Kepemimpinan Yesus: Compassion – The Heart of Christ in Leadership

Tujuan Pembelajaran

Setelah mengikuti sesi ini, mahasiswa diharapkan dapat:

  1. Memahami dasar teologis dan etimologis dari belas kasihan (compassion) sebagaimana tercermin dalam kehidupan dan pelayanan Yesus.
  2. Mengidentifikasi perbedaan antara compassion dan sympathy dalam konteks kepemimpinan.
  3. Mengaplikasikan prinsip belas kasihan dalam konteks pelayanan gerejawi dan bisnis sebagai gaya hidup kepemimpinan yang meneladani Kristus.
  4. Mengembangkan sensitivitas spiritual dan sosial untuk melihat kebutuhan orang lain di balik penampilan luar.

I. Pendahuluan: Compassion sebagai Dimensi Esensial Kepemimpinan Kristen

Matius 9:36 — “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.”

Ayat ini menyingkap inti hati Yesus sebagai pemimpin: belas kasihan. Dalam konteks pelayanan dan kepemimpinan, compassion bukan sekadar perasaan iba, melainkan gerakan hati yang lahir dari kasih Allah dan diwujudkan dalam tindakan konkret untuk memulihkan manusia. Yesus memandang orang banyak bukan sebagai beban atau peluang popularitas, melainkan sebagai jiwa yang memerlukan arah dan pemulihan.

Dengan demikian, kepemimpinan Kristen sejati selalu dimulai dari hati yang tergerak oleh belas kasihan. Compassion adalah fondasi moral dan spiritual bagi pemimpin yang ingin mencerminkan karakter Kristus dalam konteks apa pun—baik di gereja maupun di dunia bisnis.

Kepemimpinan yang berbelas kasihan menolak egoisme yang berpusat pada “aku” dan bergerak menuju pelayanan yang berpusat pada “kita”. Di sinilah nilai-nilai Kerajaan Allah melawan nilai-nilai dunia yang mengagungkan pencapaian pribadi di atas kesejahteraan bersama.

Etimologi: Kata compassion berasal dari bahasa Latin compati, yang berarti “ikut menderita” (to suffer with). Artinya, belas kasihan bukan sekadar empati emosional, melainkan keterlibatan eksistensial terhadap penderitaan orang lain.

Definisi akademik: Compassion adalah respons aktif terhadap penderitaan orang lain, didorong oleh empati dan diwujudkan dalam tindakan konkret untuk memulihkan, menolong, dan memerdekakan mereka dari keadaan yang menekan.


II. Dasar Biblika: Yesus, Pemimpin yang Digerakkan oleh Belas Kasihan

1. Compassion sebagai Dorongan Pelayanan Yesus

Matius 9:36 – “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.”

Eksposisi:
Kata Yunani splanchnizomai (σπλαγχνίζομαι) berarti “tergerak hingga ke dalam batin.” Ini bukan sekadar emosi dangkal, melainkan gerakan batin yang melahirkan tindakan penyelamatan. Compassion dalam diri Yesus bukan respons sesaat, melainkan ekspresi karakter ilahi yang konsisten.

Implikasi teologis:
Yesus tidak bertindak karena ambisi, popularitas, atau rasa kasihan yang sentimental, melainkan karena kasih Allah yang menjelma dalam tindakan nyata. Ia melihat lebih dalam dari sekadar gejala lahiriah—Ia menembus sampai kepada kebutuhan terdalam manusia: pemulihan dan arah hidup.

Diskusi kelas: Bagaimana penerapan splanchnizomai — gerakan batin yang melahirkan tindakan penyelamatan — dapat menjadi prinsip operatif dalam kepemimpinan masa kini (baik dalam pelayanan maupun bisnis), sehingga keputusan dan tindakan pemimpin tidak digerakkan oleh ambisi pribadi atau tekanan eksternal, tetapi oleh kasih yang menebus sebagaimana diteladankan oleh Kristus?

2. Compassion yang Menghasilkan Tindakan

Matius 14:14 – “Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit.”

Matius 15:32 – “Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak itu… Aku tidak mau menyuruh mereka pulang dengan lapar…”

Analisis:
Setiap kali Injil menyebut Yesus “tergerak oleh belas kasihan,” tindakan konkret selalu menyusul—penyembuhan, pengajaran, atau pemberian makan. Compassion selalu menghasilkan transformative action.

