Kita terbiasa merayakan ulang tahun, sesuatu yang terjadi secara otomatis setiap tahun. Tapi ironisnya, kita jarang merayakan ulang tahun pernikahan—padahal setiap anniversary adalah sebuah PENCAPAIAN, Terlebih lagi jika sudah mencapai 25 tahun—silver wedding anniversary—itu adalah tonggak perjalanan hidup yang layak dirayakan dengan penuh syukur.
Kita menyebutnya sebuah pencapaian, karena menjalani pernikahan selama dua puluh lima tahun bukanlah hal yang mudah. Tak ada pernikahan yang sempurna, sebab pernikahan adalah persekutuan antara dua pribadi yang sama-sama tidak sempurna. Dan di dalam ketidaksempurnaan itu, selalu ada pencobaan, pergumulan, dan perjuangan yang harus dihadapi bersama.
- Ada kalanya menikmati rumput yang hijau, saat segalanya terasa indah dan lancar.
- Tapi juga pernah melewati lembah yang dalam, ketika menghadapi pencobaan, pergumulan, yang menggoda untuk kita ingin menyerah.
Pasangan yang tetap bersama setelah 25 tahun bukan karena mereka tidak pernah menghadapi pencobaan, kesulitan, atau bahkan badai. Mereka tetap bersama justru karena mereka bertahan melewati semuanya. Yang membuat mereka bertahan bukanlah perasaan cinta yang selalu berkobar, sebaliknya justru karena hubungan mereka tidak didasarkan pada perasaan tetapi karena mereka berpegang pada PERJANJIAN – Pernikahan adalah sebuah PERJANJIAN.
Sebaliknya, kita menyaksikan banyak pasangan yang memulai pernikahan dengan cinta yang menggebu-gebu, namun kandas saat badai pertama menghantam. Mengapa? Karena fondasi mereka rapuh—dibangun di atas perasaan yang mudah berubah, emosi yang naik turun, dan kenyamanan yang tidak selalu tersedia. Pernikahan tidak akan bertahan karena perasaan. Ia bertahan karena PERJANJIAN.
“It is not the love that sustains the covenant, but the covenant that sustains the love.” — John Piper
Di dunia ini banyak orang memandang pernikahan sebagai kontrak—yaitu kesepakatan berdasarkan saling keuntungan, yang bisa dibatalkan ketika salah satu pihak merasa tidak lagi mendapatkan benefit atau sudah tidak lagi nyaman. Kontrak bersifat sementara, bisa dinegosiasikan, bahkan bisa diakhiri secara sepihak bila kondisi berubah.
Namun pernikahan yang sejati—menurut Alkitab—bukanlah kontrak, melainkan PERJANJIAN.
Dalam pernikahan Kristen, PERJANJIAN ini bukan hanya diantara dua orang, tetapi juga melibatkan Tuhan sebagai saksi. PERJANJIAN (Covenant) dibuat atas dasar saling percaya, tidak ada batasnya, dan tidak dapat diakhiri.
“Pernikahan yang bertahan 25 tahun Bukan karena cinta selalu menyala, tapi karena PERJANJIAN yang dijaga — di tengah tawa dan air mata, di atas bukit kebahagiaan dan di dalam lembah pencobaan. Bukan karena segalanya mudah, tapi karena mereka percaya: pernikahan adalah sebuah PERJANJIAN MULIA.”
Namun kita juga sadar bahwa karena tidak ada pernikahan yang sempurna karena yang menikah adalah dua manusia yang tidak sempurna, maka tidak keberhasilan pernikahan hanya dengan kekuatan dan kebaikan manusia. Setiap pasangan yang telah melewati 25 tahun pasti dapat mengatakan bahwa semua ini karena KASIH KARUNIA Tuhan dan KEBAIKAN TUHAN yang menopang dari hari ke hari. Ini yang membedakan antara pernikahan Kristen dan pernikahan orang-orang yang mengandalkan kekuatan sendiri untuk keberhasilan rumah tangga dan keluarga mereka.
Mazmur 127:1a “Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya.”
Kasih karunia Tuhan adalah kekuatan ilahi yang menopang ketika manusia sampai di ujung kemampuannya.
- Kasih Karunia Membantu Kita Mengampuni
- Kasih Karunia Membuat Kita Tidak Menyerah: Saat masalah keuangan, keluarga, kesehatan, atau bahkan ketegangan batin datang bertubi-tubi.
- Kasih Karunia Membantu Kita Memulai Lagi
Melalui perayaan Silver Wedding Avviversary, Ngadi dan Tuty mau memberikan kesaksian, bahwa kalau bukan karena KASIH KARUNIA, tidak ada pesta malam hari ini. 25 tahun pernikahan bukan karena kekuatan dan kebaikan manusia, tetapi karena KASIH KARUNIA, yang menguatkan saat putus asa, meneguhkan saat mau menyerah, memampukan untuk terus berjalan maju.
Melalui perayaan Silver Wedding Avviversary, Ngadi dan Tuty mau memberikan kesaksian tentang kebaikan Tuhan dan pertolongan Tuhan. Kebaikan Tuhan adalah tangan penyertaan Tuhan yang menjaga dan memelihara, melewati setiap musim kehidupan. Bukan berarti tidak ada badai, tetapi Dia memberi damai di tengah badai, bukan dengan meredakan badai, tetapi dengan menguatkan hati.
