Tentu! Berikut ini penjelasan lebih mendalam tentang bagaimana kita bisa memiliki keseimbangan yang sehat secara rohani dan emosional, yaitu tidak hidup dikendalikan oleh emosi, tetapi juga tidak mematikan emosi, melainkan menggunakan emosi sebagai alat untuk hidup yang memuliakan Tuhan.
1. Emosi Bukan Musuh, Tapi Juga Bukan Raja
Penjelasan:
Terlalu banyak orang Kristen jatuh dalam dua ekstrem:
- Menekan emosi, berpura-pura kuat dan rohani, padahal dalam hati sedang terluka atau marah.
- Mengikuti emosi, membiarkan perasaan mengatur pilihan hidup, bahkan mengabaikan kebenaran Alkitab demi kenyamanan emosi.
Kebenaran: emosi adalah pemberian Allah, tapi bukan untuk menguasai kita. Kita dipanggil untuk mengelola dan menundukkan emosi di bawah otoritas Kristus. Hal ini berarti kita harus belajar untuk mengenali emosi kita, memahami sumbernya, dan mengarahkan respons kita dengan bijak. Ketika kita menghadapi situasi yang menantang, penting untuk tidak membiarkan emosi seperti kemarahan, kecemasan, atau ketidakpuasan mengendalikan tindakan kita. Sebaliknya, kita harus mengandalkan hikmat Kristus dan ajaran-Nya untuk menavigasi perasaan kita, sehingga emosi bisa menjadi alat untuk pertumbuhan spiritual dan relasi yang lebih dalam dengan orang lain. Dengan demikian, kita dapat hidup sesuai dengan tujuan Allah dan mencerminkan kasih-Nya dalam setiap aspek kehidupan kita.
Contoh: Yesus marah saat melihat bait Allah disalahgunakan (Yohanes 2:13–17), tetapi itu adalah kemarahan yang benar dan terkendali, bukan kemarahan yang penuh dosa.
2. Emosi Harus Ditaklukkan kepada Tuhan
Mazmur 42:5 – “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah!”
Penjelasan:
Pemazmur mengajarkan cara menyeimbangkan emosi: bukan dengan menyangkal kesedihan atau kecemasan, tetapi dengan berbicara kepada diri sendiri berdasarkan kebenaran, yang melibatkan refleksi mendalam tentang perasaan yang dialami dan bagaimana kita dapat menghadapinya dengan cara yang sehat. Dengan mengakui emosi kita, kita memberi ruang bagi diri kita untuk merasakan, merenung, dan akhirnya berkembang. Ketidakpastian dan ketakutan sering kali muncul dalam hidup kita, namun dengan berpegang pada kebenaran dan kenyataan yang ada, kita dapat menemukan ketenangan dalam badai emosi. Proses ini memperkuat koneksi antara pikiran dan hati, memberi kita kekuatan untuk menghadapi tantangan dengan penuh keyakinan dan harapan di masa depan.
Ini adalah disiplin rohani:
menundukkan perasaan di bawah kebenaran Firman.
Praktis:
- Saat hati kecewa, tanyakan: Apa yang Tuhan katakan tentang harapan dan masa depanku? Ingatlah bahwa dalam setiap kesulitan ada pelajaran berharga yang bisa diambil, dan dengan iman serta keyakinan, kita dapat menemukan jalan menuju masa depan yang lebih baik.
- Saat takut, renungkan: Apakah Tuhan tidak berjanji menyertai dan menguatkan? (Yes. 41:10) Dalam setiap langkah kita, Dia selalu mendampingi kita, memberi keberanian dan dukungan yang kita perlukan untuk menghadapi tantangan dalam hidup.
3. Kebenaran Alkitab Menjadi Filter untuk Emosi
Yohanes 17:17 – “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran.”
Penjelasan:
Firman Tuhan berfungsi seperti filter air: menyaring racun (emosi berdosa) dan menjaga yang murni (emosi yang benar). Dengan demikian, Firman Tuhan membantu kita untuk mengenali dan melepaskan perasaan negatif yang dapat merusak jiwa dan hubungan kita dengan orang lain. Dalam proses ini, kita diajak untuk lebih memahami diri sendiri dan membangun karakter yang sesuai dengan ajaran-Nya. Selain itu, Firman Tuhan menawarkan panduan yang jelas tentang bagaimana kita harus bertindak dalam situasi sulit, sehingga kita dapat menghadapi tantangan hidup dengan ketenangan dan kebijaksanaan.
