Setiap orang tua pasti menginginkan kehidupan yang baik untuk anak-anaknya. Kita rela bekerja keras, berkorban waktu, tenaga, bahkan cita-cita, demi masa depan mereka. Namun bagi orang tua yang mengenal Tuhan, ada kerinduan yang lebih dalam daripada sekadar kesuksesan duniawi —
kita ingin anak-anak kita mengenal Tuhan, mengasihi Tuhan, dan setia melayani-Nya seumur hidup mereka.
Kita tahu bahwa warisan terbaik bukanlah rumah mewah atau tabungan besar, melainkan warisan iman — kehidupan yang dibangun dalam takut akan Tuhan, hormat kepada kebenaran-Nya, dan kesetiaan dalam panggilan-Nya. Tapi apa yang terjadi jika kita gagal menjaga panggilan itu? Apa akibatnya jika kita kompromi terhadap kekudusan dalam keluarga kita?
Mari kita belajar dari kisah Eli — seorang imam yang dipanggil Tuhan, tetapi gagal menghormati Tuhan di dalam rumahnya. Firman ini membawa kita untuk merenung: Apakah kita sedang membangun rumah yang memuliakan Tuhan, atau hanya mengelola rutinitas agama tanpa hormat sejati?
“Sebab orang yang menghormati Aku, akan Kuhormati, tetapi orang yang menghina Aku akan dipandang rendah.” — 1 Samuel 2:30
1. Tuhan Memiliki Rencana DAN TUJUAN YANG Baik Bagi Keluarga KITA (Ay. 27–28)
“Bukankah Aku menyatakan diri-Ku kepada nenek moyangmu… Aku telah memilih mereka menjadi imam…”
Makna: Tuhan punya rencana yang baik dan panggilan kudus untuk Iman Eli dan keluarganya, agar mereka dapat dipakai melayani Tuhan. Sebagaimana yang dinyatakan dalam 1 Samuel 2:27-28, Tuhan mengingatkan Eli tentang pentingnya kedudukan dan tanggung jawabnya sebagai imam, yang telah diberikan untuk melayani di hadapan-Nya. Melalui garis keturunannya, Tuhan menunjukkan kesetiaan-Nya dan berharap agar Eli serta keluarganya tetap mendengarkan dan mengikuti panggilan-Nya, sehingga mereka dapat menjadi instrumen dalam rencana besar-Nya untuk umat-Nya. Dalam hal ini, pelayanan bukan hanya sebuah tugas, tetapi juga sebuah kehormatan dan kesempatan untuk berkontribusi dalam penyebaran kasih dan kebenaran Allah.
“The ministry is not a career. It is a call. And the one who calls us is holy.” — A.W. Tozer
Pelajaran bagi Kita: Tuhan Punya Rencana dan Tujuan yang Baik untuk Setiap Kita dan Keluarga Kita
Dalam 1 Samuel 2:27–28, Tuhan mengingatkan Eli tentang anugerah dan kehormatan yang telah diberikan kepada keluarganya. Keturunan Harun — termasuk Eli — dipilih secara khusus untuk melayani Tuhan sebagai imam, menjadi perantara antara Allah dan umat, dan menikmati pemeliharaan langsung dari persembahan umat. Ini adalah bukti bahwa Tuhan punya rencana yang baik dan mulia bagi keluarga Eli.
1Sam2:30 (ERV) “The Lord, the God of Israel, promised that your father’s family would serve him forever. But now the Lord says, ‘That will never be! I will honor people who honor me, but bad things will happen to those who refuse to respect me.”
Hal yang sama berlaku untuk kita hari ini:
1. Tuhan Memiliki Rencana yang Baik bagi Hidup dan Keluarga Kita
Tuhan tidak menciptakan kita secara acak. Dia memanggil setiap orang dengan maksud yang mulia — bukan hanya untuk hidup biasa-biasa saja, tetapi untuk menjadi bagian dari karya kekal-Nya.
