita bertemu dengan kebutuhan orang lain

Tuhan menciptakan setiap kita dengan maksud, dan talenta adalah petunjuk arah bagi panggilan itu. Ketika talenta kita bertemu dengan kebutuhan orang lain, maka kita menemukan tempat kita dalam rencana besar Allah.

Seperti kata Ps. Jeffrey Rachmat, “Masa depanmu tidak ada di depanmu, tetapi sudah ada di dalammu.” Allah tidak menyuruh kita mengejar masa depan di luar sana tanpa arah. Sebaliknya, Dia sudah menanamkan masa depan itu di dalam kita—melalui bakat, kapasitas, dan potensi yang perlu dikembangkan.

Sejak nafas pertama kehidupan ditiupkan ke dalam manusia (Kej. 2:7), Tuhan juga memberikan mandat produktivitas“Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu…” (Kej. 1:28). Ini disebut dominion mandatepanggilan untuk berkembang, mengelola, dan menghasilkan dampak.

Namun menariknya, Tuhan tidak memberikan hasil jadi. Ia memberikan bahan mentah: ide, waktu, energi, peluang. Bersamaan dengan itu, Ia juga memberikan kemampuan untuk mengolahnya. Seperti ditegaskan dalam Ulangan 8:18, “Tuhanlah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan.” Tuhan tidak menjanjikan kekayaan instan—tetapi Dia menjanjikan kapasitas untuk menciptakannya.

Semakin kita mengasah kemampuan untuk mengubah bahan mentah menjadi sesuatu yang bernilai, semakin besar dampak dan kesejahteraan yang bisa kita capai. Di tangan orang malas, bahan mentah itu tidak menghasilkan apa-apa. Tapi di tangan orang yang rajin dan berkarakter, bahan mentah itu bisa menjadi sumber pengaruh dan kelimpahan. Semakin besar kemampuanmu mengolah bahan mentah, semakin besar pengaruh dan dampakmu.

Ps. Jeffrey Rachmat berkata, “Kalau kamu tahu siapa kamu, dan kamu tahu apa yang Tuhan taruh di dalam kamu, kamu akan mulai hidup bukan dari reaksi, tapi dari visi.” Hidup dari visi berarti hidup dengan arah yang jelas dan produktif.

Yang luar biasa, setiap identitas itu unik. Tidak ada duplikat dalam Kerajaan Allah. Allah menciptakan setiap orang dengan kombinasi talenta dan rencana yang berbeda. Karena itu, mengasihi diri sendiri berarti berhenti membandingkan diri dengan orang lain, dan mulai fokus untuk mengembangkan apa yang Tuhan percayakan kepada kita.

Sebagaimana tertulis dalam 1 Korintus 12:4, “Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh.” Dan setiap karunia itu berharga—bila dijalankan dari identitas yang sehat dan panggilan yang jelas, maka hidup kita akan menjadi berkat yang nyata.

A. Talenta adalah Benih Panggilan

Talenta adalah anugerah dari Tuhan yang mencerminkan rancangan khusus-Nya bagi setiap pribadi. Kita tidak memilih talenta kita—Tuhanlah yang menanamkannya.
Talenta berbentuk:

  • Kemampuan alami (skill)
  • Kecenderungan hati (passion)
  • Sensitivitas terhadap masalah tertentu
  • Karunia rohani dan keunikan karakter

Dalam pengajaran Ps. Jeffrey Rachmat, talenta bukanlah hasil, tapi bahan mentah. Ia adalah titik awal, bukan titik akhir.

“Tuhan tidak memberikan bahan jadi, tapi bahan mentah. Dia kasih kamu ide, kasih kamu potensi, kasih kamu kesempatan. Lalu Dia kasih kamu kekuatan untuk mengolah itu semua.” — Ps. Jeffrey Rachmat

B. Talenta Harus Ditemukan dan Dikembangkan

Sering kali, kita tidak langsung tahu apa talenta kita. Namun, ketika seseorang mengenal Tuhan dan identitasnya, dia mulai memiliki kepekaan terhadap:

  • Apa yang dia sukai
  • Apa yang dia lakukan dengan baik
  • Apa yang memberi sukacita saat dilakukan
  • Apa yang berdampak bagi orang lain

Namun mengenali saja tidak cukup. Talenta harus dikembangkan. Seperti dalam perumpamaan talenta (Matius 25:14–30), Tuhan mengharapkan setiap talenta:

  • Dikerjakan dengan kesetiaan
  • Diperbanyak melalui pengelolaan yang bijak
  • Dipertanggungjawabkan dengan hasil nyata

Satu prinsip kuat dari Ps. Jeffrey Rachmat adalah:

“Bahan mentah di tangan orang malas tidak menghasilkan apa-apa. Tapi di tangan orang yang rajin dan penuh integritas, bahan mentah itu bisa menjadi sumber berkat.”