Misalnya: Perasaan marah bisa memunculkan dendam, tetapi Firman berkata: “Jangan membalas, serahkan kepada murka Allah” (Roma 12:19).
Langkah praktis:
- Catat perasaan yang sedang kamu alami, baik itu kegembiraan, kesedihan, atau perasaan lainnya, sehingga kamu dapat memahami dirimu dengan lebih baik.
- Tanyakan: Apakah ini sesuai dengan Firman Tuhan yang telah diajarkan dan disampaikan kepada kita semua?
- Doakan dan minta Roh Kudus menyelaraskan perasaanmu dengan kebenaran agar setiap aspek hidupmu, dari pikiran hingga tindakan, selaras dengan tujuan yang lebih tinggi dan dalam harmoni dengan ajaran-Nya.
4. Roh Kudus Membentuk Emosi yang KuduS
Galatia 5:22-23 – “Buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera…”
Penjelasan:
Roh Kudus tidak hanya mengubah pikiran kita, tapi juga memurnikan perasaan kita—membentuk emosi yang berasal dari kasih Allah, bukan dari ego atau luka masa lalu. Dengan kehadiran-Nya yang penuh kasih, kita diberdayakan untuk melepaskan diri dari ketidakpastian dan kecemasan, sehingga hati kita dipenuhi dengan damai yang melampaui segala pengertian. Roh Kudus juga membimbing kita dalam memahami cinta Tuhan yang tulus, mengajarkan kita untuk menerapkan kasih itu dalam hubungan kita sehari-hari, dan menjadikan kita alat kasih yang efektif bagi orang di sekitar kita. Ketika kita membuka diri terhadap bimbingan-Nya, kita belajar untuk merasakan empati, pengertian, dan pengampunan, yang menumbuhkan hubungan yang lebih dalam dengan sesama dan dengan Sang Pencipta.
Sukacita, damai, kesabaran—semua itu adalah emosi yang sehat yang ditumbuhkan oleh Roh, bukan oleh situasi.
5. Kendalikan Emosi Tanpa Menekan Perasaan
2 Timotius 1:7 – “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kuasa, kasih dan ketertiban (penguasaan diri).”
Penjelasan:
Penguasaan diri adalah buah Roh, bukan hasil disiplin pribadi semata. Ini adalah kemampuan untuk mengatur respons emosional kita dengan bijaksana dan sesuai kehendak Tuhan, yang memungkinkan kita untuk menghadapi tantangan hidup dengan ketenangan dan kebijaksanaan. Dalam setiap situasi yang menuntut reaksi cepat, penguasaan diri membantu kita menjaga pandangan yang jelas dan menjawab dengan cara yang konstruktif. Ketika kita berkembang dalam penguasaan diri, kita bukan hanya memenuhi kehendak Tuhan lebih baik, tetapi juga memberi dampak positif pada orang-orang di sekitar kita, menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan mendukung. Dengan demikian, penguasaan diri menjadi alat yang vital dalam perjalanan spiritual kita, membantu kita tumbuh dalam iman dan karakter.
Keseimbangan yang sehat:
- Boleh marah, tapi jangan berdosa (Efesus 4:26). Setiap orang berhak merasakan emosi, tetapi penting untuk mengelola kemarahan dengan bijak agar tidak terjerumus ke dalam tindakan yang salah.
- Boleh sedih, tapi tetap berharap (1 Tesalonika 4:13). Dalam masa-masa sukar, adalah wajar untuk merasakan kesedihan, tetapi kita harus ingat bahwa harapan adalah cahaya yang selalu ada, memberi kita kekuatan untuk terus melangkah maju dan menghadapi hari-hari yang akan datang dengan penuh keyakinan.