- Yeremia 29:11 — “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu… rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan…”
➡️ Tuhan tidak hanya memanggil kita secara pribadi, tetapi juga rindu memakai keluarga kita sebagai alat kemuliaan-Nya.
➡️ Keluarga bukan hanya tempat tinggal fisik, tetapi tempat pertumbuhan rohani dan penggenapan panggilan ilahi.
2. Hidup dalam Pemeliharaan Tuhan adalah Bagian dari Panggilan Kita
Dalam ayat 28, Tuhan menyebut bagaimana para imam hidup dari persembahan umat—mereka dipelihara secara langsung oleh Tuhan karena mereka melayani-Nya.
- Ini menegaskan bahwa pemeliharaan Tuhan menyertai mereka yang hidup dalam panggilan-Nya.
- Matius 6:33 — “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”
➡️ Ketika kita berjalan dalam jalur Tuhan, Dia bertanggung jawab atas hidup dan kebutuhan kita.
➡️ Kita tidak perlu mengejar jaminan dunia jika kita hidup di dalam kehendak-Nya — karena Tuhan adalah Pemelihara yang setia.
3. Tuhan Ingin Memakai Kita untuk Melayani dan Meninggalkan Warisan Iman
Seperti keluarga Eli dipanggil menjadi pelayan di hadapan Tuhan, setiap keluarga yang percaya dipanggil untuk melayani Tuhan, baik dalam rumah maupun di tengah dunia.
- 1 Petrus 2:9 — “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani… untuk memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia…”
➡️ Pelayanan bukan hanya milik para pendeta. Setiap orang tua dipanggil untuk melayani Tuhan lewat pengasuhan, teladan hidup, dan kesetiaan.
➡️ Setiap rumah bisa menjadi tempat ibadah, tempat didikan rohani, tempat pemuridan generasi.
“The most significant kingdom work you may ever do is not something you accomplish but someone you raise.” — Andy Stanley
2. Banyak orang tua membesarkan anak mereka, tetapi tidak mendidik anak-anak mereka (Ay. 29)
“…engkau menghormati anak-anakmu lebih dari pada-Ku…”
Kegagalan Iman Eli Sebagai Seorang Ayah
1. Menoleransi Dosa Anak-anaknya
Eli mengetahui bahwa Hofni dan Pinehas melakukan dosa serius sebagai imam — mereka mengambil bagian korban dengan paksa dan tidur dengan perempuan di pintu Kemah Suci (1Sam.2:22–24).
Namun, ia hanya menegur mereka secara lisan tanpa tindakan tegas.
📖 1 Samuel 3:13 — “Sebab telah Kuberitahukan kepadanya, bahwa Aku akan menghukum keluarganya untuk selama-lamanya karena dosa yang telah diketahuinya, sebab anak-anaknya telah menghina Allah, dan ia tidak menegur mereka.”
➡️ Kegagalan iman Eli: Mengetahui dosa, tetapi tidak mengambil tindakan yang layak secara rohani.
2. Mengutamakan Anak Lebih dari Tuhan
Tuhan sendiri menegur Eli karena “menghormati anak-anaknya lebih dari pada-Ku” (1Sam.2:29).
Ia membiarkan posisi dan kenyamanan anak-anaknya tetap dipertahankan meskipun mereka telah mencemari pelayanan.
➡️ Kegagalan Eli menunjukkan prioritas rohani yang terbalik — kasih keluarga dijadikan alasan untuk mengabaikan ketaatan kepada Tuhan.
“Anything you put above God—even good things like family—has become an idol.” — Tim Keller
3. Tidak Menegakkan Kekudusan dalam Keluarga
Sebagai imam besar dan ayah, Eli memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa rumahnya menjadi tempat hormat dan takut akan Tuhan.
Namun, rumah tangganya menjadi tempat kompromi terhadap kekudusan.
➡️ Dalam konteks Alkitab, ayah adalah imam rumah tangga. Kegagalan Eli mencerminkan kegagalan untuk menjalankan panggilan itu.
📖 Yosua 24:15 — “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN.”