“Compassion will always accomplish more than sympathy. Every time Jesus was moved with compassion, a miracle was about to happen.” — Brian Houston

Diskusi Kelas: Dalam konteks kepemimpinan gerejawi maupun bisnis, bagaimana kita dapat memastikan bahwa belas kasihan tidak berhenti pada empati emosional semata, tetapi diwujudkan dalam tindakan transformasional yang nyata — seperti yang dilakukan Yesus?


III. Studi Kasus Biblika: Orang Samaria yang Baik Hati (Lukas 10:30–37)

Perumpamaan ini muncul dalam konteks dialog Yesus dengan seorang ahli Taurat yang bertanya, “Dan siapakah sesamaku manusia?” (Luk. 10:29). Pertanyaan tersebut bukan sekadar permintaan klarifikasi etika, melainkan usaha mencari batas minimal kasih — “Siapa yang wajib saya kasihi?”. Namun Yesus membalikkan logika itu. Alih-alih mendefinisikan siapa yang layak dikasihi, Ia menantang pendengarnya untuk menjadi pribadi yang mengasihi tanpa batas.

A. Latar Sosio-Teologis

Jalan dari Yerusalem ke Yerikho dikenal sebagai rute berbahaya—menurun tajam, sepi, dan sering menjadi tempat perampokan. Dalam narasi ini, Yesus menghadirkan tiga tokoh yang mewakili tiga sikap kepemimpinan:

  1. Imam — mewakili religiositas tanpa belas kasihan.
  2. Lewi — mewakili pelayanan yang berhenti pada ritual, bukan relasi.
  3. Orang Samaria — mewakili kasih yang melampaui identitas, status, dan batasan sosial.

Secara historis, orang Samaria dipandang najis oleh orang Yahudi karena percampuran ras dan penyimpangan teologis mereka. Namun, dalam perumpamaan ini, Yesus menjadikan tokoh yang “tidak diharapkan” itu sebagai model kasih sejati. Dengan demikian, perumpamaan ini bersifat subversif: ia mengguncang eksklusivitas religius dan mengoreksi teologi kasih yang bersyarat.


B. Eksposisi Teks

Ayat 33: “Ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.”

Kata kerja Yunani yang digunakan adalah σπλαγχνίζομαι (splanchnizomai), sama seperti yang digunakan untuk menggambarkan perasaan batin Yesus dalam Injil-injil lain (Mat. 9:36; 14:14). Kata ini secara harfiah berarti “tergerak hingga ke kedalaman organ dalam” — metafora Ibrani untuk pusat kasih dan emosi terdalam manusia.

Implikasi teologis: Orang Samaria dalam kisah ini meniru hati Allah sendiri. Ia tidak memiliki status religius, tetapi memiliki hati yang memantulkan karakter Kristus — belas kasihan yang menembus struktur sosial dan doktrin. Compassion di sini bukan hasil dogma, melainkan hasil transformasi hati.

Ayat 34–35: “Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya… menaikkan orang itu ke atas keledainya… membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.”

Perhatikan urutan tindakan yang menunjukkan keterlibatan progresif:

  1. Melihat — tahap kesadaran moral (awareness).
  2. Mendekat — tahap keberanian menembus zona nyaman.
  3. Membalut luka — tahap tindakan nyata dan personal.
  4. Membawa ke penginapan dan membayar biaya — tahap tanggung jawab berkelanjutan.

Setiap langkah menuntut biaya: waktu, tenaga, sumber daya, dan bahkan reputasi. Orang Samaria melampaui sekadar “membantu” — ia mengadopsi beban orang lain seolah-olah miliknya sendiri. Inilah esensi compassionate leadership: kesediaan untuk menanggung beban orang lain demi pemulihan mereka.