- Boleh takut, tapi jangan menyerah (Mazmur 56:3-4). Dalam hidup ini, kita sering menghadapi tantangan yang membuat kita merasa cemas dan takut. Namun, penting untuk diingat bahwa rasa takut itu wajar. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menghadapi ketakutan tersebut dan tetap berjuang meskipun dalam keadaan sulit. Tuhan selalu menemani kita dan memberikan kekuatan untuk terus melangkah maju.
6. Gunakan Emosi untuk Mengasihi, Bukan UNTUK MEMANIPULASI
Roma 12:15 – “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis.”
Penjelasan:
Emosi yang ditundukkan kepada Tuhan dapat menjadi alat kasih dan pelayanan: ketika kita merendahkan hati dan menyerahkan perasaan kita, kita membuka diri untuk merasakan kasih yang lebih dalam. Dengan cara ini, kita tidak hanya belajar untuk mengasihi diri sendiri, tetapi juga orang lain sekitar kita. Ketika emosi kita diarahkan untuk melayani, kita dapat mengubah tantangan dan kesedihan menjadi kesempatan untuk memberikan dukungan kepada mereka yang membutuhkan. Dengan setiap tindakan kasih, kita menciptakan sebuah jembatan antar sesama, memperkuat ikatan kita dan menunjukkan bahwa cinta yang sejati berasal dari penyerahan kepada Tuhan.
- Empati dalam relasi sangat penting, karena dapat membantu kita memahami perasaan dan perspektif orang lain, menciptakan ikatan yang lebih kuat, serta membangun komunikasi yang lebih efektif dan penuh kepercayaan.
- Kepedulian dalam pelayanan adalah salah satu aspek penting yang harus selalu dijunjung tinggi oleh setiap individu yang terlibat dalam memberikan layanan kepada masyarakat.
- Sukacita dalam penyembahan, yang mengalir dari hati yang penuh syukur dan penghayatan akan kasih Tuhan, menuntun setiap langkah kita dalam kehidupan sehari-hari, memancarkan damai dan kebahagiaan di tengah tantangan yang kita hadapi.
- Semangat dalam melayani orang lain, dengan penuh dedikasi dan rasa empati yang mendalam, serta selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kebutuhan mereka.
Kesimpulan: Keseimbangan Emosi yang Alkitabiah
| Aspek | Penjelasan |
|---|---|
| Mengakui emosi | Jangan menyangkal atau menekan perasaan |
| Menilai emosi | Uji perasaan dengan Firman dan kebenaran Tuhan |
| Menyerahkan emosi | Bawa kepada Tuhan dalam doa, izinkan Roh Kudus bekerja |
| Mengendalikan emosi | Gunakan penguasaan diri, jangan bereaksi tanpa pertimbangan |
| Menggunakan emosi | Jadikan emosi sarana untuk mengasihi, melayani, dan memuliakan Tuhan |
Mengapa dalam kekristenan diajarkan bahwa hidup kita tidak boleh dikendalikan oleh emosi?
Pertanyaan ini sangat penting karena banyak orang—termasuk orang percaya—menjalani hidup berdasarkan perasaan dan bukan berdasarkan iman dan kebenaran. Dalam kekristenan, kita diajarkan bahwa hidup tidak boleh dikendalikan oleh emosi, bukan karena emosi itu jahat, tetapi karena emosi itu tidak selalu dapat dipercaya dan bisa membawa kita menjauh dari kehendak Tuhan jika tidak dikendalikan.
Berikut adalah penjelasan mengapa kekristenan mengajarkan hal ini, berdasarkan prinsip Alkitabiah:
1. Emosi Dapat Menipu dan Tidak Stabil
Yeremia 17:9 – “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”
Penjelasan:
Perasaan bisa berubah-ubah tergantung situasi, hormon, tekanan hidup, atau luka masa lalu. Terkadang, hal-hal kecil dapat memicu emosi yang kuat, membawa kita kembali ke kenangan yang menyakitkan atau memberi kita kebahagiaan yang tidak terduga. Dalam situasi tertentu, hormon seperti serotonin dan dopamine dapat mempengaruhi suasana hati kita, sementara tekanan hidup, seperti pekerjaan yang menumpuk atau masalah dalam hubungan, sering kali membuat kita merasa cemas atau stres. Selain itu, pengalaman traumatis dari masa lalu dapat terus menghantui dan memengaruhi cara kita merespons berbagai situasi saat ini. Oleh karena itu, penting untuk mengenali perubahan perasaan ini dan memahami bahwa setiap individu memiliki cara yang unik dalam menghadapi dan mengekspresikan emosinya.