Ngadi dan Tuty dapat memberikan kesaksian kebaikan Tuhan dalam hidup mereka. 25 tahun pernikahan mereka sampai hari ini bukan karena semua mudah dan tanpa badai, sebaliknya ada musim-musim dingin, ada lembah dalam, ada badai, ada peperangan, tetapi Tuhan selalu ada di sana. Bagaimana Tuhan berkali-kali menolong hidup mereka. Pesta ini adalah bukti nyata dan kesaksian mereka akan kebaikan Tuhan.
“Pernikahan yang bertahan bukan karena segalanya mudah, tetapi karena kasih karunia Tuhan cukup di setiap musim.”
1Sam.7:12 Kemudian Samuel mengambil sebuah batu dan mendirikannya antara Mizpa dan Yesana; ia menamainya Eben-Haezer, katanya: “Sampai di sini TUHAN menolong kita.”
25 TAHUN KE DEPAN
MENEGUHKAN PERJANJIAN dengan mempraktekkannya;
a. Memilih untuk selalu mengikuti pola Tuhan: LOVE and RESPECT
Efesus 5:33 – “Suami harus mengasihi istrinya… dan istri harus menghormati suaminya.”
Love and Respect merupakan pola sederhana untuk rumah tangga, tetapi karena ini kebenaran maka punya kuasa. Tugas suami bukan mengkritik, tetapi mengasihi. Tugas istri bukan menanduk, tetapi untuk untuk. Semakin merasa dikasihi oleh suaminya, semakin istri dengan sukarela tunduk. Semakin seorang suami merasa istrinya adalah isti yang baik karena tunduk dan menjadi penolong bagi suaminya, maka dengan sukarela suami semakin mengasihi istrinya. Ini adalah sebuah lingkaran malaikat.
b. Memilih untuk menerima, bukan mengubah
Tidak ada pasangan yang sempurna. Setelah 25 tahun pasti masih ada perbedaan, pasti masih ada yang kita ingin ubah dari pasangan kita. Karena itu kuncinya adalah saling menerima satu sama lain, dengan segala kelebihan dan kelemahan, tanpa terus-menerus mencoba mengubah pasangannya seperti yang diinginkan.
Roma 15:7 – “Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus telah menerima kita.”
c. Rendah hati: WE ARE ALL WORK IN PROGRESS
1 Petrus 5:5 – “Kenakanlah kerendahan hati seorang terhadap yang lain.”
Kolose 3:13 – “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain dan ampunilah…”
Kerendahan hati dalam pernikahan lahir dari kesadaran mendalam bahwa kita semua adalah pekerjaan Tuhan yang belum selesai—work in progress. Saya belum sempurna, tidak selalu benar, dan bisa salah dalam kata maupun sikap. Ketika kesadaran ini mengakar dalam hati, maka ego akan mereda, dan kasih akan bertumbuh.
Orang yang rendah hati tidak merasa paling benar atau paling tahu. Ia mudah menerima masukan, bahkan kritikan dan teguran, karena ia sadar: saya masih dalam proses dibentuk. Ia tidak sulit berkata, “Aku salah,” karena harga dirinya tidak dibangun di atas citra kesempurnaan, melainkan di atas kasih karunia Tuhan. Kerendahan hati membuat kita terbuka—untuk belajar, berubah, dan bertumbuh bersama pasangan. Ia menciptakan ruang aman untuk saling koreksi, saling mengaku, dan saling membangun.
d. Memilih untuk bersabar dan bertoleransi
Toleransi dalam pernikahan bukan tanda kelemahan, tapi bentuk kasih yang dewasa. Ia adalah kemampuan untuk menerima perbedaan dengan kasih, bukan dengan keluhan atau paksaan. Dalam pernikahan, hal-hal besar jarang menghancurkan relasi—yang sering merusak justru hal-hal kecil yang tidak dihadapi dengan pengertian: cara bicara yang tidak sama, cara mendidik anak yang berbeda, kebiasaan sehari-hari yang bertabrakan, bahkan cara memeras odol atau meletakkan pakaian.
Sering kali, konflik dalam pernikahan terjadi bukan karena hal besar, tetapi karena kita gagal membedakan antara yang penting dan yang bisa dibiarkan. Toleransi mengajarkan kita untuk choose your battle wisely — memilih dengan bijak mana hal yang layak diperjuangkan dan mana yang sebaiknya dilewatkan dengan senyum. Tidak semua perbedaan perlu diperdebatkan, dan tidak setiap gangguan harus diluruskan. Bijaksana adalah saat kita mengutamakan hubungan lebih daripada pembuktian, dan damai lebih daripada pembenaran. Toleransi adalah pilihan untuk tidak membesarkan hal kecil, dan tidak merusak damai demi pembenaran diri.
“Perjanjian pernikahan tidak cukup hanya diucapkan, tapi perlu menjadi komitmen yang dihidupi — melalui setiap keputusan untuk mengasihi tanpa syarat, hati memilih tunduk dan bukan menanduk, dalam mengampuni dan memberi kesempatan baru dan memilih setiap perkataan dengan bijak.”
TUHAN SEBAGAI TALI KETIGA
Pengk.4:12 Dan bilamana seorang dapat dialahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan.
Kasih manusia bisa melemah, emosi bisa naik turun, dan konflik bisa mengguncang. Tapi ketika Tuhan menjadi pusat, Tuhan bukan sekadar penonton dalam pernikahan, Dia mengikat pasangan dengan kasih yang lebih kuat dari perasaan, hikmat yang lebih tinggi dari logika, dan kekuatan yang lebih besar dari kelemahan manusia.
“Pernikahan tidak cukup dengan cinta dua insan—dibutuhkan Tuhan sebagai tali ketiga, yang mengikat lebih kuat dari perasaan dan menopang lebih kokoh dari kekuatan manusia.”