Hidup dalam Ketidaksempurnaan: Pencobaan, Masalah, Keraguan, dan Kegelisahan

“Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” – Yohanes 16:33


Sejak kejatuhan manusia dalam dosa (Kejadian 3), dunia tidak lagi menjadi tempat yang sempurna. Ketidaksempurnaan bukan sekadar pengalaman pribadi, tetapi realitas universal yang menandai kondisi manusia di dunia. Dalam teologi Reformed, ini dikenal sebagai total depravity—bukan bahwa manusia sejahat-jahatnya, tetapi bahwa seluruh aspek hidup manusia telah tercemar oleh dosa, termasuk pikiran, kehendak, dan emosi.

Empat manifestasi utama dari ketidaksempurnaan hidup manusia adalah: pencobaan, masalah, keraguan, dan kegelisahan. Keempatnya adalah bukti bahwa manusia berada di tengah dunia yang “sudah tetapi belum”—sudah ditebus oleh Kristus, tetapi belum mengalami pemulihan total sampai kedatangan-Nya kembali.


1. Pencobaan: Ketegangan antara Keinginan Daging dan Panggilan Kekudusan

Yakobus 1:13–14“Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata: ‘Pencobaan ini datang dari Allah!’… Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri…”

Salah satu ekspresi ketidaksempurnaan karena dunia yang tercemar oleh dosa adalah bahwa kita selalu menghadapi pencobaan. Pencobaan (peirasmos dalam Yunani) dalam Alkitab memiliki dua makna: cobaan untuk menguatkan, dan godaan untuk menjatuhkan.

Kata Yunani peirasmos bisa berarti:

a. Cobaan (Trial) – untuk menguji dan memurnikan iman

👉 Tujuannya adalah membentuk, menguatkan, dan menyatakan kualitas iman.

  • Yakobus 1:2-3 – “Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu bahwa ujian terhadap imanmu menghasilkan ketekunan.”
  • 1 Petrus 1:6-7 – “…imanmu yang teruji itu lebih mahal dari emas…”

b. Godaan (Temptation) – untuk menjatuhkan dan merusak

👉 Tujuannya adalah menyeret manusia menjauh dari Tuhan, biasanya melalui keinginan yang berdosa.

  • Yakobus 1:13-14 – “Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata: ‘Pencobaan ini datang dari Allah!’… tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri.”

Pencobaan adalah bagian dari realita dunia yang tidak ideal dan telah tercemar oleh kejatuhan: di mana setiap individu dihadapkan pada berbagai rintangan yang sering kali menguji kekuatan moral dan spiritual mereka. Dalam perjalanan hidup, kita menemukan situasi di mana godaan muncul dalam berbagai bentuk, menarik kita ke dalam pilihan yang dapat menjerumuskan atau mengangkat kita. Hal ini menjadikan pencobaan sebagai pengalaman universal, yang mencerminkan perjuangan batin antara kebaikan dan kejahatan, serta tantangan untuk tetap teguh di tengah arus kehidupan yang penuh dengan kompromi dan dilema ethis. Dengan setiap pencobaan, ada pelajaran yang bisa dipetik, membentuk karakter dan membantu kita memahami esensi dari ketahanan hati dalam mengatasi kesulitan.

  • Dunia menawarkan sistem nilai yang bertentangan dengan Allah (1 Yohanes 2:15-17). Dalam konteks ini, banyak sekali hal-hal yang tampaknya menarik dan menggiurkan, namun pada akhirnya dapat menjauhkan kita dari kebenaran dan ajaran-Nya. Kita perlu waspada terhadap pengaruh dunia yang sering kali memutarbalikkan nilai-nilai spiritual dan menjadikan hal-hal material sebagai prioritas utama.
  • Iblis adalah musuh rohani yang aktif menggoda dan berusaha memperdaya manusia dengan berbagai cara yang licik dan tidak terduga, sebagaimana tertulis dalam kitab (1 Petrus 5:8) yang mengingatkan kita untuk tetap waspada dan berjaga-jaga terhadap perangkapnya.
  • Daging adalah kecenderungan berdosa dalam diri manusia yang sering kali mengganggu perjalanan spiritual dan perjalanan hidup kita, sesuai dengan ajaran dalam Kitab Galatia 5:17 yang menekankan pertentangan antara daging dan roh.