4. Gagal Mewariskan Iman yang Taat dan Takut akan Tuhan
Hofni dan Pinehas tidak dikenal sebagai anak-anak yang takut akan Tuhan, tetapi justru disebut “anak-anak dursila” (1Sam.2:12).
➡️ Ini menunjukkan kegagalan dalam pemuridan spiritual.
Iman yang dimiliki Eli tidak diwariskan dalam bentuk karakter dan kesetiaan kepada Tuhan.
Eli gagal sebagai ayah bukan karena ia tidak beragama, tetapi karena ia tidak bertindak dalam iman.
Ia membiarkan dosa tinggal terlalu lama. Ia memilih diam daripada melindungi kekudusan.
Ia menunjukkan kasih yang lemah, bukan kasih yang kudus.
Dan akhirnya, keluarganya kehilangan kehormatan dan peran dalam rencana Allah.
📘 Pelajaran bagi kita:
Parenting yang Benar Bukan Sekadar Membesarkan, Tapi Mendidik untuk Mengenal dan Menghormati Tuhan
1. Membesarkan Anak Bukan Sama dengan Mendidik Anak
Banyak orang tua berpikir bahwa selama anak diberi makan, disekolahkan, diberi pakaian, dan dilindungi, maka tugas sebagai orang tua sudah selesai. Itu adalah membesarkan secara biologis, tetapi bukan mendidik secara rohani.
➡️ Membesarkan hanya memenuhi kebutuhan fisik dan emosional.
➡️ Mendidik mencakup membentuk karakter, nilai, iman, dan pemahaman hidup yang benar.
📖 Amsal 22:6 — “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”
“The goal of parenting isn’t to control our children, but to teach them to control themselves under the Lordship of Christ.” — Andy Stanley
2. Tujuan Utama Pengasuhan Adalah Menanamkan Rasa Hormat Kepada Tuhan
Anak-anak secara alami tidak dilahirkan dengan rasa hormat kepada Tuhan. Itu harus ditanamkan secara sengaja — lewat teladan hidup, pengajaran, koreksi, dan pembiasaan.
📖 Ulangan 6:6–7 — “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya…”
➡️ Menghormati Tuhan adalah fondasi segala kebijaksanaan.
Tanpa itu, anak mungkin cerdas secara akademik, sukses secara dunia, tetapi hampa secara rohani.
“It’s better to raise a child to fear God than to be admired by the world.” — Unknown
3. Ketika Rasa Hormat kepada Tuhan Tidak Diajarkan, Akan Ada Akibat Jangka Panjang
Dalam kasus Eli, kegagalannya mendidik anak-anaknya menyebabkan:
- Anak-anaknya menyalahgunakan pelayanan (1Sam.2:13–17)
- Tidak takut akan Tuhan (1Sam.2:25)
- Tidak mengenal Tuhan secara pribadi (1Sam.2:12)
➡️ Pengabaian rohani hari ini akan menjadi krisis moral di masa depan.
➡️ Ketika anak-anak tidak diajarkan untuk takut akan Tuhan, mereka akan mengikuti jalan dunia — tidak peduli seberapa baik niat kita sebagai orang tua.
📖 Amsal 1:7 — “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.”
“Children are not casual guests in our home. They have been loaned to us temporarily for the purpose of loving them and training them to love God.” — Dr. James Dobson
3. Ketidaksetiaan Menghalangi Terwujudnya Rencana Tuhan yang Mulia (Ay. 30–34)
“…orang yang menghina Aku akan dipandang rendah.”
Konsekuensi dari dosa Eli:
- Kehilangan warisan pelayanan.
- Kematian anak-anaknya sebagai tanda murka Tuhan.
- Keturunan yang tidak lagi mengalami berkat atau otoritas ilahi.
“When the fear of man replaces the fear of God, we forfeit divine favor.” — Paul David Tripp
Pelajaran bagi kita:
Ketidaktaatan dan ketidaksetiaan mendukakan hati Tuhan, karena rencana-Nya yang baik tidak dapat tergenapi dalam kehidupan kita.