Jika hidup dikendalikan oleh emosi:
- Hari ini kita mungkin mengasihi, besok membenci.
- Hari ini kita semangat, besok putus asa.
- Hari ini kita percaya, besok kita ragu dan takut.
Contoh-Contoh Hidup Mengikuti Perasaan yang Salah
1. Mengikuti Perasaan Cinta, Tapi Mengabaikan Firman Tuhan
- Situasi: Seseorang menjalin hubungan pacaran dengan orang yang belum percaya, karena merasa “jatuh cinta” dan yakin bisa mengubah pasangannya suatu hari nanti.
- Masalah: Perasaan cinta tidak boleh mengabaikan perintah Tuhan tentang “jangan berpasangan dengan orang yang tidak seiman” (2 Korintus 6:14).
- Akibat: Banyak yang akhirnya kompromi iman, menjauh dari gereja, atau hidup dalam konflik batin.
2. Marah yang Tidak Terkendalikan
- Situasi: Seseorang merasa tersinggung oleh rekan pelayanan dan membalas dengan kata-kata kasar atau memutus relasi.
- Masalah: Perasaan marah dibiarkan meledak tanpa dikendalikan oleh kasih atau pengampunan.
“Sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.” – Yakobus 1:20 - Akibat: Hubungan rusak, pelayanan terganggu, dan hati menjadi pahit.
3. Mengikuti Rasa Takut, Bukan Iman
- Situasi: Tuhan panggil seseorang untuk melayani atau menginjil, tetapi ia menolak karena merasa tidak mampu atau takut ditolak.
- Masalah: Rasa takut lebih besar dari kepercayaan kepada kuasa dan janji Tuhan.
- Akibat:Panggilan tidak digenapi, berkat dan pertumbuhan rohani terhambat.
4. Mengikuti Luka Masa Lalu Tanpa Pemulihan
- Situasi: Seseorang merasa sulit mempercayai orang lain karena trauma masa lalu—terus hidup dalam kecurigaan dan kepahitan, yang membuatnya merasa terasing dari orang-orang di sekitarnya dan menghambat kemampuannya untuk menjalin hubungan yang sehat dan memuaskan.
- Masalah: Membiarkan perasaan terluka membentuk identitas, bukan pemulihan dari Tuhan. Ketika kita terlalu fokus pada luka emosional, kita cenderung membiarkan pengalaman negatif tersebut menentukan siapa kita sebenarnya. Hal ini dapat menghambat proses penyembuhan dan menghalangi hubungan yang positif dengan diri sendiri dan orang lain. Kita perlu mencari cara untuk melepaskan identitas yang dibentuk oleh rasa sakit dan beralih kepada pemulihan yang datang dari iman dan keberanian untuk bangkit.
- Akibat: Kesepian yang mendalam, ketidakmampuan untuk membangun hubungan yang sehat dan berkelanjutan, serta menjauh dari kasih karunia yang seharusnya dapat memberikan dukungan dan penghiburan dalam hidup.
5. Merasa Tidak Layak, Lalu Menyerah dalam Dosa
- Situasi: Seseorang merasa sudah terlalu berdosa dan Tuhan pasti tidak mau menerima dirinya lagi. Dalam pandangannya, setiap kesalahan yang telah dilakukan terasa begitu berat, menyebabkan rasa putus asa yang mendalam. Meskipun ada harapan di dalam hati, keraguan menghantui setiap langkah, menciptakan ketakutan untuk mendekat kepada Tuhan yang seolah-olah sudah menutup pintu-Nya.
- Masalah: Hidup dalam rasa bersalah yang terus-menerus, tanpa percaya pada kasih dan pengampunan Tuhan (1 Yohanes 1:9). Banyak orang terjebak dalam perasaan ini, merasa bahwa mereka tidak layak menerima kasih-Nya, yang menyebabkan mereka menjauh dari-Nya dan menjadikan beban yang berat di dalam hidup mereka.
