Samuel: Berhasil di Publik, Tapi Gagal di Rumah


Dalam catatan sejarah Israel, Samuel menempati posisi yang sangat signifikan sebagai tokoh transisi antara periode pemerintahan para hakim dan era monarki. Ia dikenal bukan hanya sebagai nabi, tetapi juga sebagai hakim dan pemimpin rohani yang memediasi relasi antara Allah dan umat-Nya dalam periode yang sarat dengan krisis spiritual dan ketidakstabilan politik. Kehadirannya menandai sebuah era penting dalam sejarah Israel, yakni pergeseran dari teokrasi berbasis kepemimpinan karismatik menuju sistem kerajaan yang terlembaga. Dalam kapasitasnya, Samuel memainkan peran strategis dalam mengurapi dua raja pertama Israel—Saul dan Daud—sehingga menjadikannya aktor utama dalam perubahan struktural bangsa Israel.

Dalam sejarah Israel, Samuel berdiri sebagai figur monumental—nabi terakhir dalam zaman para hakim, seorang perantara antara Allah dan umat-Nya, dan pembimbing spiritual pada masa transisi ke pemerintahan raja. Ia adalah orang yang mengurapi dua raja besar pertama Israel: Saul dan Daud. Reputasinya nyaris tanpa cacat dalam pelayanan publik. Namun di balik kejayaan itu, kisah Samuel juga menyimpan luka yang tersembunyi di balik pintu rumahnya sendiri—kegagalannya sebagai seorang ayah.

Reputasi Samuel dalam pelayanan publik sangat menonjol karena integritas, keberanian moral, dan kesetiaannya yang konsisten kepada kehendak Allah. Dalam 1 Samuel 12, ia menyampaikan pidato perpisahan yang mencerminkan akuntabilitas yang langka dalam kepemimpinan kuno. Ia menantang umat untuk menguji hidup dan pelayanannya, dan tidak ditemukan tuduhan penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian, Samuel merupakan contoh klasik dari seorang pemimpin yang “finishes well,” yakni menyelesaikan panggilan pelayanannya dengan kesetiaan dan integritas tinggi.

Namun demikian, Alkitab secara jujur juga mencatat kegagalan Samuel dalam ranah domestik, khususnya dalam perannya sebagai ayah. Anak-anaknya, yakni Yoel dan Abia, yang diangkat sebagai hakim di Bersyeba, tidak mengikuti jejak moralitas dan kesalehan ayah mereka. Dalam 1 Samuel 8:3, dicatat bahwa mereka “mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan.” Kegagalan ini tidak hanya mencerminkan disfungsi internal dalam keluarga nabi besar tersebut, tetapi juga memunculkan konsekuensi politik yang luas. Ketidakpuasan masyarakat terhadap anak-anak Samuel menjadi salah satu faktor pemicu permintaan akan seorang raja oleh tua-tua Israel (1 Sam. 8:4–5), yang pada akhirnya diizinkan oleh Allah meskipun dianggap sebagai bentuk penolakan terhadap pemerintahan-Nya secara langsung (1 Sam. 8:7).

Fakta ini menggarisbawahi realitas penting dalam narasi Alkitab bahwa keberhasilan di ruang publik tidak secara otomatis menjamin keberhasilan dalam ruang privat. Alkitab tidak segan menghadirkan tokoh-tokoh besar beserta kelemahan dan kegagalan mereka, menegaskan bahwa pemimpin-pemimpin ilahi sekalipun tetap tunduk pada batas-batas manusiawi mereka. Dalam hal ini, Samuel menjadi contoh bahwa efektivitas pelayanan kenabian dan kepemimpinan nasional tidak serta-merta menjamin keberhasilan dalam mendidik generasi berikutnya di lingkup keluarga.

Kisah Samuel menunjukkan kompleksitas panggilan kepemimpinan dalam konteks biblika: bahwa seorang Ayah dipanggil untuk setia bukan hanya dalam pelayanan publik, tetapi juga dalam tanggung jawab domestik. Oleh karena itu, studi terhadap kehidupan Samuel menghadirkan suatu kerangka penting dalam teologi kepemimpinan: bahwa integritas personal dan keberhasilan rumah tangga bukanlah isu sekunder dalam pelayanan, melainkan bagian integral dari mandat panggilan ilahi.


Samuel berhasil sebagai seorang pelayan publik (1 Samuel 12)

Dalam 1 Samuel 12, kita membaca pidato perpisahan Samuel. Ia tidak hanya menyampaikan firman Tuhan kepada bangsa Israel, tetapi juga mengundang pemeriksaan moral secara publik:

“Saksikanlah terhadap aku di hadapan TUHAN dan di hadapan yang diurapi-Nya: Lembu siapakah yang telah kuambil? Keledai siapakah yang telah kuambil? Siapakah yang telah kuperas?” (1 Sam. 12:3)

Reaksi rakyat?