C. Produktivitas dan Mandat Ilahi

Talenta dan panggilan tidak diberikan hanya untuk dipelihara, tapi untuk berbuah. Tuhan memberi mandat sejak penciptaan:

“Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu…” (Kej. 1:28)

Inilah yang disebut Ps. Jeffrey sebagai dominion mandate. Mandat ini bukan hanya bicara soal pertambahan fisik, tetapi juga produktivitas, pengelolaan, dan tanggung jawab.

“Tuhan tidak kasih kamu kekayaan. Tuhan kasih kamu kekuatan untuk menciptakan kekayaan.” (Ul. 8:18)

Semakin kita mampu mengubah potensi menjadi dampak, semakin kita bisa:

  • Memberi kontribusi nyata di masyarakat
  • Meninggalkan warisan kebaikan
  • Memuliakan Tuhan melalui hidup kita

Maka, mengasihi diri sendiri juga berarti menghormati apa yang Tuhan percayakan secara khusus dalam dirimu, dan dengan penuh tanggung jawab, menjalani itu untuk kemuliaan-Nya.

“Kamu tidak dipanggil untuk menjadi siapa-siapa, kamu dipanggil untuk menjadi kamu — versi terbaikmu dalam Kristus.”
— Ps. Jeffrey Rachmat


5. Mengasihi sesama: Dari Identitas Menuju Pelayanan yang Berdampak

Kalau kita mengenal diri sendiri (identitas) barulah kita dapat melayani sesama (Efe.2:10). Mengasihi sesama berarti melayani mereka. Kita belajar dari Yesus, bukan dilayani tetapi untuk melayani. Menggunakan talenta yang Tuhan kasih bukan untuk dirimu sendiri, tetapi untuk menolong orang lain menyelesaikan masalah mereka.

“Kalau kamu tidak tahu siapa kamu, kamu tidak bisa benar-benar melayani orang lain, karena kamu masih sibuk membuktikan dirimu.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Yesus menyebut kita sebagai garam dan terang dunia (Matius 5:13–16). Dua fungsi ini menggambarkan pengaruh kasih yang nyata:

  • Garam dunia → memberi rasa dan mengawetkan; mengubah komunitas dari dalam
  • Terang dunia → memberi arah dan pengharapan; membawa kemuliaan bagi Allah

Mengasihi sesama berarti:

  • Melayani dari hati yang penuh identitas
  • Menggunakan talenta untuk menjawab kebutuhan
  • Menjadi garam yang memberi rasa, dan terang yang memberi arah
  • Membawa orang melihat kemuliaan Tuhan melalui hidup kita

“Kamu adalah representasi Tuhan di tempat di mana kamu ditempatkan. Pastikan orang bisa mengenal kasih Tuhan lewat hidupmu.”
— Ps. Jeffrey Rachmat


6. Menjadi Teladan: Meninggalkan Jejak Kemuliaan

Dalam ajaran Ps. Jeffrey Rachmat, hidup yang berkualitas tidak diukur dari seberapa tinggi posisi yang kita capai, tetapi dari jejak yang kita tinggalkan. Bukan hanya soal kesuksesan, tetapi dampak. Bukan hanya soal pengaruh, tetapi integritas.

“Setiap tempat yang kamu datangi, dan setiap orang yang kamu temui, seharusnya bisa merasakan jejak hidupmu—dan itu bukan jejak ego, tapi jejak kemuliaan Allah.” — Ps. Jeffrey Rachmat

Alkitab memakai kata Yunani τύπος (typos) yang berarti pola, jejak, teladan, atau bentuk yang meninggalkan bekas. Itulah panggilan kita—menjadi pribadi yang meninggalkan jejak kemuliaan, bukan sekadar kesan sesaat.

A. Hidup yang Meninggalkan Jejak

Menjadi teladan bukan tentang popularitas, tetapi konsistensi karakter dan dampak yang nyata. Kita tidak selalu menyadari, tetapi:

  • Setiap keputusan kita meninggalkan nilai
  • Setiap sikap kita menciptakan atmosfer
  • Setiap respon kita membentuk orang di sekitar

Inilah sebabnya mengapa Paulus menasihati Timotius, seorang pemimpin muda, dengan kata-kata tegas namun penuh kasih:  “Jadilah teladan dalam perkataan, tingkah laku, kasih, iman, dan kesucian.” (1 Timotius 4:12)

Ayat ini tidak hanya relevan untuk pendeta atau pelayan gereja, tetapi untuk setiap orang percaya yang ingin hidup dengan dampak.

B. Teladan adalah Kesaksian Tanpa Mikrofon

Dalam pengajaran Ps. Jeffrey Rachmat, teladan adalah bentuk pelayanan yang paling kuat—karena orang mungkin bisa mengabaikan kata-kata kita, tetapi tidak bisa mengabaikan hidup kita.