👉 Dalam dunia yang seperti ini, orang percaya hidup dalam ketegangan antara roh dan daging, antara kasih Allah dan daya tarik dosa.

Dalam teologi Kristen, Allah dapat mengizinkan pencobaan untuk membentuk iman, tetapi tidak menjadi sumber dosa (bdk. Ibrani 4:15). Allah, dalam kebijaksanaan-Nya yang tak terukur, sering kali menggunakan situasi sulit untuk menajamkan karakter dan membangun ketahanan rohani. Sebaliknya, kejatuhan dalam pencobaan membuktikan adanya keinginan yang telah rusak di dalam diri manusia. Hal ini menunjukkan bahwa kehendak manusia tidak netral—ia condong kepada dosa, yang mencerminkan nature manusia yang sudah terjatuh, dan memerlukan penebusan melalui kasih karunia Allah. Dengan pemahaman ini, penting bagi kita untuk menyadari bahwa pencobaan dapat menjadi sarana untuk bertumbuh, meskipun kita harus waspada terhadap godaan yang dapat menjerumuskan kita dalam kebinasaan.

Pencobaan dapat menjadi sarana pembentukan karakter, pendewasaan iman, dan pengujian kesetiaan yang tidak ternilai. Dalam proses menghadapi pencobaan, kita sering kali belajar untuk mengandalkan kekuatan dan hikmat Allah, yang membantu kita untuk tumbuh dan berkembang dalam memahami tujuan-Nya. Oleh karena itu, seiring dengan perjalanan hidup, penting bagi kita untuk melihat pencobaan bukan sebagai beban, tetapi sebagai kesempatan untuk memperdalam keyakinan dan memahami kasih Allah yang senantiasa menyertai kita, bahkan dalam masa-masa sulit.

  • Roma 5:3-4 – “Kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan.”
  • Ibrani 12:11 – “Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi duka; tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran…”

📌 Allah bukan sadis, melainkan Bapa yang membentuk anak-anak-Nya agar serupa Kristus (Roma 8:29). Proses pembentukan ini sering kali melalui pelajaran hidup yang tidak selalu mudah dan menyenangkan, tetapi semua itu bertujuan untuk menanamkan karakter Kristus dalam diri kita. Dengan kasih dan kebijaksanaan-Nya, Allah mengizinkan kita mengalami tantangan dan ujian yang dapat menguatkan iman kita. Melalui pengalaman-pengalaman ini, kita belajar untuk menjadi lebih sabar, penuh kasih, dan pengertian, sehingga kita dapat mencerminkan kemuliaan-Nya dalam kehidupan sehari-hari.

“Sin gets its power by persuading me to believe that I will be more happy if I follow it. The power of all temptation is the prospect that it will make me happier.” – John Piper

Apa jawaban Alkitab untuk Pencobaan yang kita alami?

Janji Pemeliharaan dan Jalan Keluar dari Allah: Pencobaan bukanlah akhir dari segalanya. Dalam perjalanan hidup ini, kita seringkali menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan yang terkadang membuat kita merasa putus asa. Namun, Alkitab menjamin bahwa Allah tidak membiarkan umat-Nya dicobai di luar batas kemampuan mereka. Dengan setiap ujian yang datang, terdapat selalu jalan keluar yang telah disiapkan-Nya agar kita bisa bertahan dan bangkit kembali. Ketika kita meletakkan kepercayaan kita kepada-Nya, kita akan menyadari bahwa setiap pencobaan adalah kesempatan untuk memperkuat iman dan karakter kita, sehingga kita bisa menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih bijaksana dalam menghadapi kehidupan.

  • 1 Korintus 10:13 – “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, … Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu.”

Setiap pencobaan disertai dengan kasih karunia, kekuatan, dan jalan keluar. Dalam setiap situasi sulit yang kita hadapi, kita sering kali merasa kehilangan arah dan ketidakberdayaan, namun penting untuk diingat bahwa selalu ada dukungan dan bantuan yang tersedia bagi kita. Kasih karunia memberikan kita keleluasaan untuk belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut, kekuatan membangkitkan semangat dalam diri kita untuk terus berjuang, dan jalan keluar yang sering kali tidak kita sadari dapat muncul saat kita tetap bersikap optimis dan terbuka. Dengan pendekatan ini, kita dapat menghadapi tantangan hidup dengan keberanian dan harapan yang baru.