“Engkau tidak memeras kami, tidak menindas kami, dan tidak mengambil apa-apa dari tangan siapa pun.” (1 Sam. 12:4)

Samuel menyelesaikan tugas kenabiannya dengan integritas tinggi. Tidak ada noda dalam reputasinya. Ia tidak menyalahgunakan kuasa, tidak memperkaya diri, dan tidak bermain politik. Dalam bahasa zaman sekarang, Samuel adalah pemimpin yang “berintegritas, tidak korup, tidak haus kekuasaan, dan tidak mencari popularitas.”

Bahkan Allah pun menyatakan melalui Samuel bahwa mereka yang menolak Samuel sebagai pemimpin sejatinya sedang menolak Allah sendiri (1 Sam. 8:7).

Finishing well dalam pelayanan berarti:

  • Menjaga kesetiaan sampai akhir
  • Menjaga hati tetap murni
  • Tidak menyalahgunakan posisi atau karunia

Samuel Gagal sebagai Ayah

1. Anak-Anak Samuel Tidak Mengikuti Jalan Tuhan

Dalam 1 Samuel 8:3 tertulis: “Tetapi anak-anaknya tidak hidup seperti ayahnya; mereka mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan.”

Yoel dan Abia, putra-putra Samuel, mendapatkan tanggung jawab besar sebagai hakim di Bersyeba. Namun, yang terjadi justru menyakitkan: mereka menggunakan posisi mereka untuk keuntungan pribadi, mengecewakan rakyat, dan mempermalukan nama keluarga.

Sebagai seorang ayah, ini bukan hanya kegagalan publik—ini luka hati yang dalam. Anak-anak yang dibesarkan, didoakan, dan dipercayakan tugas, justru menyimpang dari jalan kebenaran.

2. Luka Keluarga yang Mengubah Arah Bangsa

Kegagalan dalam keluarga Samuel membawa dampak besar. Para tua-tua Israel datang dan berkata: “Engkau telah tua dan anak-anakmu tidak hidup seperti engkau. Angkatlah sekarang seorang raja untuk memerintah kami.” (1 Sam. 8:5)

Ini adalah bentuk penolakan tidak langsung terhadap Samuel sebagai ayah. Mereka berkata, “Kami mencintaimu, Samuel, tetapi kami tidak bisa mempercayakan masa depan kepada anak-anakmu.”

Sakit hati macam apa yang lebih tajam bagi seorang ayah dibanding kata-kata itu?

3. Pelajaran Bagi Kita: Kesuksesan Sejati Dimulai dari Rumah

Samuel mengajarkan bahwa reputasi di luar tidak bisa menggantikan kehadiran di dalam rumah. Sebagai ayah, kita punya tanggung jawab utama: membentuk hati anak-anak, bukan hanya melindungi nama baik kita. Dunia mungkin melihat kita sebagai orang hebat, tapi Tuhan dan anak-anak kita tahu siapa kita sebenarnya.

Amsal 22:6 “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”

Samuel mungkin kehilangan kesempatan emas ini. Ia menjadi suara kenabian bagi bangsa, tapi suara kebapaan dalam rumahnya redup dan kehilangan pengaruh.

Pelajaran bagi Setiap Ayah

1. Keberhasilan publik tidak bisa menggantikan kehadiran pribadi.
Menjadi ayah bukan hanya soal mencari nafkah atau membangun nama baik, tapi tentang menanam nilai, mendengar hati, dan membentuk karakter anak-anak.

2. Rumah adalah panggung utama, bukan tempat pelarian setelah pelayanan.
Samuel mungkin tidak menyadari bahwa rumah tangga adalah ladang pertama yang Tuhan percayakan kepadanya. Jika anak sendiri tidak dibentuk, pelayanan sebesar apa pun terasa hampa.

3. Warisan terbaik bukan posisi atau prestasi, tetapi keteladanan dan kedekatan.
Samuel memberikan warisan rohani bagi bangsa, tetapi tidak meninggalkan warisan takut akan Tuhan dalam keluarganya. Sebagai ayah, kita dipanggil bukan hanya untuk sukses, tapi untuk melepaskan generasi yang lebih kuat dalam iman.


Kesimpulan: Jangan Hanya Menjadi Ayah yang Dihormati Dunia, Jadilah Ayah yang Dikenal dan Dikasihi Anak

Samuel mengakhiri pelayanannya dengan baik. Ia finishing well di mata bangsa. Tetapi ia tidak dikenal oleh anak-anaknya sebagai ayah yang berhasil membimbing mereka di jalan Tuhan.

Sebagai ayah, kita tidak dipanggil untuk sempurna. Tapi kita dipanggil untuk hadir, membimbing, mendengarkan, dan mencintai. Anak-anak bukanlah penonton dari pelayanan kita—mereka adalah prioritas utama dari hidup kita.

Tinggalkan komentar