- Akibat: Menyerah, menjauh dari gereja, dan tetap hidup dalam keterikatan.
6. Mengikuti “Rasa Benar” Tanpa Menguji dengan Firman
- Situasi: Seseorang berkata, “Ini adalah kehendak Tuhan,” saat memutuskan untuk tidak meminta maaf setelah melakukan kesalahan.
- Contoh: Seseorang berpendapat bahwa Tuhan telah memaafkannya, sehingga ia merasa tidak perlu meminta maaf kepada orang yang ia sakiti, padahal Alkitab mengajarkan pentingnya pengakuan dan pertobatan.
- Masalah: Perasaan dijadikan kompas, bukan Firman Tuhan. Banyak orang Kristen berkata, “Saya merasa damai,” tetapi keputusan mereka ternyata tidak sejalan dengan kebenaran yang terdapat dalam Alkitab. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan dan kesesatan dalam mengambil langkah hidup yang benar, terutama ketika firman Tuhan secara jelas memberikan petunjuk yang harus diikuti.
- Akibat: Kebingungan rohani, keputusan yang salah, dan hati yang tertipu.
2. Kita Dipanggil untuk Hidup dalam Iman, Bukan dalam Perasaan
2 Korintus 5:7 – “Sebab hidup kami ini adalah hidup karena iman, bukan karena penglihatan.”
Ibrani 11:1 – “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.”
Penjelasan:
Iman bersandar pada Firman Tuhan, bukan pada apa yang kita rasakan atau lihat. Jika kita hanya menuruti perasaan, kita bisa menjadi tidak taat, mudah kecewa, dan tidak setia. Oleh karena itu, penting untuk kita selalu kembali kepada ajaran Tuhan yang menjadi landasan hidup kita. Dengan mengandalkan Firman-Nya, kita dapat mengatasi setiap tekanan dan ujian yang mungkin kita hadapi. Iman yang kuat membantu kita untuk tetap teguh dalam keyakinan, meskipun situasi di sekitar kita tidak mendukung. Dalam perjalanan hidup ini, marilah kita senantiasa menjaga hubungan kita dengan Tuhan dan membiarkan Firman-Nya membimbing langkah-langkah kita setiap hari.
Contoh:
- Kita tetap mengampuni walau tidak merasa ingin mengampuni, karena mengampuni adalah suatu kebaikan yang membawa kedamaian bagi diri sendiri dan orang lain yang terlibat dalam konflik tersebut.
- Kita tetap bersyukur walau hati sedang sedih, karena setiap tantangan yang kita hadapi membawa pelajaran berharga dan kesempatan untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
- Kita tetap berdoa walau tidak merasa dekat dengan Tuhan, karena kita percaya bahwa doa adalah jembatan yang menghubungkan hati kita dengan-Nya, memberi kita kekuatan dan pengharapan meskipun dalam keadaan sulit dan penuh keraguan.
Ini adalah hidup yang memuliakan Tuhan, bukan hidup yang dikendalikan oleh emosi. Ketika kita bersandar pada keyakinan dan iman kita, kita dapat menemukan kekuatan dan ketenangan meskipun dalam situasi sulit. Dengan menjadikan Tuhan sebagai pusat dari setiap langkah dan keputusan kita, kita belajar untuk menghadapi tantangan hidup dengan bijak dan penuh kasih.
3. Emosi Daging Bisa Membawa pada Dosa
Yakobus 1:20 – “Sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.”
Galatia 5:19–21 – Daftar perbuatan daging (termasuk iri hati, amarah, perselisihan) yang berasal dari emosi tidak dikendalikan.
Penjelasan:
Banyak dosa lahir dari emosi yang tidak dikendalikan, seperti:
- Amarah yang berujung kekerasan, sering kali muncul sebagai hasil dari penumpukan emosi yang tidak terkelola, dan dapat menyebabkan konsekuensi yang serius baik bagi individu yang terlibat maupun bagi masyarakat secara keseluruhan.
- Iri hati yang melahirkan persaingan dan fitnah, sering kali mengakibatkan perpecahan di antara teman-teman, keluarga, dan bahkan rekan kerja, sehingga menciptakan suasana yang tidak harmonis dan penuh ketegangan.
