Simon dari Kirene: Memikul Beban dengan Kehormatan

Matius 27:32; Markus 15:21; Lukas 23:26

“Ketika mereka membawa Yesus, mereka menahan seorang yang bernama Simon dari Kirene, yang baru datang dari luar kota, lalu diletakkan salib itu di atas bahunya, supaya dipikulnya sambil mengikuti Yesus.” (Lukas 23:26)

Pendahuluan: Momen Tak Terduga yang Mengubah Segalanya

Pernahkah Anda mengalami momen di mana hidup berubah dalam sekejap — bukan karena keputusan Anda, tetapi karena sesuatu yang tiba-tiba datang dan menuntut Anda untuk bertindak? Hari ini, kita akan melihat seorang pria asing dari Afrika Utara — Simon dari Kirene — yang hanya berniat merayakan Paskah, namun malah dipaksa memikul salib Yesus. Ia tidak tahu bahwa beban yang bukan miliknya itu akan menjadi momen paling berharga dalam hidupnya. Dalam kisah ini, Tuhan ingin berbicara kepada kita semua: tentang beban yang datang tiba-tiba, tentang tanggung jawab yang terasa tidak adil, dan tentang kasih yang mengubah penderitaan menjadi kehormatan. Siapkah kita belajar menjadi ‘Simon’ bagi dunia yang terluka hari ini?

Ketika Yesus tidak lagi sanggup memikul kayu salib-Nya karena luka dan siksaan, para serdadu Romawi memaksa seorang pria asing untuk memikulnya. Peristiwa ini tampak seperti penghinaan — namun sesungguhnya itu adalah sebuah kehormatan surgawi.


Poin I. Dipaksa, Tapi Dipilih: Dari Gangguan Menjadi Penugasan

Markus 15:21 — “Pada waktu itu lewat seorang yang bernama Simon, orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, yang baru datang dari luar kota, dan orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus.”

Simon berasal dari Kirene, sebuah kota besar dan penting di pesisir utara Afrika, yang kini termasuk wilayah Libya modern. Pada masa itu, Kirene adalah pusat budaya dan perdagangan yang ramai, dan memiliki komunitas Yahudi diaspora yang cukup besar. Banyak orang Yahudi dari wilayah seperti Kirene datang ke Yerusalem untuk merayakan hari-hari raya besar Yahudi, seperti Paskah, karena mereka masih memegang identitas keimanan mereka meskipun tinggal jauh dari Tanah Perjanjian.

Sebagai orang asing di Yerusalem, Simon mungkin mengalami stigma sosial dari orang Yahudi lokal. Ia bukan bagian dari komunitas utama, tetapi datang dari jauh untuk beribadah. Ironisnya, justru orang yang asing di mata masyarakat menjadi tokoh penting dalam kisah penderitaan Yesus — menggenapi prinsip Kerajaan Allah bahwa “yang terakhir akan menjadi yang terdahulu” (Matius 19:30).

Dalam Markus 15:21 dan Matius 27:32, digunakan kata Yunani ἀγγαρεύω (angareuō), yang berarti “dipaksa untuk tugas resmi oleh otoritas”. Istilah ini berasal dari praktik hukum Persia dan Romawi, di mana seorang petugas berwenang dapat memaksa warga biasa untuk membantu tugas negara yang mendesak. Praktik ini juga dijelaskan oleh Yesus dalam Matius 5:41, “Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.”

Artinya, Simon tidak sukarela memikul salib Yesus. Ia tidak mendekat karena rasa belas kasihan, melainkan karena otoritas militer Romawi memaksanya. Secara manusiawi, ia mungkin merasa malutakut, bahkan marah — dipermalukan di depan umum, disangka sebagai kriminal, dan dipaksa ikut dalam prosesi hukuman salib.

Namun justru dalam paksaan manusiaTuhan bekerja. Dalam kehinaan yang tampak, Tuhan sedang mengundang Simon untuk mengambil bagian dalam momen paling kudus dalam sejarah — jalan salib Kristus. Kita belajar bahwa Tuhan sering bekerja melalui peristiwa yang tidak kita undang dan tidak kita pahami.

“God speaks through what we call interruptions. What you think is an accident, heaven might call an assignment.” — Craig Groeschel

Terkadang Tuhan memakai paksaan hidup — tekanan, kesulitan, dan beban yang tak kita pilih — untuk membawa kita ke dalam perjumpaan ilahi yang akan mengubah kita dan keturunan kita selamanya. Tapi melalui hal itulah, hidup kita diubahkan dan kita dipakai untuk mengubah hidup orang lain.