Yesus sebagai Teladan dan Penolong dalam Pencobaan: Yesus sendiri mengalami pencobaan, namun tanpa dosa. Dalam setiap cobaan yang Ia hadapi, Yesus menunjukkan ketahanan dan kesetiaan yang luar biasa kepada Allah. Sikap-Nya yang penuh kasih dan pengertian menjadi contoh bagi kita semua, terutama saat kita berada dalam situasi yang sulit. Karena itu, Ia bukan hanya teladan, tetapi juga Penolong. Ia mengerti beban yang kita bawa dan siap membantu kita untuk mengatasi setiap tantangan yang kita hadapi, memberikan kekuatan dan penghiburan di saat kita membutuhkannya. Dengan demikian, kita bisa melihat-Nya sebagai sosok yang selalu ada untuk mendampingi kita dalam perjalanan hidup ini, terutama ketika kita menghadapi godaan yang menguji iman dan karakter kita.

  • Ibrani 4:15-16 – “Sebab Imam Besar kita bukanlah Imam Besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita… Sebab Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.”

Dalam pencobaan, kita tidak sendiri—Yesus ada bersama kita, mendampingi dan memberi kekuatan untuk bertahan. Di saat-saat sulit dan penuh tantangan, Dia selalu hadir untuk memberikan dukungan dan bimbingan, membimbing langkah-langkah kita dalam kegelapan. Kita diingatkan bahwa tidak peduli seberapa besar beban yang kita hadapi, kasih-Nya tidak akan pernah meninggalkan kita. Dengan berpegang pada iman dan tetap bersandar pada firman-Nya, kita dapat menemukan ketenangan dan harapan di tengah kesulitan yang datang. Melalui setiap ujian yang kita lewati, kita belajar untuk lebih bergantung pada-Nya dan memperkuat hubungan kita dengan Kristus, yang selalu siap membantu dan menguatkan kita.

Pencobaan mengingatkan kita bahwa kita masih dalam proses pengudusan (sanctification), dan kita harus terus-menerus bersandar pada Roh Kudus dan Firman Tuhan (Galatia 5:16-17). Saat kita menghadapi tantangan dan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari, hal ini sering kali menjadi pengingat bagi kita bahwa perjalanan iman kita belum selesai. Ketidaksempurnaan dalam kehendak kita membuat kita selalu butuh kasih karunia; tanpa kasih karunia tersebut, kita tidak akan dapat bangkit dari kegagalan dan dosa-dosa yang kita lakukan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan doa dan permohonan kepada Tuhan, memohon bimbingan Roh Kudus agar kita dapat tetap berada di jalur yang benar. Dengan bersandar pada Firman Tuhan, kita akan menemukan kekuatan dan ketenangan di tengah badai pencobaan yang mungkin kita hadapi.


2. Masalah: Konsekuensi Dunia yang Telah Dikutuk dan Menderita

Roma 8:20–22“Karena segala makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan… segala makhluk sama-sama mengeluh…”

Selama kehidupan manusia di muka bumi, akan selalu menghadapi berbagai masalah, sebagai salah satu ekspresi ketidaksempurnaan karena dunia yang tercemar oleh dosa. Di setiap langkah perjalanan, tantangan dan rintangan datang silih berganti, menghadirkan situasi yang menguji kemampuan dan ketahanan individu serta komunitas. Dalam situasi tersebut, manusia dituntut untuk mencari solusi, membangun kebersamaan, dan mengembangkan empati terhadap sesama. Dengan demikian, meskipun dunia ini sering kali dipenuhi dengan kesulitan, ada harapan bahwa melalui upaya dan kerja sama, kita mampu menciptakan perubahan positif dan memperbaiki keadaan, sambil tetap menyadari bahwa kesempurnaan tidak pernah dapat dicapai sepenuhnya.