C. Prinsip Kepemimpinan

  1. Belas Kasihan Menembus Sekat Sosial dan Identitas.
    Compassion sejati tidak ditentukan oleh kedekatan biologis, etnis, atau institusional, tetapi oleh kesediaan hati untuk melihat sesama sebagai gambar Allah. Dalam konteks kepemimpinan gerejawi, hal ini berarti melayani tanpa diskriminasi; dalam konteks bisnis, berarti membangun sistem dan budaya yang menghormati martabat setiap individu.
  2. Belas Kasihan Mengubah Reaksi Menjadi Respons.
    Imam dan Lewi “melihat dan berlalu” (ay. 31–32). Mereka memiliki persepsi, tetapi tidak memiliki partisipasi. Compassion mengubah seeing menjadi serving. Dalam kepemimpinan, banyak yang memiliki informasi, tetapi sedikit yang memiliki inisiatif. Orang Samaria menjadi teladan bagaimana empati harus memuncak dalam aksi.
  3. Belas Kasihan Melibatkan Risiko dan Komitmen.
    Orang Samaria berisiko diserang di jalan yang sama, kehilangan waktu dan uang, bahkan dicurigai oleh masyarakat Yahudi. Namun compassion tidak menimbang untung-rugi, melainkan taat kepada dorongan kasih. Dalam konteks bisnis, ini bisa berarti keputusan etis yang mengorbankan profit demi integritas; dalam pelayanan, mungkin berarti mengasihi orang yang sulit dikasihi.
  4. Belas Kasihan Mengandung Dimensi Penebusan.
    Orang Samaria mengambil posisi “penebus sementara”—membayar, menanggung, dan berjanji untuk kembali. Ini menjadi gambaran samar tentang karya Kristus yang menanggung penderitaan manusia. Dalam hal ini, compassion bukan hanya tindakan sosial, tetapi ekspresi teologi inkarnasi: Allah yang masuk ke dalam penderitaan manusia untuk menyembuhkan dan menebusnya.

D. Aplikasi Kontekstual: Kepemimpinan yang Berbelas Kasihan

KonteksBentuk Belas KasihanTantanganTindakan Transformasional
Pelayanan GerejawiMemperhatikan jemaat yang “jatuh di jalan” — mereka yang kecewa, tersakiti, atau kehilangan arah rohaniGodaan menjadi ritualistik tanpa relasiMengunjungi, mendoakan, memulihkan, menuntun kembali ke komunitas iman
Bisnis dan Organisasi
Memperhatikan pekerja yang tertekan, pelanggan yang tertinggal, atau komunitas yang terdampak
Tekanan efisiensi dan profitMengutamakan kesejahteraan manusia di atas target material
Kehidupan Pribadi PemimpinMenjadi kehadiran yang menyembuhkan di lingkungan sekitarEgoisme dan kelelahan emosionalMengembangkan kebiasaan mendengar, memperhatikan, dan memberi dengan tulus

Yesus menutup perumpamaan ini dengan perintah yang menuntut keputusan moral dan spiritual:

“Pergilah, dan perbuatlah demikian!” (Luk. 10:37)

Ini bukan sekadar panggilan untuk berbuat baik, melainkan ajakan untuk menjadi pribadi yang menghidupi belas kasihan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Compassion bukan reaksi insidental, tetapi gaya hidup yang lahir dari transformasi batin. Dalam kepemimpinan — baik di altar maupun di ruang rapat — belas kasihan bukan kelemahan, tetapi kekuatan moral yang menciptakan perubahan sejati.

“Love people, always! Love people, not things. Use things, not people.”


IV. Refleksi Teologis pada Konteks Kepemimpinan Modern

1. Dalam Pelayanan Gerejawi: Compassion sebagai Jiwa Pastoral

Ibrani 10:24 (BIS) — “Dan hendaklah kita saling memperhatikan, supaya kita dapat saling memberi dorongan untuk mengasihi sesama dan melakukan hal-hal yang baik.”