Di sinilah kita belajar bahwa tidak semua hal yang tampak sebagai gangguan atau kebetulan dalam hidup kita adalah hal yang sepele. Bisa jadi itu adalah penugasan ilahi yang disamarkan sebagai peristiwa biasa. Kita harus mengembangkan kepekaan rohani untuk mengerti bahwa banyak perjumpaan yang tampak “kebetulan” sebenarnya adalah “penugasan” dari Tuhan. Apa yang tampak sebagai gangguan hari ini, bisa jadi adalah pintu ke dalam karya penebusan Allah.

Contoh:

  • Anda mungkin “kebetulan” duduk di sebelah orang yang patah hati di bus.
  • Anda “tidak sengaja” menerima telepon dari teman lama yang sedang berjuang.
  • Anda “dipaksa” mengurus keluarga yang membuat stres.

Dalam semua itu, jangan langsung melihat beban — lihatlah kemungkinan panggilan. Terkadang, tugas terpenting dalam hidup kita bukanlah hal yang kita rencanakan, melainkan hal yang Tuhan pertemukan kepada kita di tengah jalan.

“Sometimes the interruptions in your life are the very assignments God wrote into your story.”Priscilla Shirer


Poin II. Dari Dipermalukan Menjadi Diberkati: Beban yang Jadi Kehormatan

Lukas 23:26 — “…lalu diletakkan salib itu di atas bahunya, supaya dipikulnya sambil mengikuti Yesus.”

Bagi Simon dari Kirene, memikul salib Yesus bukanlah kehormatan yang ia cari — itu adalah beban yang dipaksakan.Dalam pandangan masyarakat saat itu, salib adalah simbol kehinaan. Salib bukan sekadar benda berat secara fisik, tetapi beban sosial dan stigma kehancuran moral. Memikul salib adalah tanda bahwa seseorang dihukum sebagai penjahat kelas berat. Maka ketika salib itu diletakkan di atas bahunya, Simon tidak hanya menanggung beban kayu, tetapi juga beban malu.

Namun justru di momen itu, Simon punya pilihan.
Apakah ia akan menggerutu karena merasa dipermalukan, atau melihat beban itu sebagai sebuah kehormatan ?

Apa yang tampak sebagai penghinaan terbesar di mata dunia, adalah kehormatan terbesar dalam Kerajaan Allah. Salib yang Simon pikul bukan hanya milik Yesus — itu adalah bagian dari karya penebusan dunia. Dan Simon menjadi satu-satunya manusia yang secara fisik ikut memikul salib Sang Juruselamat.

Bukan kebetulan bahwa Lukas mencatat, “…supaya dipikulnya sambil mengikuti Yesus.” (Lukas 23:26). Simon secara harfiah menghidupi panggilan Yesus:

Matius 16:24 — “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.”

Simon bisa memilih untuk marah, merasa dipermalukan di depan orang banyak. Tapi ia memilih untuk melihatnya sebagai sebuah kehormatan, memilik Salib mengikuti Yesus. Dan pilihan itu menjadikannya bagian dari kisah penebusan dunia.

Tidak hanya Simon yang mengalami dampak dari momen itu. Markus menyebut dua anaknya, Alexander dan Rufus, yang tampaknya sudah dikenal oleh komunitas Kristen (bdk. Roma 16:13). Penyebutan ini tidak terjadi secara sembarangan — Markus menulis Injilnya untuk komunitas Kristen di Roma, dan dalam Roma 16:13, Rasul Paulus menyapa “Rufus yang terpilih dalam Tuhan,” dan ibunya yang telah menjadi seperti ibu bagi Paulus sendiri. Ini memberi indikasi bahwa momen ketika ayah mereka memikul salib Yesus menjadi titik balik iman bagi keluarganya. Peristiwa ini menunjukkan bahwa ketaatan kita hari ini bisa berdampak lintas generasi. Apa yang kita pikir hanya beban sesaat, bisa menjadi warisan rohani yang kekal.

“There are no crown-wearers in heaven who were not cross-bearers on earth.”Charles Spurgeon


Poin III. Siapa Simon Dalam Hidupmu? Dan Siapa yang Perlu Kamu Topang Hari Ini?

📖 Roma 15:1 — “Kita yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat…”

Perjalanan iman kita tidak pernah ditempuh sendirian. Di setiap langkah kita, pasti ada seseorang — seorang “Simon” — yang hadir untuk menopang, bukan menghakimi; untuk mengangkat, bukan menjatuhkan.

Simon dari Kirene hadir di tengah jalan Yesus, bukan karena kebetulan, tapi karena penugasan surgawi. Begitu pula dalam hidup kita, Tuhan sering memakai orang-orang tertentu untuk menopang kita saat kita hampir menyerah.


1. Siapa Simon dalam Hidupmu?

Renungkan:

  • Siapa yang hadir saat hidupmu berada di titik terendah?
  • Siapa yang menopangmu ketika kamu kehilangan arah?
  • Apakah itu seorang ibu yang terus berdoa?
  • Seorang guru rohani yang menegur dengan kasih?
  • Seorang sahabat yang tetap tinggal saat yang lain pergi?