Masalah dan penderitaan adalah hasil dari kutukan atas ciptaan akibat dosa. Dalam teologi, ini disebut the fallen creation—dunia ini dalam keadaan tidak seperti yang dimaksudkan Tuhan. Kejatuhan manusia tidak hanya merusak hubungan kita dengan Tuhan, tetapi juga struktur sosial, ekosistem, dan seluruh ciptaan. Ketika keadilan ilahi terganggu oleh tindakan manusia, kita melihat dampak buruk yang mengalir ke berbagai aspek kehidupan. Inilah sebabnya mengapa manusia menghadapi penderitaan, penyakit, bencana, dan ketidakadilan. Ketidakpastian dan kesedihan menjadi bagian dari eksistensi, membuat kita terpaksa merenungkan tujuan dan makna hidup di tengah kesulitan tersebut. Seiring waktu, kita bisa menemukan harapan untuk perbaikan melalui pengampunan dan penebusan, meskipun proses tersebut tidak selalu mudah dan seringkali menyakitkan.

“The Christian life is not a playground, it’s a battleground.” – Warren Wiersbe

Apa jawaban Alkitab untuk permasalah hidup yang dihadapi manusia?


1. Penyertaan Tuhan setiap kali kita menghadapi permasalahan dan penderitaan

Jawaban Allah tidak hanya logis, tetapi pribadi dan relasional: Allah hadir bersama umat-Nya, menuntun mereka dalam setiap langkah kehidupan, menawarkan perlindungan dan kasih sayang yang tak terbatas. Dalam setiap tantangan yang dihadapi, Dia selalu berada di sisi mereka, siap mendengarkan keluh kesah dan memberikan petunjuk yang diperlukan. Melalui pengalaman sehari-hari, umat-Nya merasakan kehadiran-Nya yang mendalam, yang memberikan kebangkitan semangat dan harapan, bahkan di saat-saat tersulit. Hubungan ini bukan sekadar yang transaksional, tetapi berkembang menjadi sebuah ikatan yang penuh kasih, di mana setiap doa dan kerinduan menemukan tempatnya dalam hati yang penuh cinta dari Sang Pencipta.

  • Mazmur 34:19 – “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati…”
  • Ibrani 4:15-16 – Kristus merasakan kelemahan dan penderitaan kita, dan karena itu kita “dapat menghampiri takhta kasih karunia dengan keberanian…”
  • Matius 28:20 – “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”

👉 Penyertaan Allah memberi kekuatan untuk menjalani hidup di dunia yang belum sempurna ini.


2. Penderitaan Tidak Dihapus Seketika, Tapi Diubah Menjadi Alat Anugerah

Meskipun Yesus telah menang atas dosa dan maut, dunia ini masih dalam proses pemulihan (sudah dan belum). Dalam masa ini, penderitaan dan tantangan terus dialami oleh banyak orang di berbagai belahan dunia, menciptakan keprihatinan dan kesedihan yang mendalam. Kita sering melihat bahwa meskipun harapan dan iman menjadi pendorong dalam menghadapi kesulitan, realitas kehidupan sehari-hari sering kali menantang keyakinan tersebut. Dalam proses pemulihan ini, komunitas sering kali berkumpul untuk saling mendukung, menciptakan ruang bagi penghiburan dan persatuan yang membuat kita lebih kuat dalam menjalani perjalanan iman kita.

  • Membentuk karakter (Roma 5:3-5)
  • Menghasilkan pengharapan yang tidak mengecewakan
  • Memurnikan iman (1 Petrus 1:6-7)
  • Membuat kita mendekat kepada Kristus (2 Korintus 1:9; 12:9)

Penderitaan tidak selalu masuk akal, tetapi dalam tangan Allah, tidak ada penderitaan yang sia-sia. Dalam perjalanan hidup ini, kita sering menghadapi tantangan yang tampaknya tidak adil dan sulit dimengerti. Namun, saat kita meletakkan kepercayaan kita kepada-Nya, kita mulai menyadari bahwa setiap cobaan dan rasa sakit yang kita alami memiliki tujuan yang lebih besar. Setiap tetes air mata, setiap rasa sakit dalam hati kita, semuanya bekerja dalam rencana yang lebih agung yang mungkin belum bisa kita lihat sekarang. Melalui penderitaan, kita tumbuh, belajar, dan diperkuat, menjadikan kita lebih dekat pada-Nya dan memberikan kita kapasitas untuk menghibur orang lain yang juga berada dalam kesulitan.