Dalam konteks pelayanan gerejawi, compassion merupakan inti dari kepemimpinan pastoral yang sejati. Pemimpin yang digerakkan oleh belas kasihan tidak menempatkan jabatan sebagai tujuan, melainkan sebagai sarana pemulihan bagi orang-orang yang dipercayakan kepadanya. Fokusnya bukan pada efisiensi organisasi semata, tetapi pada transformasi manusia. Ia memandang “domba yang terlantar” bukan sebagai beban yang menguras energi, melainkan sebagai kesempatan ilahi untuk memanifestasikan kasih Kristus secara nyata. Dalam paradigma ini, pelayanan tidak lagi dipahami sebagai aktivitas institusional, tetapi sebagai ekspresi kasih Allah yang aktif dan personal. Pemimpin yang berbelas kasihan tidak sekadar menyampaikan firman, melainkan juga menanggung pergumulan jemaatnya dalam doa, empati, dan pendampingan rohani. Ia hadir bukan sebagai manajer spiritual yang memimpin dari jauh, tetapi sebagai gembala yang berjalan bersama kawanan dombanya, memahami penderitaan mereka, dan menuntun mereka menuju pemulihan.

Secara teologis, compassion meniru pola inkarnasi Allah — Firman yang menjadi manusia dan hadir di tengah penderitaan (Yoh. 1:14). Inkarnasi bukan hanya peristiwa doktrinal, tetapi paradigma kepemimpinan yang menekankan kehadiran, kedekatan, dan pengorbanan. Kepemimpinan yang berbelas kasihan berarti menghadirkan kehadiran Allah dalam konteks manusiawi: menelusuri penderitaan, mendengar keluhan, dan menyentuh luka umat dengan kasih yang menyembuhkan. Dalam model ini, pemimpin tidak menjaga jarak demi menjaga citra rohaninya, melainkan turun ke tengah kehidupan umat sebagaimana Kristus turun ke dunia. Ia menghidupi theology of presence — teologi kehadiran yang menyatakan bahwa kasih Allah paling kuat bukan ketika diucapkan, tetapi ketika diwujudkan dalam kedekatan dan perhatian. Dengan demikian, compassionate leadership dalam gereja bukan sekadar strategi pastoral, melainkan bentuk partisipasi dalam misteri inkarnasi: menghadirkan kasih Allah yang menyentuh realitas manusia yang rapuh.

Implikasi praktis:

  • Pemimpin yang berbelas kasihan lebih tertarik membentuk karakter daripada mengatur perilaku.
  • Ia membangun attentive community, bukan sekadar organisasi fungsional.
  • Ia menilai keberhasilan pelayanan dari kedalaman pemulihan, bukan jumlah kehadiran.

Pertanyaan Diskusi Kelas: Bagaimana pemimpin gereja dapat menjaga keseimbangan antara efisiensi organisasi dan kedalaman belas kasihan pastoral, agar pelayanan tidak berubah menjadi sistem yang mengelola orang, tetapi tetap menjadi perjumpaan yang menyembuhkan jiwa?


2. Dalam Dunia Bisnis: Compassion sebagai Etika Kerajaan Allah

Roma 12:15 — “Bila ada orang lain bersukacita, bersukacitalah bersama mereka; bila ada yang sedih, bersedihlah bersama mereka.”

Dalam dunia bisnis modern yang sarat dengan tekanan kompetisi, efisiensi, dan orientasi laba, compassion sering disalahpahami sebagai kelemahan manajerial atau hambatan terhadap produktivitas. Namun, dari perspektif teologi kepemimpinan Kristen, compassion justru merupakan bentuk tertinggi dari kekuatan moral dan spiritual. Ia menandai kemampuan seorang pemimpin untuk melihat di balik angka dan sistem—melihat manusia sebagaimana Allah melihatnya. Compassion mengembalikan bisnis kepada fungsi teologisnya yang sejati: bukan sekadar alat akumulasi modal, melainkan sarana partisipasi dalam karya penebusan Allah di dunia. Melalui kasih yang diwujudkan dalam struktur, keputusan, dan kebijakan, bisnis menjadi ruang di mana nilai-nilai Kerajaan Allah—keadilan, kebenaran, dan belas kasihan—dapat hadir di tengah dinamika ekonomi global. Dalam pengertian ini, bisnis bukan sekadar aktivitas sekuler, tetapi bentuk pelayanan (diakonia) yang menyalurkan kasih dan keadilan Allah secara konkret dalam kehidupan sosial.