- Takut yang membuat orang tidak taat atau menyangkal iman, sering kali datang dari tekanan sosial, ketidakpastian masa depan, atau pengalaman pribadi yang menyakitkan, sehingga membuat mereka ragu dan jauh dari keyakinan yang selama ini dianut.
Tuhan menghendaki kita menguasai emosi, bukan diperbudak olehnya. Emosi adalah bagian penting dari pengalaman manusia, tetapi bila kita tidak mampu mengendalikannya, emosi tersebut dapat membawa kita ke dalam situasi yang tidak diinginkan dan mengganggu keseimbangan hidup.
4. Penguasaan Diri adalah Buah Roh Kudus
Galatia 5:22–23 – “Buah Roh ialah… penguasaan diri.”
Penjelasan:
Penguasaan diri adalah tanda bahwa Roh Kudus bekerja dalam diri seseorang, menunjukkan bahwa kita dapat mengendalikan emosi dan reaksi kita dalam berbagai situasi.
Jika hidup dikendalikan oleh emosi, seperti kemarahan atau kesedihan ekstrem, itu berarti kita masih hidup menurut daging, bukan dipimpin oleh Roh; hal ini dapat mengakibatkan keputusan yang tidak bijaksana dan hubungan yang rusak.
5. Emosi yang Ditundukkan Bisa Dipakai untuk Kemuliaan Tuhan
Kita tidak mengabaikan emosi, tetapi menyelaraskannya dengan kehendak Tuhan. Dalam perjalanan hidup yang penuh tantangan ini, penting bagi kita untuk menyadari bahwa emosi adalah bagian alami dari pengalaman manusia. Namun, kita harus belajar untuk tidak membiarkan emosi tersebut menguasai tindakan dan keputusan kita. Dengan menyelaraskan emosi kita dengan kehendak Tuhan, kita dapat menemukan kedamaian dan kebijaksanaan dalam menghadapi segala situasi.
Contoh:
- Yesus marah terhadap ketidakadilan yang terjadi di lingkungan sekitar-Nya (Yoh. 2), tapi bukan dengan cara berdosa, melainkan dengan tindakan yang menunjukkan kepedulian dan keinginan untuk mengembalikan keadaan yang benar dan adil.
- Yesus menangis saat Lazarus mati (Yoh. 11), menunjukkan empati dan kasih. Tindakan ini menggambarkan kerentanan dan kedalaman perasaan yang dimiliki-Nya, yang membawa makna mendalam tentang hubungan-Nya dengan umat manusia, dan menjadi contoh bagi kita untuk menunjukkan kepedulian kepada orang lain yang berduka.
- Paulus sangat sedih melihat bangsanya belum percaya, tapi itu mendorongnya untuk terus memberitakan Injil (Rm. 9:2-3). Ia merasa beban yang berat di hatinya, menyaksikan banyak orang yang terjebak dalam keraguan dan ketidakpastian, namun dia tidak membiarkan perasaannya mematahkan semangatnya. Sebaliknya, kesedihannya justru menjadi sumber kekuatan yang memotivasi untuk lebih giat dalam menyampaikan pesan cinta dan keselamatan yang terkandung dalam Injil.
Kita perlu mengambil langkah berani untuk mengalihkan fokus kita dari kegalauan menuju harapan, menjadikan iman sebagai panduan dalam setiap langkah yang kita ambil.
Kesimpulan: Mengapa Kita Tidak Boleh Hidup Dikendalikan Emosi
| Alasan | Penjelasan |
|---|---|
| Emosi bisa menipu | Tidak semua yang kita rasakan benar dan dari Tuhan |
| Emosi berubah-ubah | Tuhan dan Firman-Nya tetap, itulah fondasi kita |
| Hidup harus berdasarkan iman | Taat meski tidak merasa |
| Emosi bisa mendorong dosa | Harus ditundukkan, bukan dibiarkan liar |
| Penguasaan diri adalah buah Roh | Tanda kehidupan yang dewasa secara rohani |
| Emosi dapat dipakai Tuhan | Jika ditundukkan dan diarahkan untuk kebaikan |