3. Pemulihan dan Pengharapan Masa Depan (Eskalasi Eskatologis)

Alkitab menawarkan pengharapan akan ciptaan baru:

  • Wahyu 21:1,4-5 – “Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru… dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka…”
  • Roma 8:22-23 – “Kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin… sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu penebusan tubuh kita.”

👉 Harapan Kristen tidak berakhir di dunia yang rusak ini. Ada janji akan langit dan bumi yang baru, di mana tidak ada lagi penderitaan, ketidakadilan, atau maut. Ini adalah pengharapan kosmis: bahwa suatu hari seluruh ciptaan akan dipulihkan—bebas dari kutuk, penderitaan, dan ketidakadilan.


3. Keraguan: Pergumulan Iman yang Belum Sempurna

Markus 9:24“Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!”

Ketidaksempurnaan manusia akibat dosa juga menyebabkan iman dan pemahaman kita kepada Tuhan tidak sempurna. Keraguan (apistia) tidak selalu sama dengan ketidakpercayaan yang membangkang; seringkali, keraguan justru mencerminkan perjalanan spiritual yang kompleks. Dalam banyak kasus, keraguan muncul dari iman yang sedang berjuang di tengah realita yang tidak sesuai harapan. Kita dapat merasa terjebak antara kebenaran yang kita yakini dan kenyataan yang kita hadapi, menimbulkan ketegangan dalam diri kita.

Teologi Reformasi mengakui bahwa iman bukan selalu dalam bentuk “penuh api”—tetapi iman yang sejati tetap berpaling kepada Tuhan, sekalipun dengan air mata. Bahkan dalam momen-momen kelam, di mana senyum seolah menghilang dari wajah kita, iman kita dapat berfungsi sebagai jangkar yang mempertahankan kita di tengah badai keraguan. Dengan mengakui ketidakpastian dan mencari pengertian, kita menemukan bahwa keraguan bukanlah akhir dari iman, tetapi bagian integral dari perjalanan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kasih dan kedaulatan Tuhan.

John Calvin mengatakan: “Surely, while we teach that faith ought to be certain and assured, we cannot imagine any certainty that is not tinged with doubt, or any assurance that is not assailed by some anxiety.”Institutes, III.2.17

Keraguan yang dibawa ke hadapan Tuhan justru bisa menjadi jalan menuju kedewasaan rohani. Mazmur penuh dengan seruan para pemazmur yang mengalami keraguan, namun terus berpaling kepada Tuhan. Ketidaksempurnaan iman tidak membatalkan nilai iman itu—yang penting adalah kepada siapa iman itu diarahkan.


1. Tuhan Mengerti dan Menampung Iman yang Lemah

Keraguan tidak langsung ditolak atau dikutuk oleh Tuhan—justru Tuhan menyambut dan menguatkan mereka yang bergumul, memberikan mereka kekuatan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan hidup. Dalam perjalanan iman, keraguan sering kali menjadi bagian tak terpisahkan, memicu pertanyaan yang dalam dan pencarian makna yang lebih luas. Dengan adanya keraguan, individu dipanggil untuk merenung dan mencari jawaban yang lebih dalam, yang pada akhirnya membawa mereka lebih dekat kepada-Nya. Tuhan mengerti bahwa keraguan adalah bagian dari perjalanan spiritual, dan melalui proses ini, Dia menuntun umat-Nya untuk menemukan keyakinan yang lebih kuat dan hubungan yang lebih intim dengan-Nya.

  • Markus 9:24 – “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!”
    👉 Doa dari ayah yang anaknya sakit ini menunjukkan iman yang tidak sempurna. Namun Yesus tidak mencela dia, melainkan menjawab dengan belas kasihan.
  • Mazmur 73:2-3 – “Tetapi aku, sedikit lagi maka kakiku terpleset… sebab aku cemburu kepada pembual-pembual…”
    👉 Pemazmur jujur mengungkapkan rasa iri dan keraguannya terhadap keadilan Allah. Tapi ia tidak meninggalkan Tuhan—ia datang ke hadirat-Nya (ayat 17) dan mendapat pencerahan.