Bisnis yang dijalankan dengan belas kasihan melihat manusia bukan sebagai resources yang dapat dieksploitasi untuk mencapai tujuan finansial, tetapi sebagai pembawa gambar Allah (imago Dei) yang memiliki nilai dan martabat intrinsik. Prinsip “people over profit” bukanlah romantisme sosial atau idealisme utopis, melainkan ekspresi iman yang rasional dan redemptif—suatu pengakuan bahwa nilai seorang manusia tidak pernah dapat diukur oleh pasar, produktivitas, atau kinerja ekonomi. Ketika seorang pemimpin menempatkan kesejahteraan manusia sebagai inti dari keputusan bisnisnya, ia sedang menghidupi mandat penciptaan dan kasih penebusan Kristus secara bersamaan: menciptakan tatanan ekonomi yang adil dan memulihkan struktur sosial yang rusak. Dengan demikian, compassion menjadi kekuatan strategis yang tidak hanya menghasilkan keberlanjutan (sustainability), tetapi juga menghadirkan dimensi spiritual dalam ekonomi modern—menjadikan bisnis bukan sekadar profitable enterprise, tetapi redemptive enterprise.

Tiga bentuk nyata kepemimpinan berbelas kasihan dalam bisnis:

  1. Martabat manusia di atas produktivitas.
    Pemimpin menghormati keseimbangan hidup karyawan, menyediakan lingkungan kerja yang sehat, dan memperlakukan mereka dengan keadilan dan empati.
  2. Sistem yang adil dan transparan.
    Etika bisnis tidak dapat dipisahkan dari teologi kasih. Keadilan adalah bentuk kasih yang terstruktur.
  3. Redemptive Entrepreneurship.
    Bisnis menjadi alat misi: menciptakan lapangan kerja, memperjuangkan keadilan sosial, dan memulihkan komunitas yang terpinggirkan.

Compassion dalam bisnis bukan sekadar “membantu orang miskin,” tetapi mendesain sistem yang tidak memiskinkan.

Pernyataandi atas menyoroti pergeseran paradigma dari belas kasihan yang reaktif menuju belas kasihan yang transformatif dan struktural. Banyak praktik bisnis modern tampak dermawan di permukaan—melalui donasi, program CSR, atau kegiatan amal—namun tetap beroperasi dalam sistem ekonomi yang secara tidak sadar menciptakan dan mempertahankan ketimpangan. Sistem yang memiskinkan adalah struktur ekonomi, budaya, dan kebijakan internal perusahaan yang membuat sebagian orang terus berada dalam posisi tidak berdaya, meskipun mereka bekerja keras. Contohnya termasuk upah yang tidak layak, jam kerja berlebihan tanpa perlindungan sosial, monopoli pasar yang menekan produsen kecil, praktik rekrutmen eksploitatif, atau budaya korporasi yang mengutamakan efisiensi di atas kesejahteraan manusia. Dalam konteks global, sistem yang memiskinkan juga dapat berupa rantai pasok (supply chain) yang menindas tenaga kerja di negara berkembang demi mempertahankan harga murah dan margin tinggi bagi perusahaan besar.

Dengan demikian, compassionate business leadership menuntut lebih dari sekadar kemurahan hati personal; ia memerlukan keberanian struktural untuk menata ulang sistem agar adil, berkelanjutan, dan memuliakan martabat manusia. Pemimpin yang berbelas kasihan bertanya bukan hanya “Berapa banyak yang bisa saya sumbangkan?” tetapi “Apakah cara saya berbisnis menindas atau memberdayakan orang lain?”. Mendesain sistem yang tidak memiskinkan berarti menciptakan ekosistem ekonomi yang memberikan akses, peluang, dan nilai tambah bagi semua pihak—mulai dari pekerja hingga komunitas sekitar. Prinsip ini sejalan dengan mandat teologis dari Imago Dei dan shalom economics: setiap manusia diciptakan untuk berkembang, bukan sekadar bertahan hidup. Karena itu, belas kasihan sejati dalam bisnis bukanlah tindakan karitatif sesaat, tetapi pembangunan sistem yang menebus—sistem yang menyalurkan keadilan Allah melalui struktur ekonomi yang manusiawi dan berkeadilan sosial.

Pertanyaan Diskusi Kelas: Apakah mungkin mempraktikkan kepemimpinan berbelas kasihan di dunia bisnis tanpa kehilangan daya saing? Bagaimana prinsip “people over profit” dapat diterjemahkan menjadi strategi yang tetap relevan dan berkelanjutan secara ekonomi?