“God’s plans for your life are good — but they are not automatic. They require your cooperation.” — Rick Warren
1. Tuhan Memiliki Rencana yang Baik — Tapi Rencana Itu Menuntut Respons Kita
Tuhan tidak pernah merancang kegagalan. Rencana-Nya atas Eli dan keluarganya adalah mulia: menjadi imam selamanya, menikmati kehormatan pelayanan, dan menjadi saluran berkat bagi umat.
Namun, ayat 30 menunjukkan pergeseran ilahi: “Aku telah berfirman… tetapi sekarang: Jauhkanlah hal itu dari pada-Ku.”
➡️ Ini menunjukkan bahwa janji Tuhan tidak bersifat otomatis — ia membutuhkan tanggapan berupa ketaatan dan kesetiaan.
➡️ Rencana Tuhan tidak gagal, tetapi kita bisa gagal menjadi bagian dari penggenapan rencana itu.
“God’s promises are certain — but your participation in them depends on your obedience.” — Tony Evans
2. Ketidaktaatan Menghentikan Aliran Janji Tuhan dalam Hidup Kita
Eli tidak sepenuhnya jahat, tetapi ketidaktaatannya bersifat pasif — dan itulah yang menghancurkan.
Ia tahu kebenaran, tapi tidak bertindak. Ia mendengar suara Tuhan, tapi tidak mengindahkan.
➡️ Ketika kita tahu apa yang Tuhan inginkan dan tetap tidak melakukannya, itu bukan kelemahan — itu pemberontakan rohani.
📖 Yakobus 4:17 — “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.”
➡️ Dalam konteks Eli, ketidaktaatan ini bukan hanya menyebabkan kegagalan pribadi, tetapi juga menghancurkan masa depan anak-anaknya dan menghentikan warisan pelayanan.
“Small acts of disobedience can lead to great spiritual losses.” — Charles Stanley
3. Ketidaksetiaan Menyedihkan Hati Tuhan Karena Dia Merindukan Kemitraan
Tuhan tidak hanya memerintah — Dia mengundang kita berjalan bersama-Nya dalam perjanjian.
Ketika kita tidak setia, kita menolak kehormatan menjadi bagian dari rencana kekekalan.
➡️ Ketidaksetiaan bukan sekadar pelanggaran aturan; itu adalah pengkhianatan terhadap kasih dan kepercayaan Tuhan.
➡️ Eli dipanggil untuk melayani Tuhan dalam kekudusan, tetapi dengan tidak mendisiplinkan anak-anaknya, ia merendahkan nilai panggilan itu.
📖 Lukas 16:10 — “Barangsiapa setia dalam perkara kecil, ia juga setia dalam perkara besar…”
“Faithfulness is not about perfection, but about consistency in honoring God in the everyday choices.” — John Piper
4. Tuhan Akan terus Melanjutkan Rencana-Nya Melalui Orang yang Setia (Ay. 35–36)
“Aku akan membangkitkan bagi-Ku seorang imam yang setia…”
Tindakan Allah:
- Menggantikan imam yang tidak setia dengan mereka yang setia.
- Digenapi dalam Samuel, kemudian Zadok, dan puncaknya dalam Yesus Kristus — Imam Besar Agung.
“When God removes one, He raises another. His purposes never depend on the permanence of man.” — Charles Spurgeon
Pelajaran bagi Kita: Apapun yang Terjadi, Pekerjaan Tuhan Akan Terus Berjalan — Tuhan Selalu Mencari Orang yang Setia Menanggapi Panggilan-Nya
Dalam 1 Samuel 2:35, setelah menyatakan penghukuman atas rumah Eli, Tuhan menyatakan: “Aku akan membangkitkan bagi-Ku seorang imam yang setia, seperti yang diingini hati-Ku dan jiwa-Ku…”
Ini menunjukkan kebenaran besar yang tidak berubah sepanjang sejarah:
1. Pekerjaan Tuhan Tidak Bergantung pada Manusia — Tapi Akan Dilanjutkan oleh Orang yang Setia
Meskipun Eli gagal, rencana Tuhan tidak berhenti. Tuhan tetap melanjutkan pekerjaan-Nya — hanya bukan lagi melalui Eli dan keturunannya, melainkan melalui orang lain yang setia.