2. Iman yang Bertahan di Tengah Keraguan Tetap Dihargai

Iman sejati bukan iman yang selalu kuat, melainkan iman yang bertahan dan tetap berpaling kepada Allah, meski lemah. Iman tersebut adalah peneguh jiwa di saat-kala sulit, ketika cobaan dan tantangan datang silih berganti. Dengan ketulusan hati, seseorang yang beriman akan selalu berusaha untuk kembali kepada-Nya, mencari petunjuk dan kekuatan dari-Nya. Dalam keadaan lemah, ketidakpastian yang melanda tidak akan mengubah keyakinan bahwa Allah selalu ada untuk mendengarkan doa dan keluh kesah. Bahkan, dalam saat-saat kelam, iman menjadi cahaya yang menerangi jalan, mengingatkan kita akan pentingnya bersandar kepada-Nya dan bersabar menghadapi setiap ujian yang dihadapi.

  • Ibrani 11:1 – “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.”
    👉 Iman tidak selalu berarti melihat jelas. Sering kali itu berarti berjalan dalam kabut, tetap percaya walau tidak mengerti.
  • Yesaya 42:3 – “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya…”
    👉 Ini menunjukkan hati Tuhan kepada orang yang rapuh dan lelah, termasuk dalam iman.

3. Keraguan Dapat Menjadi Jalan Menuju Iman yang Lebih Dalam

Keraguan, bila dihadapi dengan jujur dan dibawa ke hadirat Tuhan, bisa menjadi jembatan menuju pengenalan Allah yang lebih dalam.

  • Yohanes 20:27-29 – Kisah Tomas yang meragukan kebangkitan Yesus. Namun Yesus menampakkan diri kepada Tomas, tidak untuk menghukum, tetapi untuk memperkuat imannya.
    👉 Dan dari situ lahirlah pengakuan iman yang kuat: “Ya Tuhanku dan Allahku!”
  • Mazmur 13:1-2 – “Berapa lama lagi, TUHAN, Engkau lupakan aku terus-menerus?…”
    👉 Ini adalah bentuk doa penuh frustrasi, namun tetap doa. Keraguan menjadi bagian dari relasi, bukan pengingkaran.

4. Jawaban Akhir Bukan dalam Pengetahuan, Tetapi dalam Pribadi Kristus

Keraguan sering kali muncul dari realita yang tidak sesuai harapan. Tetapi jawaban Tuhan bukan hanya penjelasan logis—melainkan diri-Nya sendiri.

  • Ayub 38–42 – Ayub mempertanyakan keadilan Tuhan. Tapi jawaban Allah adalah penyingkapan siapa Dia, bukan alasan rinci. Dan Ayub berkata, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayub 42:5).

👉 Kadang, keraguan membawa kita ke tempat terdalam di mana kita tidak lagi mencari jawaban, tetapi hadirat Allah sendiri.


Keraguan bukan dosa, selama ia dibawa kepada Tuhan. Iman sejati bukanlah ketiadaan keraguan, melainkan tetap berpaut pada Tuhan meski dalam keraguan.

“Faith is a living, daring confidence in God’s grace, so sure and certain that a man could stake his life on it a thousand times.” Martin Luther


4. Kegelisahan: Akibat Jiwa yang Terpisah dari Sumber Damai

Filipi 4:6–7“Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apa pun juga…”

Salah satu ketidak sempurnaan akibat dunia yang terkontaminasi dosa adalah kegelisahan jiwa selama hidup manusia di muka bumi. Kegelisahan ini sering kali muncul sebagai hasil dari berbagai tantangan dan penderitaan yang dihadapi individu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam usaha mencari makna dan tujuan hidup, banyak orang merasa terjebak dalam kesedihan dan kekecewaan yang berkelanjutan. Ketidakpastian akan masa depan dan hilangnya nilai-nilai moral juga berkontribusi pada rasa gelisah ini, memaksa setiap orang untuk merenungkan kembali keputusan dan langkah yang telah diambil.