“Kadang yang dibutuhkan dunia bukan orang Kristen yang pandai berkhotbah, tapi orang Kristen yang hidupnya mencerminkan Kristus.”
— Ps. Jeffrey Rachmat

Menjadi teladan bukan soal menjadi sempurna, tapi tentang:

  • Hidup dengan keaslian
  • Menunjukkan kasih di tengah tekanan
  • Menjaga integritas saat tidak dilihat
  • Berpegang pada iman saat banyak orang menyerah

C. Dimensi Teladan yang Menyentuh Semua Aspek Hidup

  1. Perkataan → Apakah kata-katamu membangun atau merobohkan?
  2. Tingkah laku → Apakah tindakanmu konsisten dengan imanmu?
  3. Kasih → Apakah engkau tetap mengasihi ketika disakiti?
  4. Iman → Apakah orang bisa melihat harapan dan keyakinan dalam cara hidupmu?
  5. Kesucian → Apakah hidupmu mencerminkan kekudusan di tengah dunia yang kompromi?

D. Teladan Meninggalkan Warisan, Bukan Hanya Impresi

Banyak orang hebat menciptakan kesan, tetapi sedikit yang meninggalkan warisan. Orang yang hidup dalam panggilan dan karakter Kristus akan:

  • Membentuk generasi berikutnya
  • Menjadi pengaruh dalam keluarga, komunitas, dan dunia kerja
  • Memuliakan Bapa lewat hidup yang menghasilkan buah (Mat. 5:16)

“Warisan terbesar bukan yang kamu wariskan dalam bentuk materi, tapi dalam bentuk hidup yang ditiru orang lain.” — Ps. Jeffrey Rachmat

E. Hidup yang Mengarahkan Orang kepada Tuhan

Tujuan akhir dari teladan kita bukanlah agar orang mengagumi kita, tetapi agar mereka mengenal Tuhan melalui kita. Setiap sidik jari rohani yang kita tinggalkan harus:

  • Mengarah kepada kasih Kristus
  • Memuliakan Bapa di surga
  • Membawa terang dalam kegelapan

 “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu di surga.
(Matius 5:16)


Menjadi Teladan Adalah Tanggung Jawab dan Hak Istimewa

Menjadi teladan bukan beban, tetapi tanggung jawab mulia dan hak istimewa sebagai anak-anak Allah. Kita dipanggil bukan hanya untuk berhasil, tetapi untuk menjadi saksi hidup yang meninggalkan jejak kasih, iman, dan kebenaran.

“Jangan hanya tinggalkan kenangan. Tinggalkan jejak yang membawa orang lebih dekat kepada Tuhan.” — Ps. Jeffrey Rachmat


Penutup: Hidup yang Terarah, Berdampak, dan Memuliakan Tuhan

Hidup bukan sekadar tentang bertahan, tetapi tentang berjalan dalam arah yang benar, menghasilkan buah yang kekal, dan meninggalkan jejak yang memuliakan Tuhan. Melalui kerangka ini—mengasihi Tuhan, mengenal diri, membangun nilai dan prinsip, menemukan talenta dan panggilan, hingga menjadi teladan—kita belajar bahwa kehidupan yang sejati berasal dari hubungan dengan Tuhan dan mengalir ke dalam seluruh aspek hidup kita.

“Kalau kamu tahu siapa Tuhan, kamu akan tahu siapa kamu. Dan kalau kamu tahu siapa kamu, kamu akan tahu apa yang harus kamu lakukan.”
— Ps. Jeffrey Rachmat

Tuhan sudah menanamkan masa depan di dalam dirimu. Ia sudah memberikan identitas, talenta, nilai, prinsip, dan kapasitas untuk mengelola dan menghasilkan. Sekarang tanggung jawabmu adalah hidup dengan kesadaran ilahi, menggunakan setiap yang Tuhan percayakan untuk menjawab kebutuhan dunia dan memantulkan kemuliaan-Nya ke mana pun kamu pergi.

Jadilah pemimpin yang:

  • Berakar dalam kasih Tuhan,
  • Hidup dalam kebenaran dan keutuhan,
  • Menjadi berkat dengan talenta yang dikembangkan,
  • Dan meninggalkan jejak yang membawa generasi berikutnya lebih dekat kepada Sang Sumber Hidup.

Itulah kepemimpinan sejati. Itulah hidup yang layak dijalani. Itulah hidup yang memuliakan Tuhan.

Framework kehidupan dan kepemimpinan bukan sekadar strategi atau tujuan hidup, tapi sebuah perjalanan untuk:

  • Mengenal Tuhan,
  • Mengenal diri sendiri dalam terang kasih dan kebenaran-Nya,
  • Menemukan panggilan,
  • Melayani dengan dampak,
  • Dan meninggalkan jejak kemuliaan bagi generasi berikutnya.

Kemenangan hidup bukanlah soal posisi, tapi soal fungsi. Bukan soal apa yang kita punya, tapi apa yang kita hasilkan untuk Kerajaan Allah.

Tinggalkan komentar