➡️ Dalam konteks sejarah Israel, ini tergenapi lewat:
- Samuel (generasi berikutnya),
- Zadok (menggantikan keturunan Eli),
- dan secara profetik Yesus Kristus, Imam Besar Agung kita (Ibrani 4:14–16).
📖 Mazmur 33:11 — “Tetapi rencana TUHAN tetap selama-lamanya, rancangan hati-Nya turun-temurun.”
“God’s plan will prevail, with or without us. But His desire is to accomplish it through us — if we are willing and faithful.” — Christine Caine
➡️ Ketika satu generasi gagal merespons panggilan Tuhan, Tuhan tidak kehabisan pilihan. Ia akan memanggil generasi berikutnya. Tapi betapa menyedihkannya bila kita atau keluarga kita melewatkan kehormatan itu.
2. Tuhan Terus Mencari Orang yang Mau Merespon Panggilan-Nya
“Aku akan membangkitkan bagi-Ku seorang imam yang setia…” (1Sam.2:35)
Tuhan mencari orang yang bukan hanya hadir di gereja, tapi hadir dengan hati yang sepenuhnya milik Tuhan.
➡️ Kesetiaan, bukan kemampuan, adalah yang Tuhan cari.
➡️ Yang dibutuhkan Tuhan bukan suara lantang, tetapi hati yang taat dan hidup yang kudus.
📖 2 Tawarikh 16:9 — “Karena mata TUHAN menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia.”
“God doesn’t anoint the impressive. He anoints the surrendered.” — Lisa Severe
3. Kesetiaan Adalah Kunci untuk Diikutsertakan dalam Rencana Allah
Tuhan tidak hanya mencari orang berbakat, Dia mencari orang setia — yang tidak menyerah saat sulit, yang tetap berdiri saat semua orang kompromi, dan yang tetap melayani bahkan ketika tidak dilihat.
📖 1 Korintus 4:2 — “Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah bahwa mereka ternyata dapat dipercaya.”
“Faithfulness in obscurity prepares you for usefulness in visibility.” — Paul David Tripp
➡️ Dalam dunia yang mengejar pengakuan, Tuhan mencari integritas.
➡️ Dalam generasi yang mencintai sorotan, Tuhan mengangkat mereka yang setia di tempat tersembunyi.
Closing Statement
Rencana dan tujuan Tuhan bagi keluarga kita — dan bagi anak-anak kita — selalu baik.
Bukan sekadar agar mereka sukses di dunia, tapi agar mereka hidup dalam panggilan-Nya, menghormati Tuhan, dan menjadi alat kemuliaan-Nya di generasi mereka.
Namun rencana yang baik itu tidak tergenapi secara otomatis.
Tuhan memercayakan kepada kita — para orang tua, para pemimpin rohani, para pembimbing generasi — sebuah tanggung jawab suci:
➡️ Untuk mendidik, bukan sekadar membesarkan.
➡️ Untuk menanamkan hormat kepada Tuhan, bukan sekadar tradisi agama.
➡️ Untuk hidup dalam ketaatan dan kesetiaan, agar keluarga kita berjalan dalam terang rencana-Nya.
Jangan biarkan keluarga kita hanya dikenal oleh dunia —
Biarlah mereka dikenal oleh surga, sebagai keluarga yang menghormati Tuhan.
“The greatest legacy we can leave our children is not riches or recognition — but a life that points them to Jesus.” — Unknown
Kiranya kita semua setia menjalani peran ini, agar generasi kita tidak kehilangan panggilan ilahi, tetapi justru melanjutkan pekerjaan Tuhan dari generasi ke generasi.
Amin.