Ingatlah mereka. Syukurilah mereka. Kirimkan ucapan terima kasih. Doakan mereka. Jangan biarkan jejak mereka dalam hidupmu berlalu tanpa pengakuan syukur.

Amsal 17:17 — “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.”

Banyak pemimpin besar dalam sejarah Kekristenan berdiri karena doa yang tidak pernah terdengar dari seorang ibu, karena mentor yang menegur di balik layar, atau karena komunitas kecil yang tidak viral namun setia. Tanpa “Simon”, banyak dari kita tidak akan bertahan.

“God never intended for us to carry our burdens alone. He sends people not to judge, but to help us carry the load.”— Timothy Keller

2. Kepada Siapa Anda Dipanggil Menjadi Simon Hari Ini?

Seperti Simon, kita sering tidak memilih salib itu sendiri — tetapi Tuhan menempatkan seseorang di jalur kita, dan memanggil kita untuk menolong.

Mungkin itu:

  • Seorang rekan kerja yang sedang berjuang dengan depresi
  • Seorang murid yang kehilangan arah
  • Seorang tetangga yang kesepian
  • Seorang teman yang jatuh dalam dosa dan butuh ditemani, bukan dijauhi

Galatia 6:2 — “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.”

  • Menjadi Simon berarti hadir di saat yang sulit.
  • Menjadi Simon berarti masuk ke dunia orang lain yang sedang berantakan.
  • Menjadi Simon berarti rela memikul salib yang bukan milikmu — demi kasih.

“Salib orang lain mungkin berat, tapi kasih sejati tidak menghitung beban — hanya menghitung kesempatan untuk melayani.”

Aplikasi Rohani:

  • Pekalah terhadap orang-orang yang Tuhan tempatkan di sekitarmu.
    Kadang mereka tidak meminta tolong — tapi hatimu tahu mereka sedang butuh bahu.
  • Jangan tunggu sampai nyaman untuk menolong.
    Kasih sejati itu mengganggu jadwal kitamengacaukan kenyamanan kita, tapi menjadi saluran kasih Kristus.
  • Lihat beban orang lain sebagai undangan Tuhan.
    Seperti Simon, mungkin kamu tidak tahu bahwa beban hari ini akan berdampak kekal.

Seorang pengusaha sukses bersaksi: “Di balik semua pencapaian saya, ada seorang ibu yang setiap malam berseru kepada Tuhan agar saya tidak hancur dalam kesombongan dan dosa. Ia adalah ‘Simon’ saya.”

Atau: seorang pelayan Tuhan yang terjatuh karena dosa tidak bangkit karena dituduh, tetapi karena seorang teman diam-diam berjalan bersamanya menuju pemulihan. Teman itu adalah “Simon”-nya.

Kita Mungkin Bukan Pengkhotbah, Tapi Kita Bisa Menjadi “Simon” bagi seseorang.

Tidak semua dari kita dipanggil untuk berkhotbah di mimbar, bersaksi di depan banyak orang, atau memimpin pelayanan besar. Tapi semua dari kita dipanggil untuk mengasihi. Dan dalam kasih itu, kita bisa menjadi “Simon” bagi seseorang yang sedang berjuang memikul salib hidupnya.

Menjadi “Simon” tidak selalu spektakuler.
Terkadang itu sesederhana:

  • Mendoakan diam-diam seseorang yang sedang terluka
  • Mendengarkan tanpa menghakimi
  • Menjadi teman yang hadir saat orang lain pergi
  • Mengirim pesan penguatan di saat yang tepat
  • Membimbing dengan nasihat rohani yang sederhana namun tulus
  • Menemani orang yang sedang jatuh, tanpa mempermalukannya

1 Yohanes 3:18 — “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.”

“When we carry someone’s burden, we become a living portrait of the Gospel.”N. T. Wright


Penutup:

Simon dari Kirene mungkin tidak dikenal dunia, tetapi ia tercatat dalam sejarah surgawi karena ia memikul beban yang bukan miliknya — dan dalam proses itu, ia berjalan di samping Sang Juruselamat. Demikian juga dengan kita: kita mungkin tidak merencanakan untuk menjadi penopang, pembimbing, atau pendoa bagi orang lain. Tapi ketika kita rela memasuki dunia yang retak dan memikul salib sesama, kita sedang menghidupi Injil Kristus. Jangan abaikan pertemuan ilahi di tengah jalan — karena mungkin, seperti Simon, hidupmu dan hidup orang lain akan berubah selamanya. Mari kita berkata hari ini : ‘Tuhan, jadikan aku Simon bagi seseorang yang sedang memikul salibnya.’


Tinggalkan komentar