📖 1. Kegelisahan Jiwa: Buah dari Kejatuhan dan Keterpisahan dari Allah

Kejadian 3:8-10 “Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah… mereka menyembunyikan diri…”

Kejatuhan manusia menyebabkan keterputusan relasi dengan Allah, dan dari sinilah kegelisahan eksistensial dimulai. Manusia tidak lagi berada dalam shalom—kedamaian menyeluruh yang seharusnya menjadi bagian dari ciptaan sempurna.
👉 Akibat dosa, manusia kehilangan pusatnya—Allah—dan mulai merasa kosong, terancam, dan tidak utuh. Dalam keadaan ini, rasa kehilangan yang mendalam mengganggu jiwa dan pikiran, menimbulkan keraguan akan arti hidup dan tujuan yang lebih besar. Setiap individu mencurahkan usaha untuk mengisi kekosongan itu, namun seringkali menemukan bahwa pencarian tersebut membawa mereka ke jalan yang salah, menambah rasa sakit dan kebingungan yang ada. Ketidakmampuan untuk merasakan kehadiran Ilahi dalam hidup sehari-hari hanya memperburuk keadaan, membuat manusia semakin merasa terasing dan terjebak dalam labirin eksistensi tanpa arah.

Kegelisahan (merimnao – kata Yunani untuk kekhawatiran) menggambarkan jiwa yang tercerai-berai, tidak utuh. Dalam Kitab Suci, damai sejahtera sejati bukan sekadar emosi, melainkan hasil dari rekonsiliasi dengan Allah (Roma 5:1). Dalam kondisi terpisah dari Allah, manusia akan selalu gelisah.


🧠 2. Kegelisahan sebagai Tanda bahwa Jiwa Manusia Diciptakan untuk Allah

Agustinus dari Hippo: “Engkau telah menciptakan kami bagi-Mu, ya Allah, dan hati kami gelisah sebelum beristirahat di dalam Engkau.”

Ini adalah inti dari teologi eksistensial Kristen: kegelisahan adalah bukti bahwa manusia tidak akan pernah puas oleh dunia ini. Kita diciptakan untuk relasi dengan Allah, dan selama relasi itu belum dipulihkan, jiwa akan terus meronta. Dalam teologi Perjanjian Baru, orang percaya sudah diselamatkan, namun belum mengalami kepenuhan pemulihan itu secara sempurna (already and not yet). Ini menciptakan ketegangan batin yang nyata.

2 Korintus 5:2 – “Selama kita di dalam kemah ini, kita mengeluh, rindu mengenakan tempat kediaman sorgawi yang dari sorga.”
👉 Bahkan Paulus mengakui bahwa hidup dalam tubuh ini sering kali membawa kerinduan, kelemahan, dan kegelisahan.

  • Pengkhotbah 3:11 – “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan keabadian dalam hati mereka…”
    👉 Ada kerinduan dalam diri manusia untuk sesuatu yang kekal, luhur, dan bermakna, yang dunia fana ini tidak bisa penuhi.

😔 3. Kegelisahan yang Diperparah oleh Dunia yang Rusak dan Moralitas yang Tergelincir

Dunia pasca-kejatuhan bukan hanya rusak secara spiritual, tetapi juga secara sosial, moral, dan struktural:

  • Nilai-nilai moral runtuh (Yesaya 5:20 – “Celakalah mereka yang menyebut yang jahat itu baik, dan yang baik itu jahat!”).
  • Ketidakadilan dan ketidakpastian ekonomi dan sosial menciptakan rasa tidak aman.
  • Mazmur 42:6 – “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku?”

👉 Kegelisahan ini bersifat menyeluruh, menyentuh pikiran, hati, dan tindakan manusia. Bahkan orang percaya pun tidak kebal terhadap kegelisahan ini, karena mereka masih hidup dalam dunia yang belum dipulihkan sepenuhnya.

Meskipun orang Kristen sudah dibenarkan oleh iman dan diperdamaikan dengan Allah melalui Kristus (Roma 5:1), mereka masih hidup di tengah dunia yang rusak, dan karena itu masih rentan terhadap kegelisahan, ketakutan, dan tekanan batin. Tapi penting untuk dipahami: kegelisahan orang percaya bersifat berbeda dari kegelisahan orang yang tidak memiliki pengharapan.

Augustinus: “Engkau telah menciptakan kami untuk-Mu, ya Tuhan, dan hati kami gelisah sampai ia beristirahat di dalam Engkau.”Confessions, I.1

Apa jawaban Alkitab atas kegelisahan ini?