3. Dari Selfishness menuju Self-Giving: Spiritualitas Inkarnasional dalam Kepemimpinan

Amsal 14:31 — “Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia.”

Belas kasihan adalah antitesis dari egoisme. Dunia mengagungkan kekuasaan dan ambisi, tetapi Yesus menunjukkan bahwa kemuliaan sejati justru ditemukan dalam pengosongan diri (kenosis).

“Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” — Markus 10:43

Kepemimpinan sejati lahir dari kerelaan untuk memberi diri, bukan mencari kepentingan diri sendiri. Memberi diri dalam kasih (self-giving love) adalah bentuk tertinggi dari Christlikeness.
Dalam paradigma ini, keberhasilan bukan diukur oleh banyaknya orang yang mengikuti, melainkan oleh banyaknya orang yang dipulihkan.

Implikasi teologis:

  • Self-giving leadership adalah manifestasi kasih Allah yang menebus.
  • Pengorbanan bukan tanda kelemahan, tetapi jalan menuju otoritas moral.
  • Pemimpin yang mengasihi akan menolak menggunakan orang sebagai alat pencapaian tujuan; ia menjadikan tujuannya sebagai sarana mengasihi orang.

Pertanyaan Diskusi Kelas:
Bagaimana seorang pemimpin dapat memelihara hati yang self-giving di tengah tekanan ambisi, kompetisi, dan tuntutan hasil dalam dunia pelayanan maupun bisnis, tanpa kehilangan visi dan efektivitas kepemimpinannya?

Kepemimpinan yang berbelas kasihan adalah perwujudan konkret dari imago Christi — gambar Kristus yang hidup di tengah dunia. Baik di gereja maupun di pasar, compassion menjadi napas dari setiap keputusan dan arah strategis. Ketika belas kasihan memimpin, kekuasaan berubah menjadi pelayanan, dan kesuksesan berubah menjadi sarana bagi penyembuhan manusia dan pemulihan ciptaan.

Prinsip Akhir: Kepemimpinan yang tidak digerakkan oleh belas kasihan mungkin efektif secara teknis, tetapi mandul secara rohani. Compassion adalah bukti bahwa seorang pemimpin benar-benar telah melihat dengan mata Kristus dan bergerak dengan hati-Nya.


V. Aplikasi dan Diskusi

  1. Dalam konteks pelayanan Anda, kapan terakhir kali Anda benar-benar “tergerak oleh belas kasihan”? Apa bentuk tindak lanjutnya?
  2. Dalam konteks bisnis atau pekerjaan, bagaimana compassion dapat diwujudkan tanpa mengorbankan profesionalitas?
  3. Apa bahaya ketika kepemimpinan lebih digerakkan oleh selfish ambition daripada selfless compassion?

Latihan Praktis:

Tuliskan satu situasi nyata dalam lingkungan Anda (gereja, tim kerja, bisnis) di mana Anda melihat kebutuhan yang tidak terpenuhi.

  • Langkah 1: Identifikasi kebutuhan yang terlihat di permukaan.
  • Langkah 2: Renungkan kebutuhan batiniah di baliknya.
  • Langkah 3: Rancang satu tindakan nyata yang mencerminkan compassion Kristus.

VI. Penutup: Spiritualitas Belas Kasihan

Belas kasihan bukan strategi, melainkan spiritualitas. Ia adalah napas dari kepemimpinan Kristus—pemimpin yang tidak datang untuk dilayani, tetapi untuk melayani.

“Every time Jesus was moved with compassion, a miracle was about to happen.” — Brian Houston

Dalam setiap konteks — gereja atau pasar, altar atau kantor — compassion adalah tanda seorang pemimpin yang telah mengalami kasih Allah dan menyalurkannya kepada dunia.


Rangkuman

AspekCompassionate LeadershipSelfish Leadership
MotivasiDigerakkan oleh kasihDigerakkan oleh ambisi
OrientasiFokus pada orang lainFokus pada diri sendiri
Respon terhadap penderitaanTerlibat dan bertindakMenghindar dan menyalahkan
Buah kepemimpinanPemulihan, pertumbuhan, relasiKekeringan, manipulasi, isolasi

Tinggalkan komentar