1. Kegelisahan adalah Tanda bahwa Kita Diciptakan untuk Allah

Kegelisahan jiwa menunjukkan bahwa jiwa manusia tidak akan pernah puas dengan dunia ini saja, karena setiap pencarian materi dan kesenangan duniawi pada akhirnya akan terasa hampa. Dalam perjalanan hidup, individu sering kali merasakan pengharapan dan ketidakpuasan yang mendalam, seolah ada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih bermakna dari sekadar pemenuhan kebutuhan fisik. Hal ini mengarah pada pencarian spiritual yang lebih dalam, di mana jiwa merindukan kedamaian dan tujuan yang sejati, bukan hanya kenikmatan sesaat. Dengan demikian, pencarian ini menjadi sebuah perjalanan yang membawa kita untuk menyelami makna kehidupan yang lebih universal dan abadi.

  • Pengkhotbah 3:11 – “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.” Dalam perjalanan hidup kita, sering kali kita dihadapkan dengan berbagai tantangan dan pencarian makna.
    👉 Kita merindukan sesuatu yang lebih besar daripada dunia ini, dan kegelisahan itu mendorong kita untuk mencari Sang Pencipta. Ketika kita memahami adanya kekekalan dalam diri kita, kita mulai menyadari bahwa hidup ini hanya sementara, dan terdapat sesuatu yang lebih dalam dan abadi menunggu untuk ditemukan.

Agustinus, Bapa Gereja: “Engkau telah menciptakan kami untuk diri-Mu, ya Tuhan, dan hati kami gelisah sampai ia menemukan perhentian di dalam Engkau.”


2. Yesus Menawarkan Damai Sejati kepada Jiwa yang Gelisah

Yesus tahu bahwa dunia yang penuh ketidakpastian akan membuat hati manusia gelisah, dan Ia datang bukan hanya untuk menyelamatkan roh, tetapi juga memberi ketenangan kepada jiwa.

  • Matius 11:28-29 – “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu… jiwamu akan mendapat ketenangan.”
    👉 Solusi Alkitab bukan pelarian dari realita, tapi undangan untuk datang kepada Yesus dan belajar dari-Nya. Dalam setiap langkah kehidupan yang penuh tantangan dan kesulitan ini, kita diingatkan untuk selalu mengandalkan-Nya dan menemukan kekuatan dalam ajaran-Nya, sehingga kita dapat menghadapi setiap masalah dengan penuh ketenangan dan harapan.
  • Yohanes 14:27 – “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu… bukan seperti yang diberikan oleh dunia.”
    👉 Dunia menawarkan hiburan yang bersifat sementara dan seringkali menipu, tapi hanya Yesus yang memberikan damai sejati, bahkan di tengah badai kehidupan yang penuh tantangan dan kesedihan. Saat kita mencari ketenangan dalam diri-Nya, kita menemukan bahwa damai-Nya melampaui segala pengertian, mengisi hati kita dengan harapan dan sukacita yang tak tergoyahkan.

Penutup: Ketidaksempurnaan yang Mengarahkan kepada Kesempurnaan Kristus

Empat hal ini—pencobaan, masalah, keraguan, dan kegelisahan—adalah bagian tak terhindarkan dari kondisi manusia yang hidup di antara kejatuhan dan pemulihan. Namun semuanya juga adalah alat Tuhan untuk membawa kita kepada salib, di mana kita menemukan kasih karunia, kekuatan, pengharapan, dan damai sejati dalam Kristus.

“God whispers to us in our pleasures, speaks in our conscience, but shouts in our pain: it is His megaphone to rouse a deaf world.” – C.S. Lewis

Ketidaksempurnaan dunia menjeritkan satu kebenaran: kita butuh Juruselamat. Dalam setiap sudut kehidupan, kita menyaksikan penderitaan, ketidakadilan, dan kesedihan yang seolah tiada henti. Namun, puji Tuhan, dalam Kristus kita tidak hanya mendapatkan penghiburan yang tulus, tetapi juga janji yang kuat akan kesempurnaan yang akan datang. Janji ini memberi kita harapan di tengah kegelapan, kekuatan untuk menghadapi tantangan, dan keyakinan bahwa segala sesuatu akan dipulihkan. Dengan mengandalkan Kristus, kita disuguhkan cahaya yang menerangi jalan kita dan tujuan yang lebih besar untuk diperjuangkan.


Tinggalkan komentar